Seorang anak menangis sembari memeluk orangtuanya, mencium kakinya, dan menghaturkan beribu maaf dari bibirnya yang kelu. Mengingat semua masa yang lewat, di mana ia lebih banyak abai dari pada peduli, ia merasakan hatinya luluh kembali setelah membatu sekian lama. Matanya yang tak pernah menangis itu, kini membasahi dirinya sendiri. Deras sekali. Ia merasakan dirinya kembali. Menemukan sisi lama dirinya yang sempat terkubur oleh hiruk pikuk bisingnya kota. Air matanya menasbihkan dirinya bahwa ia masihlah manusia.
Atau seorang ibu, yang menangis memeluk anak-anaknya yang masih kecil. Anak yang ditinggal untuk bisa hidup lebih baik. Ibu harus hidup jauh, agar bisa terus mengirim uang untuk biaya sekolah anak. Di hari itu, si ibu kembali dengan perasaan haru yang membuncah. Memecah celengan rindu yang ditabung sejak lama. Di hari itu ia berkumpul lagi, perasaan yang selama ini dinanti. Ia merasa menemukan jiwanya kembali, setelah lama rasanya menjadi manusia-manusia yang terasing di tempat kerja. Mekanis. Tragis. Bersua lagi adalah kembali menjadi manusia. Sesederhana itu.
Sebut saja dua ilustrasi di atas hanya bisa kita temui saat lebaran tiba. Ketika anak yang hilang kembali pulang, atau seorang ibu yang kembali dari tanah rantau. Hal yang tidak bisa kita saksikan di dua edisi lebaran terakhir akibat larangan mudik oleh pemerintah. Meski kita tahu, bahwa pada akhirnya sebagian masyarakat tidak bisa lagi menahan diri untuk tidak pulang. Walhasil, penjagaan di batas-batas kota itu pun diterobos. Perasaan takut pada polisi, kalah oleh rindu pada anak dan istri.
Hal ini seolah menandai titik kulminasi krisis kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Akumulasi dari kekecewaan terhadap penanganan Covid-19 yang dianggap tebang pilih. Bagaimana tidak? Ketika pelarangan mudik antar kota dalam negeri dibatasi, puluhan Tenaga Kerja Asing (TKA) dari China justru masuk dari bandara-bandara dengan jalur “khusus”. Tak salah, tapi sungguh momentumnya melukai masyarakat Indonesia. Kok kita dilarang mudik, tapi orang asing bebas masuk ke Indonesia. Ini kan ambigu dan diskriminatif. Begitu pikiran sebagian orang.
Tak heran, jika petugas seolah berhadap-hadapan dengan masyarakat di pos-pos perbatasan. Dalam beberapa video yang beredar, pengendara motor justru menerobos dengan cara yang membahayakan diri sendiri dan petugas; meliuk-liuk seperti Lionel Messi. Di video lainnya, seorang perempuan menangis di hadapan petugas, karena merasa tak punya lagi alasan untuk tidak mudik; dirinya sudah di-PHK dan tak punya uang lagi untuk hidup. Dengan berat hati, petugas pun coba mengerti.
Saya tak hendak membenar-benarkan tindakan siapa-siapa: entah masyarakat atau pemerintah. Kita tahu, larangan ini untuk mencegah penyebaran Covid-19 agar tak terjadi ledakan seperti di India. Sedang bagi masyarakat, ini momentum satu-satunya untuk bisa bertemu orangtua. Katanya, mudik tidak mudik virus tetap ada, tapi orangtua belum tentu. Tak ada yang tahu.
Keduanya memang berada dalam posisi yang dilematis. Tapi bukan itu yang hendak saya komentari. Saya justru tertarik melihat fenomena mudik ini sebagai bagian dari siklus tahunan. Bolehlah kita mengajukan pertanyaan sederhana: Mengapa orang-orang mudik?
Selain karena libur. Mudik juga adalah upaya menemukan kembali rasa kemanusiaan, Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Islam Aktual menyebutnya sebagai Terapi Modernitis.
Menurutnya, Modernitis tidak ada dalam kamus apa pun. Itu hanyalah istilah yang beliau gunakan untuk menunjuk sejumlah sindrom yang terdapat pada manusia modern. Penyakit yang boleh jadi berasal dari biaya ekonomi, sosial, maupun psikologis yang harus dibayar untuk menebus modernitas.
“Secara singkat, dalam bahasa popular, kita menjadi modern dengan kehilangan rasa kemanusiaan kita. Kita sibuk dengan kegiatan kita sehari-hari, sehingga hampir tidak sempat lagi memperhatikan keluarga kita. Kita kehilangan rasa kasih sayang, bahkan semua emosi kita yang manusiawi. Sebagai gantinya, kita mengembangkan sikap yang kasar, mementingkan diri sendiri (egois), dan agresif. Otot-otot kita setiap saat siap menerkam orang lain—yang sudah kita pandang sebagai mangsa. Kita mengembangkan struktur sosial ayam—yang besar-kuat mematuk yang kecil-lemah.” Kata Kang Jalal, sapaan akrab Jalaluddin Rakhmat.
Disadari atau tidak, kerasnya kehidupan di perkotaan perlahan mengikis rasa kemanusiaan. Menjadikan kita manusia-manusia yang diperbudak materi, bahkan kita siap mengorbankan rasa kemanusiaan yang luhur dan suci untuk meraih keuntungan materil sebanyak-banyaknya. Dipaksa bekerja selama mungkin, sekeras mungkin, dengan gaji seminimal mungkin.
Penjara beton yang keras, sebangun dengan kerasnya hati manusia, ditunjang pula oleh teknologi yang menjadikan manusia limbung dan kehilangan pegangan—bahkan gairah hidup. Manusia menjelma robot yang mekanistik. Dalam bahasa Lewis Yablonsky—sebagaimana dikutip Kang Jalal pula dalam buku yang sama—sebagai manusia Robopaths, yaitu manusia yang kehilangan spontanitas dan kreativitas. Manusia menjadi mesin yang secara ritual terikat pada kegiatan yang monoton.
Jenis kehidupan seperti ini, sungguh menjadikan manusia berada dalam tekanan yang luar biasa. Beton-beton kota sudah menjadi rumah sakit jiwa yang besar. Di titik inilah mengapa mudik menjadi amat urgen bagi masyarakat.
Lebih jauh, Kang Jalal berujar, “Dengan mudik, orang-orang yang sudah kehilangan dirinya dalam hiruk pikuk kota ingin menemukan kembali masa lalunya di kampung. Mereka, yang hanya dihitung sebagai angka dan sekrup kecil dalam mesin raksasa kota, ingin kembali diperlakukan sebagai manusia. Mereka ingin meninggalkan—walaupun sejenak—wajah-wajah kota yang garang untuk menikmati kembali wajah kampung yang ramah. Mereka ingin mengungkapkan kembali perasaan kekeluargaan yang menyejukkan. Maka, Anda melihat anak yang hilang bersimpuh di hadapan orangtuanya, memohon maaf seraya menangis terisak-isak. Suami istri menjalin kembali cinta kasih mereka, setelah setahun penuh menjadi orang-orang asing yang tidak saling mengenal. Para tetangga dan sahabat saling menegur dan saling memberi setelah selama setahun saling bersaing dan saling memeras.”
Walhasil, mudik tak bisa dipandang sebagai ritual tahunan nirmakna semata. Seyogianya, mudik menjadi ajang me-recharge diri dengan sebisa mungkin mengurangi habitus urban yang mekanis dan ritualistik. Rugilah mudik Anda jika habis digunakan bermain gawai, tinimbang berinteraksi dengan keluarga dan tetangga. Atau lebih senang mengunjungi laman-laman media sosial, dari pada berziarah ke makam sanak saudara. Saya percaya, bahwa akan selalu ada ruang kosong dalam hati manusia, yang tidak bisa diisi harta dan tahta, kecuali cinta.
Lahir di Bantaeng, guru PJOK, pustakawan Rumah Baca Panrita Nurung, dan penulis buku kumpulan esai, “Jika Kucing Bisa Bicara” (2021).