Agama, sebuah kata yang dalam sejarah berabad-abad tahun lalu, hingga saat ini menjadi pembahasan tanpa batas kedaluwarsa. Term yang selalu dimaknai sebagai sesuatu yang suci, benar, dan damai bahkan dikatakan sebagai solusi dari krisis kemanusiaan. Namun, realita yang terjadi dewasa ini memperlihatkan agama bukan lagi sebagai solusi, tapi sumber dari masalah. Hal ini tercermin dari kenyataan umat yang mengaku beragama, cenderung membawa keimanan ke dalam fenomena-fenomena kekerasan yang terjadi di negeri ini.
Kalimat seperti agama sebagai sumber kebenaran, sumber nilai dan sumber keadilan. Menjadi terdengar lucu karena kemudian orang-orang yang mengaku beragama lebih senang saling mengolok, saling menuduh, bahkan saling membunuh hanya karena perbedaan. Harusnya sebagai negara multikultural, masyarakat dengan seribu perbedaan sudah dikunci dengan makna Bhineka Tunggal Ika.
Sekiranya kalimat-kalimat tersebut hanya menjadi doktrin keagamaan, sebagaimana penggalan kalimat terkenal “agama adalah candu” dianggap sebagai saripati konsepsi Karl Marx. Tentang gejala keagamaan oleh para pendukung dan penentangnya, memberikan kita gambaran bagaimana agama hanya dijadikan obat penenang disetiap problema kemanusiaan dahulu maupun saat ini.
Di beberapa kesempatan, agama terlihat begitu seksi, memikat, dan menjerat ia muncul di permukaan dengan begitu elegan. Menampakkan kedamaian para pemeluknya, serta menjunjung tinggi paradigma pluralisme. Immanuel Kant sebagai filsuf utama yang dijadikan patokan paradigma plural, berpendapat bahwa manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang mencintai pertemanan. Namun sekaligus berjiwa kompetitif, dan menyukai Harmoni.
Sejalan dengan konsep manusia Kant, J. Rousseau yang juga merupakan filsuf asal Prancis dalam teorinya mengenai masyarakat kontrak sosial. Kontrak yang mendorong kesadaran manusia dan membentuk sebuah mekanisme untuk melakukan kontrol, dengan tujuan menghindari ketidaktoleranan dan kelabilan. Maka perlu ada kontrak sosial dalam masyarakat terutama masyarakat multikultural.
Mengapa tindakan kekerasan terhadap kelompok yang memiliki ideologi berbeda, kerap menjadikan doktrin dan dalil agama untuk membenarkan tindakannya? Mengapa kelompok yang menolak tindakan kekerasan juga menjadikan dalil dan doktrin agama yang sama untuk menyalahkan tindakan pihak lain? Mengapa masih saja terjadi konflik horizontal antar komunitas yang mengatas namakan agama? Mengapa pekik-pekik yang awalnya dimaksudkan untuk mengagungkan Tuhan, malah menjadi alat untuk saling menghakimi dan membantai?
Sebab, karena doktrin-doktrin keagamaan tidak lagi bermakna kebesaran Tuhan. Melainkan disalahartikan dengan merobohkan pagar kemaksiatan, dan membasmi tempat-tempat suci kelompok lain. Bahkan teks-teks agama dengan mudahnya dijadikan justifikasi tindakan kekerasan. Menjadikan agama yang nyaman dan damai menjadi mendadak seram dan kelam
Di beberapa bagian negara, bahkan dunia mengatakan agama sebagai pembawa malapetaka, sedangkan di bagian lainnya masih tetap kokoh mengatakan bahwa agama adalah solusi. Seorang penulis Amerika, Charles Kimbal dalam bukunya Kala Agama jadi Bencana, yang diterjemahkan dari judul aslinya When Religion Become Evil. Menjelaskan ada lima tanda yang membuktikan bahwa agama mampu menjadi parasit dan membawa bencana.
