”Korona masih bisa kita kalahkan bersama”, begitu seseorang mengatakannya, melalui iklan masyarakat persis saat kalimat ini dibuat. Telinga saya menangkapnya begitu saja dari televisi, dan saya kira itu kalimat yang optimis untuk membuka tulisan ini. Ya, sebentar lagi kita memperingati hari kemerdekaan Indonesia ke-76, dan salah satu kontekstualisasi arti kemerdekaan mutkahir saat ini adalah kemerdekaan dari pandemi covid-19.
Selama ini, ada metafora menyesatkan yang membuat salah pengertian di hampir semua level masyarakat, menyangkut kedudukan para tenaga medis sebagai garda terdepan dalam menghadapi serangan korona. Dari awal hingga sampai munculnya strain covid terbaru, tenaga medis diposisikan sebagai satu-satunya elemen terdepan, mengenyampingkan dan mengabaikan profesi lain yang paling serius menangani korban korona. Padahal jika pandemi korona dinarasikan sebagai perang, tenaga medis adalah kekuatan terakhir di belakang barak-barak pertahanan. Mereka, secara kebutuhan, tidak diperkenankan berperang langsung di medan pertempuran selain dari para prajurit yang memang dilatih untuk itu.
Lalu, siapakah para prajurit sebenarnya, yang paling berkewajiban dan mesti awas diri saat menghadapi agresi korona? Tiada lain tiada bukan adalah masyarakat sendiri, yang sehari-hari hidup dan beraktivitas meski dalam keadaan sosial baru. Masyarakatlah yang sebenarnya sedang berada di garda paling depan, yang karena itu setiap saat mesti awas dan disiplin mengantisipasi agar tidak menembus benteng pertahanan imunitas.
Berdasarkan data, grafik korban korona kian meninggi, apalagi sejak ditemukannya varian delta yang lebih berbahaya dan mudah penyebarannya. Beberapa lama, rumah sakit, gedung isoman, atau bahkan tenda-tenda tambahan penuh sesak, membuat semua pihak mesti gercep jika tidak ingin dibuat ambyar. Keadaan tidak akan makin membaik jika logika siapa sebenarnya garda terdepan mulai hari ini diubah, bahwa warga mesti mengambil posisi sebagai prajurit front terdepan, lebih disiplin, mawas masker, dan lebih berhati-hati sebagai orang yang sedang berhadapan-hadapan langsung dengan virus ini.
Kepemimpinan Elite
Di masa-masa genting, kepemimpinan elite sangat dibutuhkan untuk mengangkat moral masyarakat. Kepemimpinan elite, bukan berarti menafikan kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk dapat mengatur dirinya sendiri, melainkan sebagai pemberi semangat setelah menjalankan siasat demi siasat untuk mencapai tujuan bebas korona. PPKM, PSBB, social distancing, atau bahkan lockdown, tidak akan efektif jika tidak ada kepemimpinan elite yang menyertainya.
Kepemimpinan elite dalam hal ini tidak sekadar gimmick di depan kamera, atau hanya deretan indah nama-nama program yang tidak tajam di lapangan, melainkan suatu kepemimpinan laku ril disiplin, visioner, dan asketik yang menunjukkan keberpihakkan kepada masyarakat saat ini yang sedang dihimpit kesusahan efek langung korona dan pembatasan aktivitas.
Jadi, makna garda terdepan sebenarnya, di atas masyarakat adalah para pemimpinnya, bukan tim medis, yang secara moral dan politik menunjukkan keinginan kuat untuk menjalankan agenda-agenda pencegahan penularan korona. Sesat pikir siapa garda terdepan dan menganggapnya hanya para tenaga kesehatan, secara politik menyamarkan peran-peran kebijakan strategis dan langsung dari pemimpin elite yang sebenarnya bertanggung jawab besar meminimalisir korban korona.
Bukan seperti misal saat masyarakat diimbau tinggal di rumah, pemimpinnya justru membuat hajatan keluarga besar-besaran. Bukan saat masyarakat kekurangan pendapatan, pejabatnya menggelontorkan uang demi baliho pencitraan politik.
Lebih jauh, komitmen politik pemimpin elite bisa ditunjukkan seperti misal, pemotongan gaji untuk sumbangan bagi lapisan masyarakat akar rumput. Nah, kalau ini siapa berani?
Kekuatan lama
Dalam konteks kepribadian bangsa, kepemimpinan elite bertujuan membangkitkan kembali kekuatan lama berupa komunalisme, yang selama ini telah ada dalam jiwa masing-masing masyarakat Indonesia. Bahkan, dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, Bung Karno, mengambil inti sari komunalisme menjadi semangat gotong royong, yang disebutnya merupakan juga substansi dari Pancasila.
Selama ini, semangat gotong royong mulai tumbuh berupa munculnya gerakan sosial urun dana, dapur warga, pembagian sembako gratis, dan bentuk-bentuk bantuan lainnya, yang diinisiasi warga sendiri atau komunitas. Meski demikian, gerakan ini hanya bisa menjangkau jauh lebih kecil terdampak korona karena tidak mendapatkan sokongan moral dan komitmen politik dari pemimpin elite di atas.
Seandainya, semangat gotong royong ini ditafsirkan sebagai keinginan politik yang kuat dalam bentuk kebijakan, apalagi dalam masa krisis seperti sekarang ini, dan diikuti sampai tingkat paling bawah, mungkin saja dapat memaksimalkan atau menutupi penderitaan masyarakat yang kolaps secara ekonomi belakangan ini.
Kepemimpinan elite selain itu juga mesti menjadi keberpihakan kepada komunitas profesional, tidak saja kepada tenaga kesehatan yang mati-matian merawat korban covid-19, tapi juga profesi ilmuwan baik sosial maupun sains, untuk dapat mengambil pandangan-pandangan ahli dari bagian upaya preventif mencegah logika penyebaran korona. Dalam hal ini, kepemimpinan elite tidak bekerja setelah mendapatkan masalah, melainkan mencegah sebelum masalah itu datang dengan mendasarkan kebijakannya kepada pendapat para ahli.
”Korona masih bisa kita kalahkan bersama”, seperti dalam iklan layanan masyarakat di atas, karena itu bukan kalimat biasa, melainkan suatu teks hidup yang sebenarnya berkekuatan kolektif tinggal bagaimana ia dibimbing dan diatur di bawah siasat kepemimpinan elite yang komit terhadap pemberantasan korona. Hanya dengan kebersamaan itulah kelak jalan merdeka dari korona makin lapang.
—
Sumber gambar: https://insight.kontan.co.id/news/inilah-10-negara-dengan-kematian-pasien-corona-terbesar-sepekan-indonesia-teratas
Blogger paruh waktu. Ayah dari Banu El Baqir dan Laeeqa Syanum. Penulis buku Jejak Dunia yang Retak (2012), Kawan Rebahan: Eksistensialisme, Tubuh, dan Covid-19 (2021).