Terkadang, kita suka sekali berantem. Buktinya, kita selalu mencari lawan, misal besar lawannya kecil, tua lawannya muda, kaya lawannya miskin, borjuis lawannya proletar. Penulis dan pembaca? Semoga saja keduanya berkawan, meski dipisahkan oleh jurang kritik.
Terkadang, satu kubu berantem satu sama lain. Misalnya, dunia pencurian. Mereka punya kasta tersendiri: kakap (koruptor), hiu (perampok), dan teri (maling ayam). Padahal, mereka sama-sama jahatnya, sama-sama mencuri, hanya jumlah yang berbeda.
Dunia kepenulisan juga begitu. Meski berkawan dengan pembaca, sesama penulis juga berantem satu sama lain atau sengaja dibuatkan ring untuk bertanding oleh oknum tertentu. Misalnya, ada kategori penulis besar, ada penulis kecil. Lebih sadis lagi, ada penulis tua, ada penulis muda. Untunglah, tidak ada kategori penulis mati dan penulis hidup. Ada juga penulis yang dikategorikan berdasarkan kasta: elite dan pinggiran. Penulis elite ini adalah mereka yang karyanya terserap di industri penerbitan besar dan menguasai pasar wacana buku. Sementara penulis pinggiran adalah mereka-mereka yang berdesak-desakan mencari receh dalam dunia perbukuan, karyanya beredar terbatas, tetapi bersikukuh dengan tangan terkepal atas nama ideologi ini dan itu.
Penulis elite umumnya kalem, sibuk menyusun jadwal panggung yang datang dari berbagai institusi di banyak kota. Sementara penulis pinggiran, berebutan panggung yang kecil dan terbatas bersama rekan sekelasnya yang yatim dalam industri perbukuan.
Penulis pinggiran ini mirip seperti negara-negara kecil yang inferior saat berhadapan dengan negara adikuasa, menuding negara adikuasa bersekongkol dengan tatanan dunia baru. Mereka terkungkung oleh mental inlander, merasa terjajah dan berusaha melawan.
Yang terbentuk adalah benturan dan konfrontasi di medan realitas sosial. Dirancanglah gerakan sosial yang menegaskan identitas terpinggirkan mereka sebagai bentuk perlawanan gaya baru. Kelompok mereka kemudian disebut subaltern. Istilah itu dipasarkan secara luas pertama kali oleh Gayatri Spivak, sarjana Oxford University berdarah India.
Spivak sebenarnya mencoba memperluas konsepsi hegemoni Antonio Gramci. Teori ini berdalil, adanya kekuasaan persuasif dari stakeholder yang di atas terhadap stakeholder di bawahnya. Kelompok bawah akan mematuhi perintah kelompok dominan di atasnya dengan senang hati dan tanpa merasa diperdaya. Suaranya sekecil dirinya dengan nyali ciut. Digertak sedikit, jawabnya “siap!”. Tidak ada kata melawan dalam kamus hidupnya, meski kekesalan menghantuinya.
Hegemoni adalah persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemoni adalah suatu organisasi kesepakatan. Nah, kata Spivak, subaltern dipahami sebagai kelompok yang tersubordinasi, kelompok yang tidak berkelas, tidak mempunyai akses kepada kekuasaan dan tidak dapat bersuara (Lubis,2015: 140-142).
Konsepsi subaltern ini bisa menjadi menjadi perangkat teoretis oposisi biner dalam membedah kasta penulis elite dan penulis pinggiran tadi. Penulis elite menurut subaltern telah menindas penulis pinggiran atas struktur pasar karya. Sederhananya begitu.
Artinya, Spivak telah membuat penulis yang awalnya tidak berniat berantem dipaksa masuk gelanggang. Pasrah.
Seperti itulah niat sekelompok literasi di Kota Makassar; tak berniat berantem meskipun mereka menamai kelompoknya Subaltern. Mereka hanya ingin membangun wadah agar bisa menulis bersama-sama, sekaligus menginisiasi sebuah penerbit. Penerbit Subaltern pula namanya.
Berangkat dari kesadaran perbenturan itu, Subaltern menemukan penulis-penulis yang merasa dan mengaku terpinggirkan dari arus industri perbukuan. Persis, mereka bermental inlander: bernyali ciut sejak dari niat. Mereka takut kelak karyanya tidak memiliki pembaca.
Subaltern menegaskan dirinya sebagai wadah bagi penulis pinggiran, yakni penulis yang ingin berkontribusi, tetapi suaranya (baca: tulisannya) tak muncul ke permukaan. Kegiatannya meliputi cara menggali ide tulisan melalui berbagai diskusi, mengemasnya menjadi buku, mencetak dan menerbitkannya, hingga didiskusikan bersama.
Umumnya, tema yang diusung adalah wacana kritis yang barangkali belum dikenal di panggung penulis secara umum.
Kelahiran Penerbit Subaltern barangkali tidak seseru namanya. Tanggalnya pun tidak spesial sama sekali. Misalnya, lahir sesuai kelahiran pemiliknya agar perayaannya kelak sepiring berdua. Maksud saya, satu paket nasi tumpeng untuk dua perayaan. Atau, hari kemerdekaan Republik Indonesia.
Juga tidak mengikuti momen-momen penting literasi: hari puisi nasional, hari bahasa nasional, hari kebangkitan pemuda, hari buku nasional, dan berbagai hari-hari heroik lainnya.
Penerbit Subaltern malah memilih hari penculikan yang dilakukan oleh anak muda kepada orang-orang tua. Hari apa itu? Saya menyebut 15 Agustus sebagai “hari penculikan”. Di hari itu tahun 1945, sekelompok anak muda yang dipimpin Soekarni menculik Soekarno-Hatta (orang tua) karena geregetan tidak lekas-lekas mengumumkan kemerdekaan.
Bagi Subaltern, “penculikan” itu adalah usaha untuk menyadarkan orang-orang tua yang berada di pusat kekuasaan (elite) dan mengasingkannya ke Rengasdengklok (pinggiran) untuk melihat situasi objektif yang sedang berlangsung di Jakarta (pusat). Lalu, kita pun merdeka.
Sebagaimana Soekarni, Penerbit Subaltern yakin walau berada di pinggir, tetapi tetap gereget. Diputuskanlah 15 Agustus sebagai hari lahir Penerbit Subaltern.
Ceritanya Begini
Subaltern berawal dari rasa lelah saya lantaran sering “makan hati”, hingga merasa dihegemoni.
Saat menjadi kelas pekerja di media koran, saya selalu memberikan yang terbaik terhadap perusahaan. Karier pun naik sedikit demi sedikit. Sampai kemudian saya ditempatkan jauh ke barat, memulai habitat baru.
Sekeren apa pun posisi, jika masih dalam kategori kelas pekerja, wajib bekerja sesuai target dan harapan bos besar. Lama-lama kesal juga dengan rutinitas itu. Sebagai kelas pekerja harus sadar dan sabar, dan itulah yang saya lakukan.
Suatu hari, saya diminta kembali ke selatan, kembali ke Makassar. Saya bertemu komisaris dan berbicara soal ide dan gagasan mengenai pendirian kantor berita di Mandar. Saya ditunjuk sebagai pendiri sekaligus direktur.
Saya pun kembali ke barat. Asyik bekerja, lupa rumah. Lalu, pada suatu hari, kabar buruk datang dari rumah di Bone: Bapak sakit. Saya hiraukan sejenak kabar itu lantaran tugas yang menumpuk.
Ruh pantang datang dua kali, sekali pergi takkan kembali lagi. Bapak meninggal dalam sakitnya, menyisakan duka lara.
Dalam situasi pikiran kalut dan mengejar prosesi pemakaman, saya kemudian apes: menabrak seorang pengendara motor di Jalan Poros Maros-Bone. Setelah mengantarnya ke rumah sakit, saya pun harus berurusan dengan kepolisian. Melalui proses negosiasi berjam-jam, saya diizinkan untuk bertemu dan melihat wajah bapak untuk terakhir kalinya. Setelah proses kedukaan selesai, saya diwajibkan kembali ke kantor polisi.
Saya lewati masa suram itu tanpa support dari perusahaan media tempat saya bekerja. Saya pun sadar, hukum besi ekonomi perusahaan bekerja tanpa jiwa dan tanpa empati. Saya juga sadar bahwa selama ini, saya sekadar sekrup.
Dua bulan dalam tahanan kota, saya makin paham bahwa perusahaan hanya butuh tenaga dan tidak mau mengambil risiko apa pun. Persis apa yang dikatakan Antonio Gramci, saya selama ini terhegemoni. Bekerja sekuat tenaga untuk kepentingan atasan tanpa ada alasan untuk menolak.
Dengan dalih target, yang sebenarnya adalah kepentingan utama pemilik modal, rupanya adalah impian yang dicekoki dalam pikiran pekerja yang kemudian menjadi stimulus untuk bekerja tanpa pamrih. Saya pun merasa seperti tokoh kuda bernama Boxer dalam novel legendaris George Orwell berjudul Animal Farm.
Sebagaimana Boxer, pekerja dikondisikan sedemikian rupa untuk menjadi abdi yang baik, rajin, dan loyal, tetapi tanpa sadar memiskinkan diri sendiri dan memperkaya yang di atasnya. Hegemoni itu bekerja seperti api yang panas membara dan membakar segalanya saat tiba waktunya.
Dengan kesadaran penuh, saya memutuskan berhenti dan menemui kawan lama. Menjadi kelas pinggiran yang suaranya tak didengar. Ide menjadi babu untuk kepentingan pemilik kuasa. Beberapa kali ide-ide membangun hanya digunakan oleh kepentingan tertentu. Karena memiliki dasar di bidang jurnalistik dan bisa menulis, saya kemudian ikut kawan menjadi tim branding kampanye beberapa pejabat politik. Seperti produk, pejabat dikemas sementereng mungkin. Tidak peduli isinya busuk atau tidak.
Saya juga menjajaki perusahaan perdagangan mata uang yang sangat jauh dari dasar keilmuan saya. Belajar membaca chart, membaca artikel cara mengambil posisi agar mendapatkan keuntungan, nilai mata uang negara-negara kuasa, sementara diri kita tak dapat berkuasa. Lagi-lagi, saya harus mengatakan bahwa tatanan yang sudah terjadi maka terjadilah. Bagaimana hegemoni USD terhadap mata uang lain. Bayangkan saja, saat negara tersebut memberikan upah buruh maka mata uang dunia akan bereaksi. Saat presiden banknya ingin berpidato, para spekulan bergerak duluan. Arah pembicaraannya diamati karena itu akan menentukan ke mana laju perdagangan berikutnya.
Tugas saya di tempat ini sangat sederhana, membuat catatan ringan tentang prediksi (kadang juga copy paste), lalu membagikan ke media sosial atau kepada klien yang menginvestasikan dananya di perdagangan tersebut. Jujur, isi kepala saya tidak selaras dengan aktivitas di kantor ini. Beruntung pimpinannya adalah pribadi yang mengerti tentang saya. Saya pun dibantu untuk dan dibiayai dan mengejawantahkan isi kepala saya. Lahirlah aplikasi literasi Kolong dan website menulis Kolongkata.com.
Dalam bayangan awal saya, Kolong dan laman Kolongkata.com bisa menjadi muara yang mempertemukan penulis dan pembaca. Penulis diperbolehkan untuk merilis tulisannya sesuka hati dan pembaca dapat membaca hal-hal yang menurutnya menarik. Laman Kolongkata.com menjadi wadah menampung ragam tulisan: cerita pendek, puisi, esai, resensi, dan catatan perjalanan.
Rupanya, minat menulis para “penulis pemula” tak sesuai ekspektasi saya setelah beberapa penulis-mahir mulai bermunculan. “Penulis pemula” yang sebelumnya ingin belajar menulis menjadi tak bernyali lagi, mental inlander-nya kembali kambuh. Mereka pun kembali terlempar ke pinggir.
Walaupun demikian, saya menyimpan keyakinan bahwa kegiatan ini punya kans yang bagus jika dikelola dengan baik dan konsisten. Saya kemudian memutuskan untuk fokus dalam kegiatan ini dengan mengukuhkannya dalam perusahaan berbadan hukum di hadapan notaris meski masih mengadopsi konsep komunitas. Saya menegaskan eksistensi untuk bekerja di jalur pengembangan literasi dan keluar dari perusahaan yang memberikan gaji bulanan.
Enam bulan waktu berjalan, teman dalam rintisan meninggalkan bisnis berbau sosial ini lantaran tergiur dengan aktivitas/pekerjaan yang pasti dan kalut dalam ketidakpastian.
Nyaris saja jiwa aktivis anti penjajahan goyah. Saya kemudian merenung dan menyadari sesuatu yang dibangun atas dasar kolaborasi antarpersonal (baca: komunitas) yang tanpa hasil (baca: profit) perusahaan itu akan sulit berkembang.
Suatu hari di warung kopi, di tengah situasi buntu, saya bersama Rizal Fauzi dan Ayatullah Patullah bercakap terkait kelanjutan usaha literasi Kolong. Saat itu, Ayatullah Patullah yang masih menjabat sebagai ketua Himpunan Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Negeri Makassar (UNM), bercerita tentang heroiknya judul skripsi miliknya: “Kajian Subaltern Spivak terhadap Novel Orang-orang Oetimu Karya Felix K. Nesi”. Rizal yang juga telah mendirikan media daring Matakita.co mencoba menyela Ayatullah. Diskusi pun menjadi seru, saya menyimak.
“Pendidikan budaya, bahasa, sastra, dan lainnya akan dihapus dari kurikulum. Yang dibutuhkan sekarang ini adalah pendidikan teknikal. Akan banyak pekerja yang dibutuhkan seiring disahkannya UU Omnibuslaw. Jadi, kalau tidak punya teknik dan skill, lewatlah! Urusan tulis menulis itu, ke depannya menjadi penghalang pembangunan dan tidak perlu. Fakultas bahasa dan sastra akan bubar, ilmu budaya juga akan bubar. Keduanya diganti teknik budidaya. Apalagi, yang perlawanan-perlawanan itu, negara sudah bertekad Indonesia Emas 2045, yang menghambat akan dilibas,” jelas Rizal.
Saya pun kembali mengingat semua mata pelajaran semasa kuliah dan skripsi saya, Stilistika. Jangankan menunggu 2045, saat ini saja, saya tidak mengerti apa gunanya stilistika dalam kehidupan sehari-hari.
Apa gunanya aplikasi literasi? Apa gunanya menulis di website? Kajian sastra koran dan sastra cyber berkelahi di kepala saya. Kajian sastra kanon berteriak-teriak hendak diperhatikan lalu didiamkan oleh kajian sastra populer. Mereka semua menjadi subaltern gaya baru. Sama-sama ingin naik ke atas, tetapi nasibnya memang selalu di bawah. Mereka diam dalam kesunyian dan suaranya senyap.
Penerbit Subaltern muncul karena kegelisahan itu. Saya dan teman-teman bersepakat bahwa tulisan daring harus juga diperkuat oleh kuatnya budaya cetak. Penulis yang masih pemula harus berani menuliskan karyanya dalam bentuk cetak terlebih dahulu untuk “mengasah pedang” sebelum mereka bertarung dalam dunia daring yang lebih terbuka.
Akhirnya, Penerbit Subaltern didirikan untuk mengakomodasi budaya cetak sekaligus tangga menuju penulisan yang mahir di laman Kolongkata.com, wadah alternatif bagi yang merasa malu-malu di muka umum. Minimal bagi orang-orang yang merasa dipinggirkan.
Bermula dari Buku Pertama
Sejak Agustus 2020, Penerbit Subaltern telah menerbitkan 12 buku dari penulis-penulis Makassar yang jauh dari hiruk pikuk industri perbukuan. Naskah pertama kali yang diterbitkan adalah kumpulan puisi dan cerita pendek dari mahasiswa Sastra Indonesia UNM yang berjudul Epilog Kehidupan. Usaha pertama yang tidak mudah lantaran harus berpikir keras menyelaraskan antara bujet yang tersedia dengan jumlah eksemplar naskah yang dicetak.
Akhirnya, dicetaklah 50 eksemplar terbitan pertama dengan berharap dapat segera habis terjual. Rupanya, pasar tak berpihak. Buku itu belum habis hingga saat ini. Keinginan kuat mendirikan penerbit membuat kami tak menyerah, apalagi dalam situasi pandemi. Kami kemudian bekerja sama dengan seorang dosen sastra Indonesia untuk menerbitkan karya mahasiswanya.
Buku antologi kedua yang berjudul Pergi Sebelum Pulang ini kemudian dibedah di dua lokasi: Desa Julubori, Gowa dan Taman Pustaka Literasi, Maros. Hadirin banyak, tetapi buku tak terjual. Meski, buku-buku itu digelar di samping peserta diskusi.
Dari menerbitkan karya sastra mahasiswa, Penerbit Subaltern kemudian mencoba menerbitkan buku wacana kritis. Buku ketiga itu berjudul Anti Demagog karya Asratillah. Bukunya lumayan diminati. Banyak pemesan dan kami bisa bernapas lega.
Buku-buku yang hampir mirip pun kami produksi. Selain buku Perikanan atau Perikiri? karya Idham Malik, kami juga mencetak Perempuan dan Keadilan karya Suci Sasmita. Masing-masing telah dicetak dua kali.
Kerja keras kami terbalas saat Fajlurrahman Jurdi, dosen Fakultas Hukum Unhas yang telah menerbitkan kurang lebih 40 judul buku, menyerahkan naskah novelnya berjudul Pertautan 3 Hati kepada kami. Bagi Subaltern, kesedianya itu sebagai ungkapan dukungan dan respons penulis berpengalaman terhadap penerbit pinggiran. Demikianlah, Subaltern masih terus berjalan melanjutkan aktivitasnya membentuk penulis pinggiran melalui kelas kepenulisan, kelas wacana kritis, kelas riset, lalu berbagi panggung, dan mengingatkan kaum elite bahwa ada Spivak di Makassar.
Pendiri Penerbit Subaltern: dan laman Kolongkata.com