Pertama, ketika suatu agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai kebenaran tunggal. Hal ini ditandai dengan adanya sikap eksklusif dalam beragama, menganggap bahwa kebenaran mutlak hanya dimiliki oleh agamanya, dan agama lain atau orang-orang yang tidak sepaham dengannya harus dibasmi. Bersikap eksklusif memang diperlukan untuk menjaga komitmen dan keimanan, tapi tidak digunakan untuk memandang agama lain, dan malah menimbulkan sikap ingin menghina, mengolok-olok, membunuh dan konflik-konflik lainnya.
Kedua, adanya ketaatan yang buta kepada pemimpin keagamaan. Hal ini ditandai dengan sikap percaya buta terhadap doktrin keagamaan, yang dilontarkan pemimpin-pemimpin agama. Sehingga menimbulkan kejahatan atas nama agama, berdasar dari hasil penafsiran yang membolehkan hal-hal seperti bom bunuh diri, membunuh orang yang tidak seiman, dan lain sebagainya. Ini juga dapat terjadi karena kita kurang untuk menelaah lebih banyak sumber, dan membandingkannya. Sehinga perkataan-perkataan figur pemimpin agama kadang membius kita.
Ketiga, agama mulai gandrung merindukan zaman ideal. Kemudian memaksakan keadaan dan mulai menghalalkan berbagai cara untuk sampai kepada tahap tersebut. Seperti problem yang memanas bealakangan ini, beberapa kolompok bersikeras untuk menjadikan negeri demokrasi ini sebagai khilafah. Hal ini malah akan mendorong terjadinya konflik-konflik lain.
Keempat, agama membiarkan dan membenarkan tujuan yang menghalalkan segala cara. Tujuan yang berusaha untuk dicapai dengan membenarkan segala cara, merupakan tindakan yang sangat berbahaya. karena hal itu bahkan dapat menggunakan tindakan kriminal untuk mewujudkan tujuannya, dan berakibat mematikan rasa kemanusian.
Kelima, adanya seruan perang suci demi mencapai suatu tujuan. Hal ini dapat menjadi sumber api yang akan menyebabkan peristiwa besar. Seperti halnya perang salib yang terjadi antara umat Kristen dan Islam yang menyebabkan banyak korban jiwa. Peristiwa ini juga merupakan peristiwa besar yang dapat membuat suatu bangsa menjadi bercerai berai dan berujung intoleransi.
Jika menarik hal tersebut kedalam konsep negara yang multikultural ini. Melihat tujuan negara didirikan salah satunya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan bukan hanya dalam artian mumpuni dari segi intelektual, tapi negara mencita-citakan masyarakatnya memiliki kesadaran dan kepekaan. Kesadaran akan dirinya, keberadaannya dan kesadaran akan tujuan hidupnya.
Bangsa yang dicita-citakan adalah bangsa yang tak hanya mampu mengolah pikiran tapi juga mampu mengolah tindakan. Bukan bangsa yang hanya mampu membaca segudang buku, tapi juga bangsa yang mampu membaca situasi dan kondisi. Bukan bangsa yang micin dan bucin, tapi bangsa yang kreatif dan inivatif. Bukan bangsa yang tau mengkritik tapi tidak solutif, yang menjadikan agama sebagai patokan sumber nilai kehidupan bukan sebagai obat pembius orang-orang tak berdaya.
Tidak mudah menemukan jawaban dari pelbagai polemik dan problem keagamaan, yang sekaligus juga sebagai problem kemanusian. Apatah lagi dengan berpegang pada satu agama semata, sekalipun berbagai penelitian ilmiah terus dilakukan. Maka hal yang paling dekat dengan dimensi masyarkatlah yang harus ditampakkan. Yaitu sistem nilai yang di dasarkan pada nilai-nilai keagamaan, bukankah semua agama mengajarkan kebaikan? Dan tentunya tak ada kebaikan yang saling bertabrakan.
Padahal perbedaan diciptakan untuk menyatukan, ia akan indah ketika kita saling menerima dan saling menghargai. Tak perlu memaksakan menggabungkan hal yang berbeda, cukup berdiri di tempat masing-masing, menerima perbedaan dan saling merangkul dalam keragaman.
Cinta muncul bukan karena kita sama, tapi karena kita saling menerima dan melengkapi.
Mahasiswa Jurusan Studi agama-agama UIN Makassar. Aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Menyukai film, novel dan senja. Asal Bantaeng.