Potret Ramadan di Desaku

Sekitar lima hari yang lalu saya berangkat dari Makassar menuju kampung halaman, Bantaeng. Setelah menghabiskan beberapa hari bulan Ramadan di Makassar saya memutuskan untuk kembali ke kampung sebelum larangan mudik diterapkan, peraturan pemerintah yang cukup membingungkan. Melarang mudik dengan alasan mencegah penularan Covid-19 karena pulang ke kampung akan mengadakan sebuah perkumpulan, tetapi bukber (buka bersama) di kota-kota besar dianggap biasa saja. Larangan mudik kali ini merupakan jilid dua dalam bulan Ramadan. Sebelum bulan ramadan tidak menutup kemungkinan ada yang pulang kampung, banyak yang melakukan perjalanan keluar daerah, antarkota, provinsi bahkan negara. Kenapa harus menunggu Ramadan untuk melarang orang melakukan perjalanan keluar daerah atau mudik?

Selain itu hal yang cukup membuat saya melongo, di tengah gencarnya larangan mudik, loh kok orang asing diizinkan masuk ke Indonesia? Jika antar kota dalam negeri tidak boleh saling mengunjungi, kenapa WNA yang jaraknya ribuan Km dari negeri ini itu dibolehkan mengunjungi bangsa ini? Katanya mau mencegah penularan virus Covid-19, kok WNA diizinkan masuk disaat virus Covid-19 sedang berada di fase membeludak di negara orang asing tersebut. Hah, sudahlah, saya hanya seorang mahasiswi biasa saja yang tidak paham dengan jalan pikiran para pemegang kekuasaan, sok-sok mengomentari kebijakan penguasa, tahu apa kamu? Hmm sepertinya pembahasan ini tidak ada kaitannya dengan judul ya, anggaplah itu hanya sepenggal keresahan alias curhatan saya mengenai larangan mudik jilid dua ini.

Lanjut. Kali ini saya ingin menceritakan kebiasaan warga desa selama bulan ramadan khususnya di kampungku. Saat hari mulai sore sekitar pukul 16:20 biasanya tetangga-tetanggaku, para ibu-ibu mengadakan perkumpulan di serambi salah satu rumah sebagai bentuk ngabuburit ala orang desa. Menunggu waktu buka puasa sambil bercengkerama membahas isi bumi. Tak lupa pula para penjual keliling berkeliaran di kampung saat di sore hari yang tadinya menjual di pagi hari, membawa sejenis kue, ikan, cendol, sayuran, dll.

Agar suasana menongkrongnya tidak hambar, kubunyikanlah radio tua yang terletak di depan kamarku. Saya pun mencari channel yang memutar lagu-lagu bernuansa Ramadan, kebetulan waktu itu yang menjadi titik perkumpulan mereka adalah rumahku. Seperti biasa kalau mereka sedang berkumpul banyak hal yang menjadi topik pembahasan, mulai dari yang baik sampai yang lawannya baik, mulai dari membahas orang-orang sampai membahasku, hmm. Pertanyaan, “Kapan wisuda?” terus diulangi terutama jika ada yang telat datang melewatkan banyak pembahasan, pasti menanyakan hal yang sama, “Kapan wisuda?” Pertanyaannya terlalu jauh, proposalku saja belum beres, haddeeh.

Awalnya saya risi mendengarkan pertanyaan sejenis itu, merasa tertekan, tetapi setelah membaca sebuah tulisan yang sudah tidak kuingat lagi judulnya dan kondisi penulisnya memasuki fase seperti yang sedang saya alami saat ini, mempu mengubah sudut pandangku tentang jenis pertanyaan “Kapan wisuda?” Melalui tulisan tersebut saya bisa menganggap pertanyaan “Kapan wisuda?” sebagai motivasi agar tekun mengerjakan segala hal yang menjadi persyaratan untuk menjadi sarjana. Perkumpulan sejenis ini nyaris setiap hari terjadi di sore hari, saat semua makanan untuk buka puasa sudah siap di rumah masing-masing, 10 menit menjelang buka puasa barulah menongkrong ini bubar.

Bukber ala Orang Desa

Saat bulan Ramadan, ada beberapa orang yang menggelar buka bersama di rumahnya. Acara seperti ini menjadi ajang perkumpulan satu kampung hingga tetangga kampung. Semua makanan dimasak oleh warga, tidak ada istilah katering atau menyewa koki untuk masak, semua pekerjaan dilakukan oleh keluarga dan tetangga. Ketika orang desa mengadakan acara, mereka tidak pernah membuat daftar pembagian job atau PJ, mereka tahu porsinya masing-masing.

Anak laki-laki baik yang puasa sampai yang belum puasa ikut menghadiri buka puasa bersama ayahnya, menggunakan baju koko dilengkapi songkok dengan posisi rapi di kepalanya. Terpancar aura bahagia dari bola mata meraka yang berbinar-binar. Para remaja hingga dewasa tentu tidak mau ketinggalan dari bocah-bocah itu, mereka juga datang bersama rombongannya, menggunakan baju koko yang tidak kalah keren. Mereka lumayan tampak tampan, yayaya. Pada momen inilah para perempuan melihat yang segar-segar istilahnya cuci mata, astagfirullah.

Hal yang perlu diketahui oleh laki-laki saat tiba waktu buka puasa, kami para perempuan di dapur hanya meneguk segelas air putih demi makannya kalian yang tidak boleh telat. Syukur-syukur jika tidak banyak tamu yang telat datang dan rumahnya muat untuk menampung semua tamu sekaligus. Jika banyak yang telat atau ruagannya tidak memungkinkan untuk menampung semua tamu dalam satu babak maka perlu diadakan lebih dari satu ronde makan. Penyajian makanannya tidak seperti di acara pernikahan yang semua jenis lauk serta nasi disiapkan di atas satu meja besar, tamu sendirilah yang memilih lauk yang akan dia masukkan di piringya.   

Penyajian makanan saat menggelar acara buka bersama ala kampungku, semua jenis lauk diisi di piring kemudian dimasukkan ke dalam dulang. Saat membawa dulang dari dapur ke ruang tamu perlu kehati-hatian, jangan sampai piring yang ada di dalamnya tergeser sehingga mengakibatkan semua lauk terhambur. Kekompakan orang desa juga terlihat saat penyajian makanan. Jika kita start dari dapur membawa dulang hingga finish di ruang tamu itu memakan banyak waktu dan agak rancu, bisa mengakibatkan saling bersenggolan di jalan. Jadi yang kami lakukan adalah membagi diri, satu hingga tiga orang berdiri di dapur, kemudian yang lain menyesuaikan diri berdiri di jalur menuju ruang tamu, membentuk tali yang panjang, sehingga dulangnya bisa dioper-oper.

Setelah semua tamu makan barulah kami perempuan makan di dapur. Rasa lelah pasti ada tetapi selama ini dari tahun ke tahun tidak ada satu pun yang mengeluh akibat nyaris satu hari full kerja mulai dari pagi hingga malam dalam keadaan berpuasa tanpa digaji. Usai makan malam, sebagian besar pekerja-pekerja di dapur pulang ke rumahnya masing-masing, tuan rumah tidak lupa memberikan makanan serta ucapan terimakasih kepada tetangga-tetangga yang sudah turut menyukseskan acara buka puasa tersebut. Sebenarnya yang terpenting dari acara buka puasa ini bukan hanya kesuksesan dari acara itu tetapi inti sarinya adalah kebersamaan dan kekompakan yang memupuk silaturahmi antarwarga di bulan suci ini.

Tarawih

Bulan suci Ramadan kali ini pengurus masjid menyewa imam tarawih karena orang yang biasa menjadi imam tarawih sedang menjalani pendidikan setelah dinyatakan lulus sebagai anggota polri tahun ini.Imam tarawih kali ini bisa dikatakan salah satu motivasi anak-anak perempuan untuk rajin salat tarawih di masjid, pasalnya menurut cerita dari sepupuku imamnya cakep, hahaha. Seperti biasa saya berangkat tarawih bersama tetangga dan sepupu-sepupuku, kami selalu berdampingan duduk di masjid. Kebiasaan yang sudah mulai hilang salah satunya, yaitu kebiasaan membawa Al-Qur’an ke masjid yang digeser oleh gawai. Ibu-ibu yang saya perhatikan setiap ramadan pasti menenteng Al-Qur’an ketika hendak salat tarawih, kini gawai yang selalu dibawanya. Hal itu terjadi tentunya bukan tanpa sebab, bisa jadi karena tuntutan pekerjaan yang mengharuskan dia untuk aktif setiap saat di duna maya dan masih banyak lagi kemungkinan-kemungkinan yang mengharuskannya selalu membuka media sosial.       

Saat saya menengok ke arah kiri, kudapati salah satu sepupuku yang kini menuju fase remaja, juga setiap hari membawa gawai ke masjid. Kadang-kadang saya penasaran jenis pembahasan apa yang tidak ingin dia lewatkan sehingga setiap sudah dua rakaat salat tarawih diraihlah gawainya kemudian membuka aplikasi whatsapp. Saat saya mengintip gawainya, suasana whatsappnya memang lebih ramai dari whatsappku, listchatting-nya juga lebih panjang daripada list chat-ku.

Kemudian saat kualihkan pandangan ke depan, kudapati segerombolan anak-anak perempuan mulai dari anak-anak berusia SD hingga SMP saling tukaran gawai. Mereka sepertinya sedang menunjukkan sesuatu di gawainya sambil mendiskusikan suatau hal. Sebagai anak yang lahir di tahun 90-an, tentunya merasa pemandangan ini sangat jauh berbeda dengan kebiasaan di saat saya dan teman sebayaku baru menginjak masa-masa remaja seperti mereka. Wajarlah, waktu itu saya hanya menguasai sejenis handphone yang hanya bisa menelepon dan menerima pesan, sehingga tidak menarik untuk dibawa kemana-mana. Walaupun demikian, pastinya saya tidak akan men-just bahwa zamanku jauh lebih baik daripada mereka atau sebaliknya. Saya juga tidak akan mengatakan bahwa kebiasaan mereka yang lebih sering membawa gawai daripada Al-Qur’an ke masjid adalah suatu hal yang salah. Saya tidak punya wewenang untuk menentukan benar salahnya kelakuan orang lain, toh saya juga tidak pernah membawa Al-Qur’an dan juga tidak menenteng gawai karena list chatku tidak seramai akun mereka alias sepi, kasian.

Mungkin jika saya berada di posisi mereka sekarang, bisa jadi saya akan melakukan hal yang sama. Selaku generasi 90-an, saya hanya merindukan suasana saling tegur sapa, saling menanyakan tentang jumlah kalla-nya (Baca: tidak berpuasa karena ada kendala tertentu), bacaannya sudah sampai juz berapa dan percakapan-percakaan ringan lainnya. Sekarang kebanyakan sibuk dengan gawainya masing-masing, kadang saya diabaikan jika bertanya, perlu mengulangi beberapa kali pertanyaan barulah mendapatkan respon. Kasian yaa kamu generasi 90-an, sudah tua, teman mulai berkurang, dompet cepat menipis, whatsapp sepi dan tidak ada yang pedulih, menyedihkan.

Salat Subuh

Dulu ketika menjelang waktu sahur para tetanggaku membunyikan radionya dengan volume yang lumayan tinggi. Bukan bermaksud untuk mengganggu warga lain tetapi tujuannya untuk membangunkan tetangga agar tidak telat makan sahur. Justru merasa terbantu bagi mereka yang sering terlambat bangun jika hanya mengandalkan alarm. Kebiasaan seperti ini juga menghilang semenjak banyak warga yang sudah memiliki televisi.

Kebiasaan bermain petasan setelah salat subuh baik itu petasan yang dibeli di toko-toko maupun petasan yang diracik sendiri dan kegiatan JJS (Jalan jalan subuh) juga sudah hilang. Para remaja lebih senang berkumpul di teras rumah memainkan online games. Yah, secara anak-anak di desaku tidak kampungan-kampungan amat dalam beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Untuk membeli gawai seharga Rp.2.000.000 ke atas tidak berat bagi sebagian besar warga, cukup satu kali panen mereka sudah bisa memiliki gawai yang jauh lebih canggih dari gawai seorang mahasiswa, seperti gawaiku misalnya, yang tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan milik mereka.

Aktivitas Setiap Hari

Di desa sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani. Setelah salat Subuh, mereka tidak tidur melainkan siap-siap untuk ke ladang. Aktivitasnya selama bulan Ramadan sama dengan bulan-bulan yang lain. Mereka tetap mengunjungi sawah atau pun kebunnya, mengerjakan sesuatu yang harus dibereskan. Pekerjaan petani tidak bisa seenaknya dimajukan ataupun diundur, jika sudah waktunya dipanen maka harus dipanen. Tidak dapat diatur oleh manusia tetapi dilihat dari kondisi tanamannya, karena jika dipanen pada waktu yang tidak tepat maka bisa mengakibatkan hasil panen mengalami masalah. Beraktivitas di saat bulan Ramadan ada yang tetap bekerja seperti biasa tetapi mengurangi durasi kerjanya. Ada pula yang memilih untuk tidak puasa jika pekerjaannya sangat berat, tidak ada bentuk protes mengenai pilihannya, tidak ada yang men-judge bahwa orang-orang ini akan berdosa dan masuk neraka karena tidak puasa gara-gara panen padi. Orang-orang di desaku memahami bahwa ibadah adalah urusan setiap hamba dengan tuhannya.

Bersedekah

Walaupun hidup di desa yang semua makanan mulai dari bahan pokok hingga lauk pauk disiapkan oleh alam, tidak harus membeli, bukan berarti semua orang desa hidup makmur. Jika di kota besar terdapat banyak orang yang hidup di jalanan alias pengemis akibat kebutuhan finansial tidak memadai, di desa juga ada orang yang tidak bercukupan, bedanya mereka tidak menghadapkan telapak tangannya ke atas di hadapan orang lain alias mengemis. Cara mereka untuk bertahan hidup, yaitu membantu pekerjaan orang lain di ladang sehingga pemilik ladang memberikan upah sejenis jagung, padi atau uang.

Bagi muslimin dan muslimat, bulan suci Ramadan adalah momen terbaik untuk mengais pahala. Orang-orang berlomba-lomba berbuat baik, termasuk di kampungku, salah satunya dengan cara berbagi atau bersedekah. Tentunya hal itu sangat baik dan akan lebih baik lagi jika dilakukan bukan hanya dalam bulan suci Ramadan. Sekitar tiga hari yang lalu saya diminta oleh ibuku untuk mengunjungi rumahnya Daeng Ngasina. Ibuku menyiapkan beras yang jumlahnya tidak banyak di dalam kantongan warna hitam untuk diberikan kepada Daeng Ngasina. Waktu itu saya tidak sendirian, dua orang tanteku juga mengunjungi Daeng Ngasina dengan niat yang sama pastinya.

Mengunjungi rumah Daeng Ngasina saat bulan ramadan merupakan kegiatanku setiap tahunnya, dulu saya selalu menemani ibuku tetapi kali ini ibuku tidak bisa ikut. Dulu waktu masih duduk di bangku SD, saat itu saya sedang merapikan kuku jari-jari kakinyaibuku, saya pernah menanyakan kenapa kita harus membawakan daeng Ngasina beras? Ibuku tidak mengatakan bahwa karena Daeng Ngasina miskin, tidak punya uang untuk membeli beras, tapi ibuku menjawab “Karena Daeng Ngasina butuh dan kita punya sedikit apa yang beliau butuhkan. Jika bukan sesama warga yang saling membatu, siapa lagi.”

Daeng Ngasina merupakan salah satu warga yang sangat membutuhkan uluran tangan dari warga yang hidupnya serba cukup. Daeng Ngasina adalah perempuan berusia senja tinggal di rumah yang luasnya seperti kamar indekosku di Tallasalapang, Makassar, bersama seorang cucu perempuannya bernama Zindi, umurnya sekitar empat tahun. Semua anak beliau sudah memiliki kehidupan sendiri sehingga tidak bisa tinggal bersamanya dan suaminya sudah  meninggal puluhan tahun yang lalu.

Saat beliau dalam keadaan tidak memiliki satupun gigi, rambut sudah memutih, badannya tidak dapat tegak lagi jika berdiri, lututnya yang sering sakit, Daeng Ngasina tetap harus bekerja keras agar bisa bertahan hidup. Aktivitasnya sama dengan orang-orang yang berusia 20-an tahun, bekerja di sepetak kebun yang merupakan tanah orang lain yang digarapnya, nanti hasil panen dibagi dua. Beliau tetap merawat jagungnya, mulai dari menanam, memupuk, mencabut rumput, semua dilakukan sendirian, mengingat cucunya belum cukup umur untuk meringankan bebannya. Selain bertani, Daeng Ngasina menerima jasa kero kopi (Menyangrai biji kopi untuk dijadikan bubuk), mengingat di desaku banyak pecandu kopi, termasuk saya. Sementara banyak orang yang tidak tahu akero kopi atau tidak punya waktu, karena akero kopi tidaklah mudah dan memakan banyak waktu. Melalui jasa tersebut Daeng Ngasina mendapatkan upah, beliau bisa memilih mau upah berwujud uang atau beras, dll.

Berdasarkan cerita yang beliau sampaikan waktu itu, tidak jarang beliau terjatuh ketika hendak pulang dari kebun dalam keadaan membawa kayu bakar. Kisah hidup yang cukup melarat hati itulah yang mengundang banyak simpati dari warga-warga. Setiap bulan Ramadan Daeng Ngasina menerima banyak pemberiandari warga setempat berupa beras, uang, kue, baju baru, dll. Kekompakan warga di desaku dalam berbagicukup bagus.

Mendengar dan menyaksikan sedikit kisahnya membawa pikiranku menerawang masa depan, tiba-tiba saya  memikirkan nasibku jika tiba masa tuaku nanti. Apakah saya bisa bertahan dengan kondisi fisik lemah, kondisi finansial tidak memadai dan tinggal di rumah yang sempit bersama seorang cucu yang masih belia? Aaish, pikiranku terlalu jauh. Lamunanku dibubarkan oleh kedatangan Daeng Bau’, beliau merupakan salah satu tetangga Daeng Ngasina. Daeng Bau’ juga membawa kantongan, mungkin isinya beras.

Sekitar satu jam berlalu, saya dan juga tante ku pamit pulang. Saat di perjalanan, saya menyadari bahwa diantara ratusan manusia di desa ini, Daeng Ngasina adalah orangterbaik yangdipilih oleh Tuhan untuk menjadi perempuan kuat dalam menjalani hidup serba keterbatasan. Perempuan tua seperti Daeng Ngasina yang tetap bekerja keras untuk bertahan hidup, di saat beliau semestinya menikmati masa-masa tuanya dengan bersantai di rumah bersama cucu-cucunya, akan selalu membutuhkan uluran tangan dari orang-orang sekitar termasuk pemerintah bukan hanya dalam bulan ramadan.

Panai Pittara’

Menjelang lebaran warga disibukkan dengan panai pittara’ (Zakat fitrah). Panai pittara’ merupakan kegiatan warga dalam mengeluarkan zakat fitrah dengan berkunjung ke masjid setelah salat duhur, membawa kobo’ (Baca: wadah berbentuk bulat menyerupai panci besar) berisi beras sesuai jumlah orang yang ada di rumahnya masing-masing. Setiap satu orang diwakili oleh tiga liter beras kemudian dilengkapi dengan jenis bahan makanan lainnya. Jadi, misalnya dalam satu rumah terdapat lima orang yang tinggal menetap, maka beras yang dibawa berjumlah 15 liter. Selain dapat pahala, orang-orang di kampungku juga meyakini bahwa apa yang mereka keluarkan untuk panai pittara’ itu pula yang akan mereka makan di akhirat nanti.

Selain itu, warga juga disibukkan dengan persiapan lebaran, bukan baju lebaran yang mereka urusi tetapi persiapan menyambut hari raya idulfitri. Seperti biasa, di kampungku terdapat sebuah tradisi dalam menyambut hari raya idulfitri. H-1 lebaran warga menggelar acaraabaca-baca (Baca: menyajikan makanan di atas dulang lengkap dengan air minum beserta kemenyan yang di taburkan ke dalam bara api) kemudian dipanggilah seorang laki-laki paruh baya yang paham tentang mantra-mantra yang digunakan pada abaca-baca itu, lalu dialah yang menyampaikan maksud atau tujuan diadakannya abaca-baca tersebut. Orang-orang di desaku percaya bahwa melalui tradisi abaca-baca semua arwah keluarga yang telah meninggal bisa ikut menyambut hari raya idulfitri dan mereka merasa diingat oleh kami yang masih melata di muka bumi.

Isi dari dulang yang akan dibaca-bacai adalah burasa’ (Baca: beras ketan dicampur santan yang dipanaskan atau di kampungku lebih dikenal dengan nama minya tana’kemudian  dibungkus daun kelapa berwarna kuning hingga membentuk persegi panjang dan bisa pula dibungkus menggunakan daun pisang) dilengkapi berbagai jenis lauk pauk. Setelah proses abaca-baca selesai, dipanggillah para tetangga untuk makan bersama.

Seperti itulah potret Ramadan di desaku, bagaimana di desa kalian?

  • (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak bangunan. Frank…

  • Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat…

  • “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi saksi bisu…

  • “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini.…

  • —mengenang 3 tahun kepergian Sapardi Djoko Damono SEJAK baheula manusia dikepung puisi. Sekira tahun 1.700 Sebelum Masehi di India, puisi sudah tengger di naskah kuno Veda dan Gathas. Puisi adalah ekspresi artistik mengenai pesona diri dan hidup. Ibarat bakul puisi mewadahi “benak” penyair, yang diperah dari peng-alam-an: imajinatif, emosional, dan intelektual—peng-alam-an ini dipahat penyair pada…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221