Media dan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan

Kekerasan seksual terhadap perempuan terus saja menjadi momok. Dari tahun ke tahun, kasus kekerasan terus meningkat dan sulit dibendung. Ironisnya, tidak banyak masyarakat yang memahami dan peka terhadap pesoalan ini. Kondisi ini menunjukkan bahwa kehidupan perempuan krisis aman. Bukan angka kasusnya saja yang meningkat, modus dan perilaku kekerasan seksual makin variatif mengikuti perkembangan teknologi.

Mencari akar pemicu kekerasan seksual tak ubahnya mencari ujung benang yang sudah kusut. Penyebabnya sudah terkait satu sama lain. Dari sistem, agama, politik, sosial hingga media. Masing-masing memiliki dalih pembelaan agar tidak berada dalam posisi tertuduh namun pada realitasnya bisa terlihat jelas, jumlah kaum perempuan yang terpapar kekerasan seksual terus bertambah.

Dalam pasal 1 deklarasi PBB, mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perilaku atau tindakan berdasar pada jenis kelamin yang akibatnya korban mendapati kesengsaraan baik fisik, seksual, psikologis termasuk intimidasi tertentu, mendesak atau perampasan kekuasaan yang sekehendak hati , baik di umum ataupun kehidupan pribadi.

Kekerasan seksual tidak melulu dalam tindakan fisik seperti pemerkosaan dan pencabulan. Namun dalam bentuk verbal misalnya pelecehan; cat calling, cyber stalking, atau cyber harrasment hadir membayang-bayangi perempuan. Bukan pula terjadi hanya pada ranah personal, dalam publik juga demikian. Dari lingkup rumah tangga hingga pada wilayah pacaran  pun kekerasan seksual banyak ditemukan. Bahkan data yang diperoleh tahun 2020 oleh KOMNAS Perempuan, pelaku tingkat kekerasan seksual terbanyak adalah pacar.

Catatan Akhir Tahun (CATAHU) KOMNAS Perempuan 2021 melaporkan selama 10 tahun terakhir, yang menempati angka tertinggi kekerasan terhadap perempuan secara konsisten setiap tahunnyaadalah ranah personaldan tidak sedikit di antaranya mengalami kekerasan seksual. Dalam ranah publik tercatat bahwa jenis dan bentuk kekerasan terhadap perempuan, masih sama seperti tahun lalu di mana kekerasan seksual masih menempati posisi pertama. Perbedaannya adalah jika tahun lalu perkosaan menempati urutan pertama.Tahun 2020, kasus kekerasan seksual yang lain ada di urutan pertama dengan 371 kasus, diikuti oleh perkosaan (229 kasus), pelecehan seksual (181 kasus) dan pencabulan (166 kasus).

Bentuk dan jenis kekerasan terhadap perempuan di ranah publik atau komunitas biasanya adalah di lingkungan kerja, bermasyarakat, rukun tetangga, ataupun lembaga pendidikan atau sekolah. Pada ranah komunitas, juga ada kategori khusus perempuan pekerja migran. dan perdagangan orang (trafiking). Kekerasan seksual baik ranah personal ataupun publik, secara konsisten masih menjadi terbanyak kedua bentuk kekerasan yang masuk dalam pelaporan.

Bisnis Sensual Industri Media dan Kekerasan Seksual

Kita sekarang berada pada masyarakat kapitalis. Korban era materialistik, hedonistik, sekuralistik, dan individualistik. Materialistik karena memandang perempuan sebatas tubuh (jasad) tidak memandang perempuan sebagai manusia seutuhnya. Perempuan dijadikan objek, alat komoditi dan alat kontrol sistem kapitalis.

Hedonistik karena cenderung pada kesenangan semata, menikmati masa glamour, populer dan viral. Karena dengan itu bisa mendongkrak jumlah penonton, mengejar rating industri, dan menghasilkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Sekuralistik karena agama bukan acuan hidup lagi, moral terkikis dengan tuntutan pasar. Individualistik, karena tidak memandang kemanusiaan lagi. Kepentingan pribadi bermain,  tanpa memikirkan orang-orang disekitarnya, kehormatan keluarga dan norma-norma masyarakat yang berlaku.

Tidak bisa dimungkiri bahwa salah satu faktor meningkatnya kekerasan seksual terhadap perempuan adalah peran media. Media dominan dalam memberi pengaruh terhadap individu, kelompok maupun kehidupan sosial masyarakat. Karena media memiliki otoritas tinggi untuk membentuk perilaku, persepsi bahkan ideologi masyarakat. Namun sayangnya, yang seharusnya media memberi pengaruh positif, media justru lebih banyak memberi pengaruh negatif terutama dalam hal memicu meningkatnya tindakan kekerasan seksual. Entah itu elektronik, cetak, iklan, sampai game online.

Media secara arbiter menampilkan sisi-sisi sensasional perempuan yang berbau pornografi, pornoteks, pornowicara dan porno-porno lainnya. Lewat propaganda iklan, masyarakat dihegemoni tentang tubuh ideal dan defenisi cantik. Sehingga terbentuk persepsi masyarakat tentang tubuh yang sempurna, baik bentuk, ukuran, warna maupun bau. Tentu dengan memvisualisasikan tubuh perempuan, dari rambut hingga kaki.

Bagian tubuh perempuan yang paling banyak diekploitasi oleh iklan adalah wajah, bibir, dada, punggung, pinggul, betis, dan paha. Terlihat dipelbagai iklan sabun, handbody lotion yang mengkomersilkan tubuh perempuan. Dengan mempertontonkan aksi sensual saat mandi dengan bergaya erotis. Mengusap bagian tangan, dada, punggung dan betis secara lembut dengan sabun, lalu menunjukkan hasil dengan menampakkan kembali bagian tubuh perempuan tersebut. Perempuan yang berpenampilan sensual inilah dinilai sebagai arena selera media atau pasar. Karena memang ideologi pasar  juga sudah menjadi acuan utama industri media.

Kekerasan seksual terhadap perempuan tidak berhenti pada dunia iklan saja. Dalam dunia perfilman pun demikian. Tayangan film, sinetron bahkan pada acara komedi, perempuan tetap diposisikan sebagai objek seksual. Mereka tidak segan-segan menunjukkan posisi perempuan termarginalkan secara eufisme (penghalusan makna untuk menjadikan perempuan objek), disfemisme (bahasa kasar; penggoda, perempuan nakal), labelan atau stereotipe (lemah, tidak mandiri).

Dari judul film atau sinetron hingga adegannya, menampakkan perempuan sebagai pemuas nafsu penonton akan seksualitas. Dengan menghadirkan adegan-adegan yang bertendensi sensual. Judul paling teringat sampai sekarang adalah Inem Pelayan seksi. Dalam tayangan film Dono Kasino Indro pun sebagai film komedi, hampir keseluruhan filmnya menampilkan perempuan pakaian minim, menayangkan perempuan yang dikesankan murahan.

Banyaknya kekerasan dalam film, sinetron atau komedi membentuk persepsi masyarakat terhadap perempuan hanya sebatas tubuh. Kemudian menguatkan pandangan masyarakat terhadap perempuan sebagai objek seksual belaka. Praktik-praktik ini secara tidak sadar mempertahankan status quo perilaku media.

Media pun dipercaya turut memberi andil dalam memoles kenyataan sosial dalam bentuk teks. Menggambarkan fakta atau realitas dari hasil produksi dan reproduksi kata. Dalam artian bahwa masyarakat tidak melihat fakta atau realitas sesungguhnya. Melainkan fakta yang telah dikonstruksi oleh pihak media dengan kepentingan-kepentingan yang bermain di baliknya.

Dalam pemberitaan di media cetak atau online kekerasan seksual terhadap perempuan juga terjadi. Media cetak seperti surat kabar, majalah atau tabloid. Dengan menampilkan judul berita berdasar seksualitas perempuan, narasi-narasi yang diberitakan tentang pemerkosaan atau pelecehan terhadap perempuan membuat pembaca berfantasi dan seolah-olah kejadian yang terjadi tampak di depan mata. Selain itu, pemilihan diksi yang bias dan tidak berpihak kepada korban. Misal dalam perkosaan, menggunakan kata menyetubuhi, menggilir atau menggagahi.

Penulis berita kadang tidak peduli dengan kondisi korban. Tidak memberikan ruang bagi korban untuk membela diri bahkan terkesan memojokkan korban tanpa memperhatikan imbas dari pemberitaan yang dilakukan media. Media harusnya melek terhadap penderitaan yang dialami korban, konsekuensi yang harus diterima dan stigma sosial yang ditanggung yang berefek pada psikologi korban atas pemberitaan yang dibuat.

Media menjadikan tubuh perempuan sebagai bahan komersil dan eksploitasi, agar memperoleh keuntungan besar baginya. Tak bisa kita nafikan bahwa media berada dalam kontrol kaum kapitalis. Sehingga sampai saat ini, ideologi media mengalami reduksi cenderung bersifat komersil. Karena media pada dasarnya bukan tidak berdiri secara otonom. Media dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Misal, penanam modal, tekanan politik, pemasang iklan dan faktor eksternal lainnya.

Semua itu bukan tidak sengaja. Karena tayangan atau berita ini berada sepenuhnya di tangan media.Semua yang terpublish  sudah melalui proses dan pertimbangan tim media sebelumnya. Posisi media bisa kita simpulkan sampai saat ini, sudah mengalami degradasi fungsi. Alih-alih mengedukasi masyarakat, memberikan wacana yang netral kepada masyarakat tanpa memandang gender. Malah kekerasan seksual terhadap perempuan semakin meningkat. Media harus disadarkan dan kembali pada fungsi yang seharusnya. Menyediakan informasi yang bukan hanya real sesuai fakta namun juga memiliki pesan edukasi dan pencerahan.

Ilustrasi: https://insights.dice.com/

Bahan Bacaan yang Disarankan:

Ayu Erivah Rossy Dan Umaimah Wahid: Analisis Isi Kekerasan Seksual Dalam Pemberitaan Media Online Detik.Com

https://komnasperempuan.go.id/catatan-tahunan-detail/perempan-dalam-himpitan-pandemi-lonjakan-kekerasan-seksual-kekerasan-siber-perkawinan-anak-dan-keterbatasan-penanganan-di-tengah-covid-19-catahu-2021-catatan-tahunan-kekerasan-terhadap-perempuan-tahun-2020

Liestianingsih dwi dayanti; Potret kekerasan gender dalam sinetron komedi di televisi

https://kumparan.com/ayu-sari-chandraningtyas/pelecehan-seksual-terhadap-perempuan-di-media-sosial-1uzmU0LZVhH

http://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/objektifikasi-perempuan-oleh-media-pembakuan-identitas-perempuan-dan-dominasi-kekuasaan-laki-laki

Bahtar HM; Eksploitasi wanita di media massa (Perspektif teori sosial dan komunikasi islam)

Supratman, Lucy Pujasari; Representasi Citra Perempuan di Media

Daud Ibrahim, Marwah; Seksploitasi: Citra Perempuan dalam Media” : 1990

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *