Sukini Dawud, baru saja meluapkan kebahagiaan berhasil membimbing Bilqis melewati masa krusial di hari pertama puasanya. Ini latihan puasa pertama Bilqis, anak perempuan Sukini, yang baru berusia 5 tahun. Sebelumnya sang ibu sempat khawatir, apakah anaknya mampu melewati tantangan demi tantangan setiap menitnya. Apalagi si Bilqis sehari-hari doyan ngemil, dan tempat paling favorit dalam rumah adalah meja makan dan kulkas.
Sungguh sulit, setiap jam Bilqis selalu ingin membatalkan puasanya. Trik demi trik dilakukan Sukini untuk mengulur waktu, mulai dari mengajaknya menonton film kartun kesayangan, larut menjadi teman bermain, sampai menceritakan kisah motivasi tentang keadaan surga penuh mainan. Jika mampu menyelesaikan puasanya hari itu, Bilqis berhak mendapatkan hadiah mainan. Alhasil, Bilqis berhasil menunaikan puasa pertamanya, dan kini telah siap bejuang menahan lapar di hari-hari berikutnya.
Kisah Ibu Sukini dan Bilqis satu cerita dari banyak kisah perjuangan bagi setiap keluarga mengenalkan ibadah puasa, rukun Islam ketiga, kepada anak-anaknya, yakni ibadah terpanjang di antara lima rukun Islam lainnya. Metodologi mengenalkan puasa bisa berpengaruh sama, atau berbeda, dan bahkan mungkin lebih sengit lagi dari ibu Sukini.
Saya juga ingin bercerita tentang putra kedua kami yang sementara duduk di kelas dua madrasah ibtidaiyah. Ia seakan-akan tak mau kalah dari kakaknya yang sudah duduk di kelas lima madrasah ibtidaiyah dalam menyambut ramadan tahun ini. Entah masih menyimpan memori Ramadan tahun lalu di mana kakaknya mendapatkan hadiah setelah mampu menuntaskan puasanya sebulan penuh. Atau karena ada motivasi lain dalam pikirannya. Saya tidak menanyakannya, apalagi ini masih di hari-hari pertama Ramadan.
Di malam pertama ramadan, tarawihnya berjalan lancar, puasanya pun sama lancarnya. Saya masih menunggu apa yang akan terjadi di hari selanjutnya. Sampailah di hari ke lima. Bak seorang pelaksana kegiatan yang mengajukan proposal untuk mendapatkan dukungan finansial, kini dia merengek minta dibelikan petasan dan akan saya tepati sepulang tarawih keesokan harinya. Sikap kompromi makin dia tunjukkan di malam itu, sampai dia tertidur lelap di masjid saat mubalig menyampaikan khotbahnya.
Ketika salat tarawih baru saja dimulai, ditandai peringatan dari imam, saya geser posisi tidurnya khawatir akan mengganggu saf dan kekhusyukan jemaah lain. Eh, bukannya melanjutkan tidurnya, ia malah langsung berdiri mengikuti rakaat demi rakaat tarawih. Berdiri sempoyongan bercampur rasa ngantuk, tapi akhirnya bisa sampai menuntaskan witir.
Anak sejatinya perlu dilatih untuk mendekatkan dirinya pada dimensi tauhid, dimensi spiritual. Dan, bulan ramadan menjadi momen paling tepat menajamkan dimensi spiritual anak melalui banyak latihan ibadah. Hal ini bukan penderitaan meski harus menahan lapar dan dahaga, menunda tidur demi sholat lail, meluangkan waktu mengulang atau memperbaiki bacaan Al-Qur’annya, ditambah lagi harus bangun lebih awal untuk melaksanakan sahur.
Tak ada derita jika tulus menjalaninya. Ini bagian proses pembelajaran bagi anak untuk sampai pada titik puncak ruhaniahnya. Secara tidak langsung untuk menjaganya agar tidak lupa perjanjian primordial dengan Tuhannya.
Ini adalah proses latihan, pendidikan, pembiasaan atau tarbiyah agar dapat bertahan sekaligus bentuk transformasi kedewasaan. Transformasi ini ibarat elang yang berproses mempertahankan kehidupan jasmaniahnya lebih lama sampai 70 tahun. Paruh yang menua, cakar memanjang dan lembek, bulu yang makin berat menebal diusia 40 tahun. Alat-alat vital kehidupannya di-repair agar bisa berfungsi kembali. Tetapi risikonya ia harus menanggung sakit, derita, dan juga lapar. Ini adalah bentuk kerelaan elang keluar dari zona nyamannya demi tujuan yang lebih tinggi, yakni bertahan hidup lebih panjang.
Paruh tua itu dilepasnya secara paksa dengan cara mematuk-matuk batu karang. Menunggu kesempurnannya kemudian menggunakannya untuk mencabuti kuku dan bulu lebatnya. Kurang lebih seratus lima puluh hari elang mengunakan waktu untuk bertransformasi sampai semuanya berfungsi normal. Elang sudah siap menjalani kehidupan selanjutnya untuk 30 tahun kedepan.
Dari mana elang memperoleh informasi tentang kerelaan itu? Tentu dari habitatnya sendiri. Bisa jadi diajarkan induknya sebagaimana pertama kali ia diajarkan mengepakkan sayap untuk terbang. Atau secara otodidak dipelajarinya dalam pergaulan sosialnya. Pelajaran hidup yang sangat berharga dari burung elang tentang kerelaan dan transformasi. Betapa banyak di antara kita sangsi melihat anak dirundung sakit dan derita, padahal semua itu dilakukan dengan satu alasan yakni cinta.
Pengejawantahan rasa cinta terhadap anak cukup beragam bentuknya. Menurut Laurence Steinberg, dosen psikologi di Temple University, menyatakan kadang di antara kita sebagai orangtua mengungkapkan rasa cinta dengan menggantinya melalui pemberian kemewahan, kepemilikan materi, membebaskannya dari beban pekerjaan, memberikan mainan kesukaan, memberikan hadiah, dan sebagainya.
Adapula sebagian orangtua memendam rasa cintanya dengan cara menjaga jarak agar nampak tidak manja. Ini juga bagian kecintaan kepada anak. Terlalu dalam menghujamkan rasa cinta kepada anak justru akan membuatnya berkarakter lemah. Sebaliknya, anak diperlakukan dengan keras, akan membuatnya berkarakter kuat. Cara ini termasuk “aliran kuno” menurut Steinberg.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah benar seorang anak mesti diberikan hadiah agar mendorongnya melakukan kebaikan? Apakah pemberian hadiah juga merupakan bentuk rasa cinta itu?
Pemberian cinta dan kasih sayang kepada anak tidak mesti dengan cara memenuhi semua keinginan anak. Hati-hati, sangat tipis bedanya antara memberikan hadiah sebagai pemantik motivasi dengan membeli kerelaannya (sogok) untuk melakukan sesuatu. Harus ada batas antara apakah kita menunjukkan cinta dan kasih sayang , dengan bagaimana kita melakukan cinta dan kasih sayang itu. Kita semua mengyakini semua orangtua menginginkan anaknya berhasil, namun hal itu jangan menjadi alasan pembenar untuk menempuh segala cara.
Kerelaan merupakan sikap tanpa syarat. Ia lahir begitu saja dari dalam hati atas dasar keikhlasan. Tidak ada tendensi apapun dalam setiap tindakan sehingga semuanya terasa ringan. Adalah suatu hal yang wajar jika kita menjanjikan ataupun memberikan hadiah kepada anak-anak kita ketika mampu mencapai puncak perjuangannya. Diksi ini tentu berlaku terbatas bagi anak yang baru belajar termasuk yang baru menjajaki shaum ramadan.
Reward akan berbeda konteksnya jika ditujukan kepada remaja atau orang dewasa. Pada konteks remaja dan orang dewasa, harus ada pendekatan berbeda dan trik gombal demi melahirkan kerelaan. Jika tidak, maka sampai tua dalam aktivitas apa saja akan selalu melakukan sesuatu dengan menunggu hadiah di balik tindakannya.
Pemberian reward butuh sikap hati-hati agar tidak terkesan seperti sedang membeli kerelaan (sogokan). Semoga saja anak-anak kita menjalankan ibadah ramadan dengan dasar keikhlasan semata, dan bukan karena kita telah membeli kerelaannya.
Wallahu’alam bissawab.
Sumber gambar: www.liputan6.com
Guru PPKn MTs Negeri Bantaeng Kab. Bantaeng.