Mengampunkan Diri Dengan Idul Fitri

13 mei 2021, umat Islam merayakan idul fitri. Bertepatan dengan itu, umat Kristen memperingati kenaikan Isa Al-masih. Betapa indahnya, dua hari besar Agama, merealita sama-sama. Mungkinkah ini sinyal alam? Petanda harmoni semesta? Bahwa yang berbeda, bisa dan mesti berdampingan dalam damai.

Mungkin memang begitu. Walaupun tampaknya, hanya mungkin semata, dan terkesan cocologi. Sebab, hari, tanggal, bulan dan tahun, adalah perkara iktibari (konsensus). Yang iktibari, tidak bisa dijadikan petanda dari realitas hakiki (non konsensus). Terlepas dari itu, semua kita, Muslim-Kristen, bergembira di 13 mei. Kecuali, mereka yang berteologi benci.

Tentang Ramadan, Indonesia memiliki tampilan yang berbeda. Betapa tidak, selain warna-warni makanan, juga terdapat tradisi mudik. Yaitu, pulang ke kampung menjelang idul fitri. Sebenarnya, idul fitri semakna dengan mudik. Namun, bukan mudik yang dipraktikkan dalam tradisi nusantara. Melainkan, mudik dalam makna yang lebih tinggi.

Iya, setidaknya, mudik memiliki dua makna: Pertama, mudik imanen. Yaitu, gerak pergi dari kota, menuju kampung. Di sini, kota-kampung bermakna tempat. Kedua, mudik transenden. Yaitu, gerak menjadi, dari kota menjadi kampung. Kota-kampung yang dimaksud adalah sifat. Biasa kita istilahkan dengan “ngota” dan “ngampung atau ndeso”.

Kita bahas yang pertama. Mudik imanen adalah mudik yang dipraktikkan dalam tradisi tahunan Nusantara kita. Menjelang idul fitri, yang di kota, berbondong-bondong pulang kampung. Sudah dua kali lebaran, korona datang bertamu dan tak kunjung pulang. Sudah dua kali lebaran pula, pemerintah melarang mudik jenis ini. Dan, berontaklah sebagian pemudik. Mereka menerobos barikade aparat. Tak peduli pemerintah menentang, tak peduli korona menumpang. Intinya, wajib mudik [entah siapa yang mewajibkannya].

Sebagian, mencoba merasionalisasi aksi pembangkangan pemudik. Menurutnya, itu adalah pemberontakan. Dalam anggapan mereka, kota adalah kekeruhan, kekacauan, keterpenjaraan dan semacamnya. Sedang kampung adalah kejernihan, kenyamanan, kebebasan dan sejenisnya. Disimpulkanlah, mudik adalah gerak menuju kebebasan, adalah gerak perfeksi. Dan itu, tak bisa dibendung. Membendungnya, melahirkan pemberontakan.

Tentu, itu adalah rasionalisasi yang tak rasional. Menjadikannya sebagai tendensi mudik, akan berbuah kecewa. Betapa tidak, sebagai tempat, kampung dan kota tak lagi berbeda nilai. Kampung telah mengota. Ragam tindak eksploitasi yang semula mempolusi kota, kini, juga mempolusi kampung. Tikus-tikus kantor misalnya, telah mengendus-ngendus brankas desa. Sehingga, mencari ketenangan, kejernihan, kebebasan dst di kampung, tak lagi semudah berselancar di dunia maya. Yah tentu, saya tidak sedang over generalisasi.

Maka, mari kita tinggalkan rasionalisasi-rasionalisasi yang tak rasional, dan berpotensi berakhir bencana. Akan lebih baik, jika larangan mudik disikapi secara konstruktif. Misalnya, menjadikan larangan mudik sebagai momentum menempa jiwa. Kita belajar menjalin relasi antar jiwa. Hingga, jiwa tetap terkoneksi dengan jejiwa mereka yang terkasih, walau raga terpisah ruang dan waktu. Apalah artinya kedekatan raga, bila jiwa saling menjauh.

Bukankah dunia adalah alam ghoib, alam keterpisahan, alam ketercerai-beraian? Bahkan dua jari kita pun, saling terpisah. Maka bersiaplah untuk berpisah. Sebelum akhirnya, kondisi atau maut, benar-benar memisahkan. Kala perpisahan tiba, dan jiwa belum terkoneksi, maka hilanglah seluruh relasi. Yang tersisa, hanyalah cerita yang akhirnya usang, meski belum selesai.

Atau bisa juga, pelarangan mudik disikapi sebagai peluang untuk mudik transenden. Seperti yang akan kita bahas berikut

Dalam mudik transenden, kota-kampung dimaknai secara simbolis. Kota adalah simbol keangkuhan, kebisingan, kompetisi, perlawanan dan perebutan, serta hal-hal semacamnya. Sebaliknya, kampung adalah simbol kesahajaan, keteduhan, kerja-sama, perkawanan, pengorbanan dan hal-hal sejenis lainnya. Dengan ini, kota-kampung adalah nilai, adalah sifat.

Artinya apa? Artinya, seseorang bisa tetap mudik [transenden], tanpa harus mudik [imanen]. Apalah artinya beranjak ke kampung, jika diri masih ngota. Terlebih lagi, jika sampai mengotakan penduduk kampung, dengan paham kotaisme. Biarlah raga berpijak di kota, namun jiwa dan laku telah ngampung. Di kota, kita mengampungkan diri dengan mewujudkan nilai-nilai kampung dalam diri.

Mudik transenden atau mengampungkan diri adalah proses menjadi, bukan gerak pergi. Dalam bahasa Persia, raftani nist, syudani ast (bukan pergi, tapi menjadi). Yakni, diri bisa menjadi kampung, tanpa harus pergi ke kampung. Idealnya, idul fitri adalah ajang mudik transenden. Beridul fitri, berarti berupaya mengampungkan diri, di manapun kaki berpijak.

Idul fitri sebagai proses mengammpungkan diri, sejalan dengan pemaknaan Pof. Ebrahim Dinani. Dalam hemat guru besar Filsafat berdarah Persia itu, idul fitri adalah kembali ke diri insani. Puasa diartikannya sebagai latihan menghilangkan dominasi sifat-sifat hewani dalam diri. Hingga akhirnya, diri kembali suci, kembali murni berhias sifat-sifat insani. Inilah hakikat idul fitri. Ia mengembalikan manusia pada fitrah kemanusiaannya, sebagai manusia yang ngampung.

Selamat idul fitri. Mohon maaf lahir batin.

Tentang Ramadan, Indonesia memiliki tampilan yang berbeda. Betapa tidak, selain warna-warni makanan, juga terdapat tradisi mudik. Yaitu, pulang ke kampung menjelang idul fitri. Sebenarnya, idul fitri semakna dengan mudik. Namun, bukan mudik yang dipraktikkan dalam tradisi nusantara. Melainkan, mudik dalam makna yang lebih tinggi.

Iya, setidaknya, mudik memiliki dua makna: Pertama, mudik imanen. Yaitu, gerak pergi dari kota, menuju kampung. Di sini, kota-kampung bermakna tempat. Kedua, mudik transenden. Yaitu, gerak menjadi, dari kota menjadi kampung. Kota-kampung yang dimaksud adalah sifat. Biasa kita istilahkan dengan “ngota” dan “ngampung atau ndeso”.

Kita bahas yang pertama. Mudik imanen adalah mudik yang dipraktikkan dalam tradisi tahunan Nusantara kita. Menjelang idul fitri, yang di kota, berbondong-bondong pulang kampung. Sudah dua kali lebaran, korona datang bertamu dan tak kunjung pulang. Sudah dua kali lebaran pula, pemerintah melarang mudik jenis ini. Dan, berontaklah sebagian pemudik. Mereka menerobos barikade aparat. Tak peduli pemerintah menentang, tak peduli korona menumpang. Intinya, wajib mudik [entah siapa yang mewajibkannya].

Sebagian, mencoba merasionalisasi aksi pembangkangan pemudik. Menurutnya, itu adalah pemberontakan. Dalam anggapan mereka, kota adalah kekeruhan, kekacauan, keterpenjaraan dan semacamnya. Sedang kampung adalah kejernihan, kenyamanan, kebebasan dan sejenisnya. Disimpulkanlah, mudik adalah gerak menuju kebebasan, adalah gerak perfeksi. Dan itu, tak bisa dibendung. Membendungnya, melahirkan pemberontakan.

Tentu, itu adalah rasionalisasi yang tak rasional. Menjadikannya sebagai tendensi mudik, akan berbuah kecewa. Betapa tidak, sebagai tempat, kampung dan kota tak lagi berbeda nilai. Kampung telah mengota. Ragam tindak eksploitasi yang semula mempolusi kota, kini, juga mempolusi kampung. Tikus-tikus kantor misalnya, telah mengendus-ngendus brankas desa. Sehingga, mencari ketenangan, kejernihan, kebebasan dst di kampung, tak lagi semudah berselancar di dunia maya. Yah tentu, saya tidak sedang over generalisasi.

Maka, mari kita tinggalkan rasionalisasi-rasionalisasi yang tak rasional, dan berpotensi berakhir bencana. Akan lebih baik, jika larangan mudik disikapi secara konstruktif. Misalnya, menjadikan larangan mudik sebagai momentum menempa jiwa. Kita belajar menjalin relasi antar jiwa. Hingga, jiwa tetap terkoneksi dengan jejiwa mereka yang terkasih, walau raga terpisah ruang dan waktu. Apalah artinya kedekatan raga, bila jiwa saling menjauh.

Bukankah dunia adalah alam ghoib, alam keterpisahan, alam ketercerai-beraian? Bahkan dua jari kita pun, saling terpisah. Maka bersiaplah untuk berpisah. Sebelum akhirnya, kondisi atau maut, benar-benar memisahkan. Kala perpisahan tiba, dan jiwa belum terkoneksi, maka hilanglah seluruh relasi. Yang tersisa, hanyalah cerita yang akhirnya usang, meski belum selesai.

Atau bisa juga, pelarangan mudik disikapi sebagai peluang untuk mudik transenden. Seperti yang akan kita bahas berikut

Dalam mudik transenden, kota-kampung dimaknai secara simbolis. Kota adalah simbol keangkuhan, kebisingan, kompetisi, perlawanan dan perebutan, serta hal-hal semacamnya. Sebaliknya, kampung adalah simbol kesahajaan, keteduhan, kerja-sama, perkawanan, pengorbanan dan hal-hal sejenis lainnya. Dengan ini, kota-kampung adalah nilai, adalah sifat.

Artinya apa? Artinya, seseorang bisa tetap mudik [transenden], tanpa harus mudik [imanen]. Apalah artinya beranjak ke kampung, jika diri masih ngota. Terlebih lagi, jika sampai mengotakan penduduk kampung, dengan paham kotaisme. Biarlah raga berpijak di kota, namun jiwa dan laku telah ngampung. Di kota, kita mengampungkan diri dengan mewujudkan nilai-nilai kampung dalam diri.

Mudik transenden atau mengampungkan diri adalah proses menjadi, bukan gerak pergi. Dalam bahasa Persia, raftani nist, syudani ast (bukan pergi, tapi menjadi). Yakni, diri bisa menjadi kampung, tanpa harus pergi ke kampung. Idealnya, idul fitri adalah ajang mudik transenden. Beridul fitri, berarti berupaya mengampungkan diri, di manapun kaki berpijak.

Idul fitri sebagai proses mengammpungkan diri, sejalan dengan pemaknaan Pof. Ebrahim Dinani. Dalam hemat guru besar Filsafat berdarah Persia itu, idul fitri adalah kembali ke diri insani. Puasa diartikannya sebagai latihan menghilangkan dominasi sifat-sifat hewani dalam diri. Hingga akhirnya, diri kembali suci, kembali murni berhias sifat-sifat insani. Inilah hakikat idul fitri. Ia mengembalikan manusia pada fitrah kemanusiaannya, sebagai manusia yang ngampung.

Selamat idul fitri. Mohon maaf lahir batin.


Sumber gambar: www.suara.com/news/2021/05/09/152642/ucapan-idul-fitri-2021-untuk-guru-mohon-maaf-lahir-dan-batin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *