Toxic Relationship: Atas Nama Cinta?

Setiap pasangan memiliki potensi beracun. Tak mengenal, sebagaimana manusia yang merasa cendekia, seniman, budayawan, dan orang alim. Atau seolah-olah romantis. Cinta itu sabana dan telaga menyejukkan. Bukan menjadikannya slogan semata. Cinta itu sakral. Saya kemudian tergugat, tergurah, dan tergugah, pada fenomena hubungan beracun ini. Sejatinya pasangan, hubungan itu bersemi dan saling melengkapi.

Apa itu toxic relathionship? Toxic relationship adalah hubungan yang ditandai dengan perilaku buruk, tidak sehat secara emosional yang dilakukan salah satu pihak kepada pasangannya. Tidak jarang merusak secara fisik. Orang yang terlibat atau terjebak dalam hubungan toxic relationship, biasanya akan menguras banyak energi, hingga merusak harga diri. Idealnya, hubungan yang sehat melibatkan perhatian timbal balik, rasa hormat, kasih sayang, serta kesejahteraan. Sebagaimana impian semua pasangan.

Toxic relationship ditandai dengan suasana tidak nyaman dan aman. Sikap egois selalu mendominasi. Hubungan tersebut tidak akan berlangsung lama, hanya akan meruntuhkan tahta kerajaan cinta, yang dulu diagungkan, saat masa perkenalan, berjanji saling melengkapi dan melindungi. Namun, tidak happy ending. Cinta bukan sekejap mendekap, dia bertahap seperti rindu menggebu tidak menjadi beku. Tetapi realitas pada hubungan ini, semua terasa kaku. Plato menambahkan, “Sebagaimana cemburu, rasa memiliki, itu kadar cinta paling terendah.”

Suatu hubungan tidak sehat, berdampak buruk bagi keadaan fisik maupun mental seseorang. Hubungan ini pula, sesungguhnya tidak hanya terjadi pada sepasang kekasih, suami istri, tapi juga bisa terjadi pada orang-orang sekitar kita: teman, kelompok, lingkungan, bahkan keluarga.

Secara umum ini telah terjadi. Sayangnya, banyak orang yang tidak menyadari bahwa mereka sedang terjebak dalam toxic relationship. Maka jangan merasa aman dalam sebuah hubungan.

Justru, tanpa sadar pernah memperlakukan orang sekitar kita, merasa tidak nyaman, merasa tersinggung secara tutur, atau melalui gerak tubuh bisa berpotensi menimbulkan reaksi negatif, bahkan secara psikis. Atau bisa saja di antara kita pernah memperlakukan pasangan seperti dominasi peran, lalu pasangan hanya memilih diam.

Ciri sederhananya, ketika membuat salah satu pihak merasa tertekan, tersakiti hatinya, hingga berlarut menjadi prahara yang tidak bisa lagi dilerai. Inilah mengapa toxic relationship tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Maka dalam kasus ini, butuh penanganan khusus, apakah itu dengan berkonsultasi pada pihak psikiater, atau orang paling dipercaya, terutama keluarga tentunya. Agar ini tidak berdampak buruk pada hubungan beracun ini.

“Atas nama cinta” hanya ingin merasakan sensasi dan khasiat. Ada kata sepakat, sama-sama ingin memikat dan terikat, tetapi memiliki tabiat. Apalagi cinta erotik misalnya. Fokusnya adalah kesenangan jasmaniah, nalurinya penuh fantasi mencari kesenangan fisik. Cinta ini sangat ironi. Tidak boleh berhenti apalagi terbawa suasana di tahap ini.

Seseorang akan menjadi korban perasaanya sendiri. Nah, ciri seperti ini telah banyak terjadi. Dia akan patuh dan menjadi budak cinta yang sesungguhnya. Seperti pertama kali mengalami pubertas, atau bahkan berkali-kali merasakan jatuh cinta, penuh bahasa perayu, meniru deretan roman-roman percintaan. Sungguh amat klasik merasakan asik, tetapi pandai berkelik. Cukup menggelitik rasanya, baru tumbuh seputik berani memetik.

Ada juga hubungan merasa memiliki, takut kehilangan terhadap pasangan. Hubungan sepertiini, akan mengabaikan kebaikan yang lain seperti keluarga, persahabatan, bahkan orang tua. Inilah “pecinta ala kadal”. Beberapa sumber menegaskan, hubungan ini sebaiknya segeralahmengakhirinya. Jangan bertaruh “atas mama cinta”.

Apakah kita juga aman dalam isitilah toxic relathionship? Hati-hati. Jangan-jangan kita salah satu pelaku pula pada hubungan ini tanpa kita sadari. Baik terhadap pasangan, suami istri, teman, tetangga, pada keluarga (orang tua). Saya kira tak ada salahnya juga kita menelusuri dan sejenak merenungkannya.

Dilansir dari Time, ahli komunikasi dan psikologi yang berbasis di California AS, Dr Lillian Glass, kali pertama memperkenalkan istilah “toxic” lewat bukunya bertajuk Toxic People pada 1995. Ia menyebut toxic relationship artinya hubungan yang bersifat merusak karena konflik, tidak saling mendukung, muncul persaingan, sampai hilangnya rasa hormat, dankekompakan.

Ketidakmampuan menerima perlakuan sifat setiap pasangan, sebagaimana cinta, dia muncul seketika secara alami. Dia hadir sebagai penyucian hati, pikiran, emosi dan rohaniah. Bukan sekadar bumbu penyedap dalam hubungan. Sujiwo Tejo menambahkan, mencintai bukan sebatas angka-angka. Jika kau memilih karena dia perhatian, dan telah memiliki kemampuan materi, itu juga tidak menjamin kebahagiaan.

Henry Manampiring, dalam bukunya Filosofi Teras. Menghubungkan bahwa lebih dari 2.000 tahun lalu, sebuah mazhab menemukan akar masalah dan juga solusi dari banyak emosi negatif. Upaya mengetahui sifat, karakter dan mengatasi emosi negatif, menghasilkan mental yang tangguh dalam menghadapi setiap sesi kehidupan di dunia ini.

Memilih pasangan bukan sekadar dalam kadar yang melewati radar mata, dia adalah rasa. Penerimaan secara keseluruhan. Menerima konsekuensi dari sebuah pilihan. Bukan semata menata kata.

Atas nama cinta, bukan aksi sejuta kata-kata, seribu rayuan, dan rangkaian sajak-sajak semata, Tetapi hubungan itu bisa bertahan ketika mencintai, tetapi menerima kekurangan, menghargai satu sama lain. Bukan hanya meletakkan bunga mawar dan mahar, dengan sebatang lilin di sudut ruang sebuah restoran, sembari meminjam puisi cinta romantis, tetapi berakhir tragis.

Ilustrasi: Adam Martinakis, pixelle.co

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *