Belajar dari Medusa dan Maria Ulfa

Awalnya Medusa merupakan sosok perempuan cantik nan perawan sebagai pendeta di kuil milik Dewi Athena. Namun dia dikutuk oleh Dewi Athena karena dianggap melanggar persyaratan sebagai pendeta setelah Poseidon yang merupakan rival Dewi Athena menodainya.

Setelah kutukan itu, Medusa menjelma menjadi sosok perempuan yang sangat menakutkan dalam mitologi Yunani. Diusir dari kuil dan tinggal di sebuah pulau berbatu, Sarpedon. Sosoknya berubah menjadi perempuan berambut ular, mata yang menyeramkan, kakinya menyerupai kaki ayam, kulit pecah-pecah, dan bersayap logam raksasa. Sangat ditakuti dan dianggap pembawa malapetaka. Siapa saja yang bertatapan langsung dengan mata Medusa maka akan berubah wujud menjadi batu.

Tidak ada lagi laki-laki ataupun dewa yang tertarik padanya selain Poseidon, tetapi Poseidon justru menghilang setelah merenggut segalanya. Kini, dewa-dewa telah membangun kekuatan dan bersekutu untuk menaklukkan dan menghancurkannya. Riwayat kehidupan Medusa berakhir setelah Perseus berhasil memenggal kepala Medusa atas bantuan Athena, Hermes, dan Hades.

Kisah Medusa tersebut bisa jadi hanya sebagai miniatur dari kehidupan yang sebenarnya di mana perempuan selalu menjadi objek di antara hubungan oposisi biner antara laki-laki dan perempuan. Segala sifat lahiriah dari perempuan seperti feminin, kelembutan, perasa menjadi titik lemah yang seringkali dimanfaatkan.

Selain korban self esteem dalam kodratnya sebagai sosok perempuan, Medusa juga menjadi kehilangan reputasi, integritas dan tanggung jawab sebagai pendeta atas stigma negatif yang dibangun oleh para dewa. Tanpa ada pembelaan, steorotip itu terus melabeli sosoknya yang sudah lemah, tidak ada lagi upaya untuk meremaind atas segala jasanya sebagai pelayan dewi kesejahretaan dan kebijaksanaan.

Cerita-cerita horor tentang sosok Medusa tak ubahnya dengan cerita horor yang ada di negeri kita. Dari cerita rakyat tempo dulu, cerpen-cerpen, novel-novel, komik, sampai yang diangkat dalam film-film modern, tokoh utamanya didominasi oleh perempuan.  Misalnya saja Suster Ngesot, Nini Thowok, Nyi Blorong, Si Manis Jembatan Ancol, dan sederetan cerita horor tentang perempuan yang menyeramkan. Bahkan sampai saat ini, bukan hanya anak-anak bahkan orang dewasa pun telah terkonstruksi dalam memorinya perasaan yang selalu diselimuti oleh ketakutan-ketakutan dalam kegelapan malam.

Tentu pertanyaannya adalah mengapa perempuan selalu diidentikkan dengan sosok yang menyeramkan? Saya teringat sebuah tulisan Kang Jalal dalam sebuah buku Islam Aktual; Refleksi Seorang Cendekiawan Muslim. Salah satu hal yang menarik perhatian saya adalah narasi tentang wanita pun mejadi korban. Dari tulisan tersebut saya menyimpulkan bahwa maksud dari Kang Jalal adalah dalam dunia domestik rumah tangga, dunia industri, hubungan sosial, termasuk dalam urusan pemerintahan, bahkan jauh sebelum peradaban modern saat ini perempuan selalu saja menjadi korban.

Kita patut mencurigai bahwa sosok perempuan horor yang diangkat dalam tayangan film, bisa jadi merupakan bentuk eksploitasi terhadap perempuan itu sendiri. Metodologi untuk menaikkan rating dengan memanfaatkan sosok perempuan. Lagi-lagi perempuan dimanfaatkan untuk kepentingan industri.

Terlepas dari kecurigaan itu, cerita-cerita horor tentang perempuan yang menyeramkan adalah bentuk counter atas dominasi laki-laki sekaligus penegasan akan eksistensinya sebagai perempuan. Ini adalah bentuk lain dari perlawanan dan pembelaan perempuan atas hak-haknya dengan harapan di kemudian hari perempuan direken. Ketidakmampuan perempuan melakukan perlawanan fisik terhadap laki-laki-karena memang fisik laki-laki lebih garang, maka harus ada metodologi lain yang lebih mumpuni yakni membangun mistik perempuan.

Puncak dari emansipasi perempuan tentu bukan dengan membangun mistisisme. Masyarakat industri dan modern saat ini adalah mayarakat yang bebas dan penuh dengan kompetisi. Artinya siapa saja yang mempunyai kualitas pribadi dan kualitas sosial yang tinggi akan keluar menjadi pemenang, ada kesetaraan gender.

Tetapi perlu diingat bahwa perempuan sangat rawan untuk dieksploitasi. Perempuan selalu saja menjadi sasaran empuk kepentingan industri. Ia adalah sumber tenaga kerja yang murah, penarik dan seakan sosok perempuan menjadi roh dari sebuah produk. Produk apa saja tak akan dilirik oleh konsumen jika tidak dipublikasikan oleh perempuan. Bahkan pedagang kaki lima pun jika penjualnya adalah sosok perempuan cantik, maka warung dan jajanannya akan cepat viral.

Kekuatan utama dalam emansipasi tiada lain terletak pada ilmu pengetahuan. Dalam kitab suci Alquran surah Ar-Rahman ayat 33 menegaskan hal ini. Terjemahannya kurang lebih seperti berikut, “Hai jemaah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan”. Untuk menembus penjuru langit dan bumi termasuk di dalamnya emansipasi harus didukung oleh kekuatan ilmu pengetahuan.

Pada konteks itu, mari kita bercermin dari sosok Maria Ulfa. Kita sudah sering mendengar dan membaca bahwa dalam proses perumusan pondasi Negara Indonesia, di antara enam puluh dua anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)/ Dekoritsu Zunbi Coosakai, ada dua sosok perempuan yang ikut andil secara langsung, dia adalah Maria Ulfa dan Siti Sukaptinah.

Peran dan kapasitasnya dalam kongres BPUPKI tersebut tidak dapat dinafikan. Mereka ikut terlibat dalam perumusan dasar negara dan konstitusi. Kontribusi pemikirannya bahkan diakomodasi dalam pasal 27 ayat 1 UUD NRI 1945 tentang kesamaan kedudukan di depan hukum. Jika kita telisik lebih dalam lagi di antara 189 generasi pertama alumni sekolah Rechsschool, nama Maria Ulfa adalah salah satu di antaranya, perempuan pertama yang bergelar sarjana hukum. Sederet peran Maria Ulfa dalam lingkaran pemerintahan sampai menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 1988 tidak dapat dipandang sebelah mata. Pantaslah beliau diberikan satu tempat sebagai peristirahatan terakhir di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata.  

Jika dipersandingkan antara kisah Medusa dan Maria Ulfa memang terkesan tidak fair apalagi estimasi waktu di antara keduanya terlampau sangat jauh. Medusa hidup di zaman Yunani kuno di mana mitos-mitos masih menguasai relung hidup manusia, sementara Maria Ulfa hidup di abad ke-20 zaman millenium pertama (18 Agustus 1911 – 15 April 1988). Tetapi poinnya tidak terletak pada hitung-hitungan angka tahun. Poinnya adalah ilmu pengetahuan menjadi syarat mutlak bagi perempuan di mana pun posisinya.

Tentu saja Maria Ulfa menjadi sosok yang diperhitungkan bukan karena membangun mitos-mitos sebagaimana mitos yang menyelimuti Medusa atau bahkan cerita perempuan horor dalam film-film yang membuat bulu kuduk kita berdiri. Perempuan di masa sekarang, era yang begitu kompleks, kini harus menjatuhkan pilihannya apakah mewujud seperti Medusa di masa lampau, atau menjadi perempuan horor untuk mempertahankan eksistensinya ataukah menjadi sosok Maria Ulfa. Silahkan memilih. terserah Anda!

Wallahu‘alam bissawab.  


Sumber gambar: Www.goodnewsfromindonesia.id/2020/06/08/belajar-dari-maria-ulfah-menteri-perempuan-pertama-di-indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *