Menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) di usia muda tidaklah mudah. Saya sudah membuktikannya. Sungguh. Menulis topik ini saya harus berperang melawan diri: tulis atau tidak, sebar atau tidak. Takutnya ditafsirkan lain-lain. Tak apalah, saya sudah menyiapkan mental, jika nantinya dikatai sebagai tau tena sukkuru’na. Orang-orang bebas berpendapat demikian, sayalah yang menjalaninya dalam kesepian. Saya sudah memaafkanmu, sayang.
Tulisan ini mungkin akan sangat subjektif dan kasuistik. Dalam artian, ini hanya dialami oleh segelintir orang. Namun, rasa-rasanya setelah melihat realitas, kondisi, dan sedikit keluhan dari teman-teman seprofesi yang lain. Tampaknya ini adalah “masalah kita bersama”. Jadi, Anda boleh membaca, setuju, dan menolak ide penulis, tapi jangan jatuh cinta.
Sejujurnya, setelah dua tahuh lebih jadi PNS, saya menemukan beberapa miskonsepsi di masyarakat perihal dunia PNS yang beredar luas dan buas. Hal inilah yang melatarbelakangi keberanian saya mengutarakan isi hati. Sekotahnya perlu saya jelaskan agar tidak terjadi “pengultusan” berlebih terhadap profesi ini. Karena, bagaimana pun juga—bagi masyarakat desa—profesi ini mungkin dianggap sesuatu yang “wah”, padahal pelakonnya adalah budak-budak resah.
Paling tidak, hingga hari ini ada dua isu sensitif perihal dunia kepegawaian yang ingin saya komentari, syukur-syukur bisa memberikan perpektif baru. Kalau pun tidak, setidaknya saya sudah mengutarakan uneg-uneg saya dan teman-teman lain.
Pertama, kalau Anda mengatakan PNS gajinya banyak. Saya katakan tidak juga—ini kalau dikalkulasi dengan jam kerja, kecuali kalau Anda menghitungnya tiap tanggal baru, mungkin iya, padahal hari-hari setelahnya bikin terharu. Kaya sehari miskin sebulan, begitu kira-kira. Tak percaya? Mari kita coba lakukan kalkulasi sederhana. Karena saya guru SD, maka jam kerjanya sekitar 6 jam, dalam sebulan berarti kurang lebih 144 jam kerja. Gaji pokok PNS golongan III/a Rp. 2.579.400, berarti dalam sejam PNS digaji Rp. 17.912. Dalam sehari berarti dapat Rp. 107.475. Banyak? Tunggu dulu. (ini hitungan sederhana saya, ya. Kalaupun ada kekeliruan selisihnya tidak banyak Banyak).
Itu artinya, kalau uang panaik yang dipasang calon mertua 100 juta, Anda harus menunggu 3 tahun 3 bulan agar uangnya cukup. Itu pun Anda harus puasa 39 bulan, jalan kaki ke tempat kerja, dan berhenti checkout Shopee, alias semua gaji ditabung sepenuhnya. Sanggup? Anda mungkin mulai merasa resah sekarang. Ya, memang begitu angka-angkanya. Bagaimana dengan tunjangan, THR, dan gaji 13? Semuanya ada, Anda cari tahulah sendiri nominalnya. Pusing saya.
Memang sih, banyak tidaknya itu relatif, tapi dari gambaran umum di atas, Anda pasti sudah punya bayangan. Mending jual chip, ya, kan? Bisa jadi, miskonsepsi ini bermula dari overgeneralisasi sebagian orang, bahwa semua PNS itu bergaji banyak, padahal itu hanya berlaku bagi PNS legend, golongan tinggi, dan berpuluh tahun masa kerja. Yang muda macam kami ini tidaklah seberapa, mudah stres mungkin iya. Apatah lagi bagi teman-teman yang sudah jadi tulang punggung keluarga menggantikan bapak, atau yang harus ngekos karena lulusnya jauh dari kampung, juga yang sering ditanya sama doi kapan berkunjung ke rumah bawa keluarga. Lengkaplah sudah.
Jadi, kalau Anda mau berhutang ke teman Anda yang PNS itu, dan beliau bilang tidak ada uang, mungkin benar adanya. Itulah barangkali cara mereka bertahan hidup. Jangki bilang lagi, “Iihh PNS bede, masa tidak ada uang na. Apa ji?” Yang begini mi biasa merusak pertemanan. Ingat! PNS bukan sultan, ya.
Makanya, kalau teman Anda yang PNS itu ajak makan, jangki bilang “uangkan mi”, ka tidak ditau berapa mau dikasikan ki. Serius. Teman saya bilang begitu. Terimalah ajakannya, dan berikanlah kata-kata penyemangat, bisa jadi ia butuh teman bercerita, sekadar meluapkan keluh kesah. Mungkin begitulah cara mereka merawat silaturahmi, sekaligus “bersedekah”.
Kemudian, apakah profesi ini memberikan ‘kepastian’? Mungkin iya. Setidaknya ini lebih memastikan, dibanding menunggu pacarmu yang tak kunjung melamar. Tapi kalau berharap ‘pasti’ kaya. Saya kurang yakin. Lihatlah sekeliling, yang kaya memang ada, itu pun karena punya usaha lain. Kalau yang pura-pura kaya, banyak. Beberapa kepastian yang sering dibicarakan orang-orang adalah gaji tiap bulan dan tunjangan di masa tua. Benar sekali. Tapi tak ada jaminan kita hidup selama itu kawan.
Tidaklah mengherankan jika fenomena menggadaikan SK di bank itu marak di kalangan PNS, penjelasan di atas mungkin masuk akal. Sah-sah saja saya rasa. Selama gairah bekerja tak berkurang, meski gaji dipotong saban bulan. Sebenarnya, yang paling penting dalam gaji adalah keberkahan, bukan kuantitas. Sedang keberkahan datang bersama kerja keras dan kerja ikhlas. Anda mungkin sudah sering mendengar nasihat bijak bestari, bahwa jika gaji Anda 2 juta, tapi kerja Anda hanya setara 1 juta, maka 1 juta sisanya akan diambil oleh Tuhan dalam bentuk yang lain. Pun sebaliknya, jika gaji Anda hanya 1 juta, tapi kerja Anda setara 2 juta, maka Tuhan akan mencukupkan Anda dalam bentuk yang lain. Sesederhana itulah keberkahan yang saya yakini.
Kedua, menjadi PNS di usia muda, ditambah belum menikah. Akan menjadikan Anda digempur habis-habisan dengan pertanyaan, “Sikurayya pi kau? Na PNS mako,” Maksud saya toh, pelan-pelan maki kesian. Ka ini adalah pertanyaan sulit juga, bahkan mengalahkan soal TWK, TIU, dan TKP. Status PNS seolah menuntut Anda menikah cepat, bukan di waktu yang tepat. Padahal, mencari pasangan, tidaklah semudah berangan-angan. Belum lagi, mencari pasangan yang seangan-seangan, lebih susah. Pelan-pelan saja, menikah itu seumur hidup. Dan kata orang, seumur hidup itu lama. Lama banget. Jadi jangan buru-buru berburu. Apatahlagi, bagi teman-teman saya yang pernah disakiti, pasti sulit mencintai (lagi). Kalau jatuh cinta saja sulit, bagaimana mau menikah? Benar kata Wira Nagara, komika lulusan SUCI Kompas TV, “Bagi yang lama sendiri sebab hatinya pernah patah, bisa menyukai kembali adalah suatu anugerah.” Nah, memang begitu. Jadi, memaksakan cepat orang macam begini untuk menikah, hakikatnya menodai semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Menafikan keberagaman perasaan. Menegasi pengalaman traumatik korban.
Di sisi lain, perihal menikah, profesi ini juga sering dilakukan jodoh-jodohan sesama. Pasangan ideal bagi PNS adalah sesama PNS, what? Inilah miskonsepsi lainnya, banyak dianut oleh masyarakat kita—entah di desa atau kota. Tak salah sepenuhnya, ini baik untuk menutupi soal gaji di atas. Namun, mengulang-ulang hal seperti ini sungguh memuakkan. Teman saya bahkan malas pulang kampung karena “nasihat” ini. Terdengar sepele, tapi sungguh membikin merah telinga. Apalagi bagi mereka yang sudah punya “calon”. Seolah hidup hanya soal ini dan itu. Hemat saya, intinya biarkanlah mereka mencari jodohnya masing-masing. PNS atau bukan tak jadi soal, selama itu adalah pilihan sadar. Bukan rekayasa jodoh-jodohan. Saya sendiri meyakini, bahwa pasangan ideal PNS bukanlah sesama PNS, tapi lawan jenis mereka. Bukan yang lain. Kan ribet kalau sesama PNS tapi sama-sama lelaki. Nah loh.
Saya memahami betul, mengapa miskonsepsi ini tumbuh subur. Masyarakat kita telah merasakan betul kerja keras dan kerasnya hidup. Mereka ingin ada perubahan, paling tidak ada memutus lingkaran setan itu. Tapi sungguh salah, jika dianggap profesi PNS tak butuh kerja keras. Pakaiannya mungkin necis, tapi jiwanya juga miris. Kerjaan sebagai PNS itu banyakan mikir, dan mikir itu pakai otak. Dan tahukah Anda, bahwa organ yang bobotnya hanya kisaran 2% dari total berat tubuh, ternyata membutuhkan sekitar 20% energi tubuh. Makanya, jangan heran kalau PNS pulang kerja matanya merah dan suka marah-marah, mungkin mereka lelah dan terlalu banyak pikiran. Bahkan beban itu dibawa-bawa sampai ke tempat tidur. Kalau sudah model begini, jam kerja sudah mencapai 24 jam. Ya, mau gimana lagi. Menjadi PNS di kekinian memang dituntut thinking out of the box. Tidak lagi sami’na wa atho’na sepenuhnya. Zaman telah berubah, semuanya ikut berbenah. Tempora muntantur et nos mutamur in illis (waktu berubah dan kita berubah dalam waktu).
Dua isu di ataslah yang menjadi musabab mengapa PNS muda itu lebih mudah stres—dalam pandangan saya. Ini belum ditambah quarter life crisis, juga tingkah sebagian senior yang senang memberikan “tugas tambahan” kepada adik-adiknya dengan alasan yang muda yang bekerja, yang muda serba tahu. Anda salah jika mengira kaum rebahan cocok jadi PNS. Tidak sama sekali! Salah sedikit, Anda menjadi manusia robot yang kehilangan gairah hidup, jika hanya melihat pekerjaan sebagai sebuah rutinitas mekanis belaka: terpaksa, tersiksa, lalu terbiasa, tanpa nilai di dalamnya.
Walakhir, laiknya yang saya tegaskan di awal. Tulisan ini ada ikhtiar saya mengabarkan hal-hal yang mungkin disalahpahami sebagian masyarakat. Hanya itu. Pun harus diingat, bahwa cerita ini bukan fiktif belaka. Jika ada kesamaan pengalaman. Itu bukan kebetulan semata, melainkan memang ada unsur kesengajaan. Sebab manusia memang punya banyak kesamaan.
Ilustrasi: sudutpandang.id
Lahir di Bantaeng, guru PJOK, pustakawan Rumah Baca Panrita Nurung, dan penulis buku kumpulan esai, “Jika Kucing Bisa Bicara” (2021).