Time is money. Kalimat yang terdengar begitu familier. Kalimat yang bergitu singkat tapi juga begitu jelas. Kalimat ini sering mengudara dalam benakku belakangan. Kudapati mentalku ciut setelah beberapa waktu lalu merenungi banyak hal. Menerawang waktu yang kubuang percuma dengan duduk santai, nge-scrool TikTok tiap hari, nge-drakor siang malam dan menunda banyak hal yang harusnya sudah kutuntaskan.
Pepatah ini dipopulerkan oleh seorang pedagang Amerika bernama Benjamin Franklin dalam essainya yang berjudul Advice to a Young Tradesman dan kemudian dimuat dalam buku George Fisher tahun 1748, The American Instructor: or Young Man’s Best Companion. Franklin menjadikan kalimat ini sebagai pengukur kemalasan seseorang, dengan mengumpamakan perhitungan upah melalui waktu yang kita habiskan. Semakin banyak waktu yang dihabiskan untuk bersantai dan melakukan hal-hal yang sia-sia, maka semakin sedikit pula uang yang akan kita hasilkan.
Time is money atau waktu adalah uang. Slogan yang cukup populer memang, bahkan kerap kali diteriakkan lantang tapi sangat sulit diimplementasikan dalam kehidupan bukan? Meski sedikit berbau kapitalis, slogan ini tentu tak akan membawa kerugian jika dijadikan sebagai life style atau gaya hidup.
Zaman sekarang siapa lagi yang tak kenal uang? Siapa yang tak membutuhkan uang? Siapa yang menganggap uang sebagai hal yang tak penting? Bahkan tak jarang orang-orang menghabiskan waktunya untuk menghasilkan uang. Oleh sebab itu waktu diumpamakan sebagai uang. Meski demikian, uang tak selamanya menjadi sumber kebahagiaan.
Orang-orang yang selalu menghargai waktu adalah orang-orang yang disiplin dan punya produktivitas yang tinggi. Setiap orang memiliki hitungan waktu yang sama dengan tingkat produktivitas yang berbeda, tentu karena setiap orang punya manajemen waktu yang berbeda. Disiplin erat kaitannya dengan waktu, bahkan dalam agama banyak ritus-ritus yang berkaitan dengan waktu. Tentu hal ini merupakan contoh kecil tentang bagaimana pentingnya mendisiplinkan diri, baik dari segi ibadah maupun di segala aspek kehidupan.
Hal ini mengingatkan aku dengan seorang teman di pondok pesantren 4 tahun lalu. Berbeda dengan santri yang lainnya, ia tidak terkenal begitu pandai dalam urusan akademik, dan tak menunjukkan ketertarikannya dalam berbagai kegiatan ekstrakulikuler lainnya. Satu-satunya hal yang membuatnya menonjol adalah karena ia selalu datang tepat waktu, dan tidak pernah melewatkan berbagai kegiatan. Tak jarang, ia akan bangun pada pukul 03.00 dini hari untuk mempersiapakan diri di esok hari, menyiapkan pakaian, buku, menata lemari, mencuci pakaian, hingga mengulang pelajaran dan lain sebagainya.
Karena terbiasa mendisiplinkan diri dan pandai mengatur waktu, dia selalu menyelesaikan sesuatu lebih awal. Alhasil, ia bisa punya banyak waktu untuk menikmati waktu-waktu senggang, lebih teliti dan terlihat enjoy dalam menjalangkan aktivitas kesehariannya. Berbeda dengan beberapa santri yang kewalahan dan merasa terbebani, karena pekerjaan dan tugas menumpuk yang menuntut diselesaikan secara bersamaan. Bukan karena punya waktu yang berbeda, tetapi karena kurang disiplin dan terikat dengan sistem jam karet.
Jam karet sudah begitu terkenal sebagai “jam Indonesia” entah mengapa julukan ini disematkan kepada Indonesia. Aku sempat berfikir, apakah karena Indonesia termasuk salah satu negara penghasil karet terbesar? Yang hasilnya diangkut puluhan mobil truk besar dan senantiasa menjadi perusak utama indra penciuman.
Mereka (truk pengangkut karet) dengan gagah perkasa melewati jalan-jalan raya, meninggalkan kenangan yang tak pernah dilupakan siapapun. Sedetik kehadirannya menyisakan aroma yang luar biasa estetik bagi indra penciuman. Hingga beberapa orang sampai mengumpat, mual, bahkan tak bisa makan karenanya. Memikirkannya saja membuat saya tiba-tiba terkena phantosmia –kondisi seseorang dapat mencium bau kurang sedap yang sebenarnya tidak ada– Ahhh, meresahkan memang.
Tapi, siapapun tak akan heran jika julukan jam karet disematkan kepada Indonesia dengan menjadikan petinggi-petinggi sebagai patokan. Bukan hanya sekali atau dua kali, hampir di setiap acara, beberapa petinggi atau tokoh-tokoh masyarakat kerap kali menyepelekan kalimat on time.
Contohnya saja ketika diundang di sebuah acara, beberapa di antaranya akan datang terlambat, hingga membuat seluruh rangkaian acara juga harus diundur. Entah dengan alasan karena banyak kesibukan atau hanya sebatas menyibukkan diri. Mereka datang terlambat tapi juga masih disambut dengan begitu penuh penghormatan, diberi pangggung, disanjung bak seorang dewa, tapi tak acuh terhadap waktu. Belum lagi harus pamit lebih cepat karena berbagai alasan yang mau tidak mau harus diterima. Sudah datang terlambat, tapi malah pulang lebih cepat. Cilaka!
Lalu bagaimana dengan kita? Kita masih terperangkap dengan jam karet kita masing-masing. Melewati waktu yang ditentukan sendiri, dan melanggar janji yang disepakati sendiri. Terlalu banyak menolerir diri, memberi ruang untuk berleha-leha dengan waktu, apa lagi dengan mengatasnamakan lelah atau kantuk sebagai alasan.
Hingga kebiasaan ini menjadi karakter yang melekat dalam diri tanpa kita sadari. Buya Hamka pernah berkata “Salah satu pengkerdilan terkejam adalah hidup dalam membiarkan pikiran yang cemerlang menjadi budak bagi tubuh yang malas, yang mendahulukan istirahat sebelum lelah”.
Tak jarang, kita bertekat dengan menyusun banyak rencana di malam hari, untuk dilakukan esok hari. Namun pada esok hari, kita menaruh jam karet di setiap rencana. Menunda segala hal yang akan kita kerjakan, dan berakhir rebahan seharian. Alhasil, Kalimat disiplin yang ditanamkan dalam diri hanya bersifat semu dan artifisial semata.
Seorang psikolog praktik swasta di New York, sekaligus penulis buku How to Beat Procrastination in The Digital Age. Dr. Linda Sapadin mengatakan bahwa, seorang yang suka terlambat adalah orang yang perfeksionis. Beberapa ahli juga menyatakan bahwa orang dengan kebiasaan terlambat cenderung lebih kreatif, inovatif dan multitasking. Meski tentunya menjengkelkan dan dapat merugikan orang lain.
Dr. Linda Sapidin juga menambahkan bahwa beberapa keterlambatan muncul karena sebuah masalah berfikir yang obsesif. Keterlambatan muncul karena kehilangan fokus waktu terhadap sesuatu. Selain itu di beberapa hal dalam kehidupan sosial malah akan dianggap sebagai egois, kurang peka dan kurang empati terhadap orang lain. Kepribadian ini tentunya dianggap cenderung meremehkan waktu dan dianggap sebagai orang dengan gangguan persepsi waktu.
Karena terlalu nyaman dengan zona jam karet, sedikit demi sedikit kaliamat on time perlahan bergeser dari jalur kita. Bahkan sering kali on time disalahartikan sebagai berangkat di jam yang dijadwalakan. Kalau jam karet digunakan menunda waktu istirahat untuk menuntaskan pekerjaan, masih mending sih. Tapi jangan sampai tak istirahat juga dong! Coba jam karetnya dipakai pas lagi janjian sama doi, yahhh akibat ditanggung sendiri.
Mengingat betapa pentingnya disiplin, maka mari untuk berjaji menghilangkan “jam karet” dalam keseharian, secara perlahan. Jika bukan untuk diri sendiri, setidaknya mari mengubahnya sebagai bentuk menghargai orang lain, yang bisa jadi punya persepsi waktu yang berbeda dengan kita. Mari saling mengingatkan, tak terlepas diri saya pribadi yang tengah mencandu jam karet. Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?
Seorang bijak pernah berkata “Musuh terberat bagi seseorang adalah diri sendiri, dan tantangan paling berat bagi diri sendiri adalah keterlambatan”. Yuk “on time”!
Sumber gambar: https://cakrawalacreative.com/pembuatan-video-profil/manajemen-waktu/
Mahasiswa Jurusan Studi agama-agama UIN Makassar. Aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Menyukai film, novel dan senja. Asal Bantaeng.