Bun, hidup berjalan seperti bajingan…
Tulisan ini didekasikan untuk sejawat seperjuangan, yang saat ini mungkin saja mengalami nasib yang sedang bajingan-bajingannya, serupa penggalan lirik lagu Nadin Amizah di atas.
Anggap saja sebentuk panggilan support system, dari sesama penyintas quarter life crisis.
Sekalian curhat sih. He he.
Quarter- life- crisis (qlc). Dalam terjemahannya, memiliki arti krisis seperempat abad, atau kerap disebut krisis jati diri, semantik fenomena psikososial, dan tidak jarang menjangkiti mereka, yang beringsut pada kurun transisi, dari fase remaja ke fase dewasa. Lazim ditemukan pada milenial di rentang usia 25 sampai 30-an. Ya, namanya juga krisis seperempat abad.
Alexandra Robbins & Abby Wilner dalam bukunya, Quarterlife crisis: The Unique Challenges of Life in Your Twenties, merupakan ahli pertama yang menggugah istilah ini, berpangka penelitian terhadap kaum muda Amerika Serikat, yang kemudian dijuluki sebagai “twentysomething”, individu yang baru saja meninggalkan kenyamanan hidup sebagai remaja, menuju dunia nyata, mulai mengenal tuntutan sosial laiknya individu dewasa.
Lazimnya, jika seseorang telah menuntaskan kewajiban belajar di bangku kuliah, maka secara tidak langsung sudah dianggap dewasa. Teman-teman fresh graduate pasti relate-lah, bagaimana pusingnya menjadi manusia (yang konon sudah) dewasa, setelah melalui fase perkuliahan. Teori belajar, kemudian merealisasikan dan mengaplikasikan studi yang telah diterima di bangku kuliah, tidaklah semudah memindahkan tali toga di momen wisuda.
Bagaimana tidak, fase yang sebelumnya dihabiskan dengan fokus menuntut ilmu semata, ketawa ketiwi sambil gibahin senior, belum mengenal beban finansial dan tuntutan lain selain belajar,lengkap dengan teman-teman yang masih setia membersamai, melalui asam getir dunia perkuliahan. Sepelik-pelik masalah yang dihadapi saat itu, paling tidak jauh dari perkara drama mengejar tanda tangan dosen, atau tatkala harus bertemu dan menghadapi dosen killer.
Tahun-tahun yang aman, tenteram, dan sentosa itu mendadak berubah ketika negara api menyerang, maksud saya, ketika dunia nyata mulai menampakkan wujud aslinya, memunculkan tanda tanya besar. Fresh graduate, fresh problems.
Hikmatnya, tantangan yang diterima ketika kuliah/sekolah, dan tantangan yang diperoleh ketika memasuki dunia kerja, lebih banyak tidak simultan.
Sebagai acuan, selama duduk di bangku kuliah, pelajaran yang ditanamkan hanya sebatas teori yang bersifat formal dan ilmiah. Tidak ada mata kuliah khusus, yang mengajarkan cara bertahan hidup di dunia orang dewasa, atau kiat memilih pekerjaan untuk manusia yang tidak tahu bakat dan passion-nya apa, atau mungkin tips melewati fase quarter life crisis, tanpa kesulitan dan risiko cedera, misalnya. Tidak ada!
Bagaimana tidak terkesiap, terkejut dan ter-ter lainnya, setelah menjejak sekian belas/puluh tahun, dengan bergantung kepada orang tua, lalu begitu menyandang gelar sarjana, tiba-tiba dilepas begitu saja ke dunia antah berantah, yang sama sekali asing dan sangat jauh dari zona nyaman.
Sinambung, turut mengambil andil, kerabat-kerabat dekat, teman nongkrong, teman seangkatan dari playgroup hingga kuliah, paman, tante, sepupu satu kali hingga sekian kali, tiba-tiba saja tanpa instruksi dan aba-aba, kompak menjelma juri pengamat, tekun sekali menanyakan, progres apa saja yang telah dicapai dalam hidup setiap bersua.
Dalihnya sih, “sekadar mengingatkan”, tapi lama kelamaan, kok terkesan mengatur, bahkan seolah menghakimi.
Dari pertanyaan, “Kapan nikah?” Lama-lama, narasi pertanyaannya berganti menjadi, “Makanya, jadi orang jangan pilih-pilih, nanti tidak laku!” Kalimat “Kapan wisuda?” Besok lusa, bisa berubah bunyi, “Makanya kuliah yang benar, jangan taunya cuma main dan organisasi tok.”
Fenomena yang akan membuat anda berharap, seandainya saja lidah memiliki tulang, tentu beberapa orang tidak akan sebegitu cerewet dan berisiknya.
Padahal, tanpa dicekoki pertanyaan-pertanyaan memuakkan tersebut, otak kita sudah cukup jadi alarm ampuh, bahkan seringkali tidak tahu jeda mengulang pertanyaan-pertanyaan serupa.
Kerja di mana ya, selanjutnya? Di kantor A sepertinya cocok, tapi jam kerja terlalu padat, takut stres. Di tempat B jam kerja aman, tapi finansial mana cukup kalau cuma segitu. Di lembaga X katanya sedang lowong, tapi kan tidak sesuai passion… apa lanjut S2 saja ya, tapi kan mahal. Atau langsung nikah? Tapi sama siapa? Saya kan jomlo, eh…
Sekelumit gambaran keruwetan hidup seorang penyintas quarter life crisis, segudang pertanyaan menuntut segera dijawab, alih-alih menemukan jawaban yang tepat, malah tidak jarang berbuntut kata “tapi” yang tidak kalah banyak.
Setelah dibingungkan soal cinta dan karir, dibuat kalang kabut oleh pertanyaan-pertanyaan sensitif dari sanak saudara, quarter life crisis ternyata belum berhenti sampai disitu. Setidaknya pada beberapa orang, si-quarter life crisis ini berpotensi memberi efek insecurities. Tentu, ketika melihat teman-teman seusia kita sudah lebih sukses, mapan, punya anak lima, sementara kita, masih belum kemana-mana.
Gejolak insecure ini pun masih punya peluang beranak-pinak, membelah diri menjadi beberapa bagian, umumnya berupa rasa minder, kesepian, ragu akan potensi diri, merasa gagal, dan puncaknya bisa berakhir dengan mengutuk dan membenci diri sendiri.
Ck ck ck. Mampus kau dikoyak-koyak sepi quarter life crisis.
Indikasi inilah yang dimaksud Robbins William, sebagai salah satu faktor pemicu terjadinya quarter life crisis, the locked-out form, istilah yang dipakai ketika individu merasa tidak mampu,atau tidak siap menanggung tuntutan peran manusia dewasa.
Tafsiran serupa jua, yang berusaha dirunut dari uraian tulisan di atas. Seorang individu yang hendak dikata dewasa, tapi kok rasa-rasanya masih belum mampu dan kuasa?
Kendati merupakan gejala psikologi yang terbilang umum, namun, tetap diperlukan kiat dan siasat tertentu, agar tidak sampai mempengaruhi aspek hidup yang lain.
Upaya ini dapat dimulai, dengan memandang badai krisis ini sebagai proses/anak tangga, untuk naik kelas ke taraf hidup selanjutnya, jadikan kegagalan dan ketidakpastian sebagai pengalaman, serta kesempatan untuk belajar. Bersikap abai dengan menghindar, atau lari dari masalah tidak akan menyelesaikan apapun.
Fokus dan percaya pada potensi yang dimiliki, pun berhenti membandingkan pencapaian diri dengan pencapaian orang lain. Hidup bukanlah kompetisi atau perlombaan, waktu yang cepat ≠ waktu yang tepat. Setiap manusia memiliki jalan, garis waktu, dan jatah bahagianya masing-masing. Tentu, dilihat dari seberapa tekunnya usaha pemantasan diri manusia, menuju titik itu.
Singkatnya, sebaik-baik upaya yang dapat dilakukan, yakni penerimaan dan bertawakal melalui proses. Penerimaan diri dengan segala kekurangannya, juga untuk segala hal yang berada di luar kendali.
Semegah-megah manusia membangun rencana, sedigdaya bagaimanapun suatu usaha, Tuhan jualah setinggi-tinggi Pemasti keputusan dan Maha Mengetahui yang terbaik untuk hamba-Nya.
Sepanjang sudah mengupayakan yang terbaik di level maksimal masing-masing, maka selebihnya, tinggal berbaik sangka dan percaya kepada sang Maha Pengendali kehidupan.
Usaha, ikhtiar dan doa, selalu punya daya magis, dan mekanisme kerjanya sendiri.
Do good and good will come to you, bukankah begitu, twenties?
Sumber gambar: www.baktinusa.id/seni-bertindak-pintar-menghadapi-quarter-life-crisis/
Perempuan kelahiran Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Salah seorang penyintas QLC. Aktif sebagai pengajar di salah satu sekolah swasta di Kabupaten Bantaeng.