Liburan adalah tanda baca, kata Aan Mansyur. Jika begitu, Minggu adalah tanda baca pada kalimat-kalimat panjang. Pada hari-hari yang melelahkan. Di kantor-kantor yang sibuk dan menyebalkan.
Minggu adalah meletakkan jeda, tempat mampir sejenak. Menghela nafas. Lalu melanjutkan perjalanan. Menuju hari yang makin meletihkan saban waktu. Ya, laiknya kalimat dalam pagina buku yang butuh tanda baca, hidup pun butuh jeda. Entah koma, entah titik. Apa saja. Sebab dalam jeda, ada lega.
Sayangnya, bagi sebagian pekerja—khususnya pegawai dan karyawan—Minggu tak pernah jadi tanda baca yang baik. Ia tak bisa jadi hari istirahat dalam damai yang diidam-idamkan. Barangkali Ajahn Brahm, biksu kelahiran London itu benar, dalam budaya kita, istirahat dalam damai hanya bisa dinikmati di dalam kubur. Itu pun kalau lolos dari interogasi Munkar Nakir.
Mengapa? Karena setelah Minggu, terbitlah Senin. Sialnya, orang-orang tidak bisa dengan leluasa menikmati hari Minggu, karena teringat esoknya sudah dinanti pekerjaan yang menumpuk, atasan galak, dan teman kerja yang egoistis.
I hate Monday adalah istilah yang digunakan orang-orang, melukiskan “kebencian” terhadap hari Senin. Beberapa lagu pun lahir seolah mengafirmasinya, sebut saja “Rainy Days and Mondays” dari Carpenters, lagu “I Don’t Like Mondays” oleh Boomtown Rats, dan “Manic Monday” dari The Bangles.
Menurut ahli neuroscience, juga penulis buku Life With Bread, Ed Harold, mendaku bahwa yang dibenci sebenarnya bukanlah Senin, tetapi persepsi tentang apa yang akan mereka hadapi di hari itu. Sebab di hari inilah siklus pekerjaan bermula kembali setelah menikmati akhir pekan—yang sebenarnya juga tidak nikmat-nikmat amat. Ketakutan itu bermula dari sana. Di kepala orang-orang, yang melihat bekerja sebagai beban baja di pundak.
Sayangnya, kekhawatiran terhadap Senin dan kerja, tidak bisa dihilangkan dengan menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya pelan-pelan. Sebanyak apa pun Anda mengulanginya. Tidak semudah itu, Beb. Ini bukan soal teknis begitu, ini soal paradigma berpikir tentang pekerjaan. Ihwal bagaimana melihat relasi diri dan kerja.
Jika pekerjaan, dipandang sebagai rutinitas mekanistik belaka. Maka hadirlah ia sebagai rutinitas yang membebani jiwa dan raga. Orang-orang menjelma robot yang kehilangan sensitivitas dan kreativitas di tempat kerja.
Harus diakui, sepertinya memang ada kekhilafan filosofis dalam memandang pekerjaan. Kekeliruan inilah yang menjadikan orang nirgairah di hari Senin. Bahkan hingga menimbulkan penyakit, sebagaimana data dari British Medical Journal yang melaporkan bahwa serangan jantung meningkat 20% pada hari Senin. Berbagai perusahaan pun harus menanggung biaya yang sangat besar karena gangguan kesehatan karyawan yang meningkat di hari itu. Sungguh, bagi sebagian orang, hari Senin, bikin pening.
Lalu, di mana masalahnya? Adalah Arvan Pradiansyah dalam bukunya I Love Monday, yang mencoba mencari tahu, alasan sindrom morning Monday blues ini. Dia mengajukan tiga paradigma orang dalam memandang pekerjaan, yang sedikit banyak memengaruhi persepsi terhadap hari Senin.
Pertama, melihat pekerjaan hanya sebagai job. Paradigma ini melihat pekerjaan sebagai sebuah keharusan. Tidak bekerja, tidak makan. Tidak bekerja, tidak dapat uang. Begitu kira-kira.
Inilah bedanya bekerja dengan bersenang-senang. Kita bekerja karena harus. Kita bersenang-senang karena suka melakukannya. Jika kesenangan dan pekerjaan dipandang sebagai sesuatu yang dikotomis, maka makin jauhlah kecintaan terhadap hari Senin mengada. Hanya kebencianlah yang tersisa.
Mereka yang begitu, mesti menghidu petuah Kahlil Gibran baik-baik:
Dan, jika kau tidak bisa bekerja dengan cinta, tetapi hanya dengan kebencian, lebih baik kau tinggalkan saja kerjamu dan duduk di gerbang rumah suci, dan menerima sedekah dari mereka yang bekerja dengan gembira.
Sebab, jika kau memanggang roti dengan acuh tak acuh, kau hanya akan memenuhi separuh dari rasa lapar manusia.
Dan, jika kau menggerutu ketika menggilas anggur, gerutumu akan menyuling racun ke dalam anggur.
Paradigma kedua, melihat pekerjaan sebagai career. Di sini Anda menjadi sutradara dari pekerjaan sendiri. Menjalankan skenario, cita-cita, dan masa depan Anda. Inilah yang menjadikan pekerjaan terasa lebih menarik. Membikin semangat. Paradigma ini bisa mewujudkan kesuksesan, tapi sayangnya bukan kebahagiaan.
Banyak yang mengira kesuksesan selalu sebangun dengan kebahagiaan. Padahal tidak. Betapa banyak orang yang berdiri di pucuk kesuksesan, tetapi pucat jika ditanya ihwal kebahagiaan. Tidak sedikit publik figur, justru bunuh diri ketika sedang berada di masa keemasannya. Bagi Arvan, ilmu kesuksesan berbeda dengan ilmu kebahagiaan. Toh, apa gunanya sukses jika tak bahagia?
Jadi, apakah Anda mesti mencari pekerjaan baru? Tidak juga. Solusinya bukan itu. Seperti yang saya bilang di awal, ini soal paradigma. Soal mindset.
Paradigma ketiga, adalah melihat pekerjaan sebagai calling. Bekerja sebagai sebuah panggilan. Cara berpikir model ini sederhana saja, yaitu memosisikan pekerjaan sebagai bagian dari menjalankan skenario Tuhan. Manusia adalah makhluk yang dikirim ke dunia dengan maksud. Ada misi yang dititipkan oleh-Nya pada tiap insan. Term “hidup untuk bekerja” dan “bekerja adalah ibadah” adalah intisari dari paradigma ini.
Bekerja dan ibadah adalah satu entitas yang tidak bisa dipisahkan. Kerja adalah ibadah. Ibadah adalah kerja. Dalam posisinya yang suci itu, maka bekerja tidak bisa dilakukan untuk diri sendiri. Anda tak bisa bekerja hanya untuk memperkaya diri. Melainkan ikhtiar menjalankan skenario Tuhan: melayani orang, memberi manfaat sebanyak mungkin.
Bukankah, dalam banyak kasus, di lembaga birokrasi dan tempat pelayanan publik. Jamak kita temukan model pelayanan yang jauh dari kata humanis. Perlakuan diberikan berdasar pada status sosial, makin tinggi status Anda, makin tinggi pula level pelayanan yang diterima. Pekerja yang merapah paradigma calling, akan menyelami hakikat bekerja sebagai ibadah yang memiliki kedudukan, dan nilai yang sama dengan ibadah lainnya. Dengan demikian, maka tidak akan ada perlakuan diskiminatif dalam melayani orang lain.
Dengan pelayanan yang baik, bukankah Anda memasukkan rasa bahagia di relung hati orang lain? Dan, laiknya kesedihan, bukankah kebahagiaan juga bisa menular? Membahagiakan orang lain, adalah jalan membahagiakan diri.
Mereka yang cuek saat bekerja dan melayani orang lain, sejatinya masih terjebak pada paradigma pertama. Melihat pekerjaan sebagai sebuah keharusan. Hingga bekerja apa adanya dan ala kadarnya. Yang penting kerja, yang jelas selesai.
Sedang, para pengusaha, yang kaya raya, tapi tak simpatik, dan cenderung menghalalkan segala cara, guna menambah kantong-kantongnya yang sudah penuh, bisa jadi masih terjebak pada paradigma kedua. Dan siapa saja, entah penyapu jalanan, petani, pedagang, pegawai, politisi, dan lainnya, yang melihat kerja sebagai bagian amanah dari Tuhan, yang mesti dijalankan sebaik-baiknya, setulus-tulusnya, sudah merapah jalan yang benar. Bekerja sebagai panggilan jiwa. Bekerja dengan sepenuh cinta.
Kahlil Gibran mengingatkan:
Dan, kukatakan kepadamu bahwa hidup adalah kegelapan, kecuali jika ada keinginan.
Dan, segala keinginan itu buta semata jika tanpa pengetahuan.
Dan, segala pengetahuan akan sia-sia jika tidak ada kerja.
Dan, segala kerja kosong belaka tanpa cinta.
Dan, jika kau bekerja dengan penuh cinta, kau mengikatkan diri pada dirimu sendiri, kepada orang lain, dan kepada Tuhan.
Dan, apakah kerja dengan penuh cinta itu?
Adalah menenun kain dengan benang-benang yang diambil dari hatimu karena yang kau kasihi akan mengenakan kain itu.
Adalah membangun rumah dengan tulus karena yang kau kasihi akan menghuni rumah itu.
Adalah menyebar bibit dengan penuh kelembutan dan memanen dengan penuh kegembiraan karena yang kau kasihi akan memakan buah itu.
Kerja adalah cinta yang kasat mata.
Bekerja dan berbahagia bukanlah air dan minyak, tapi sayur dan garam. Seperti Rangga dan Cinta, yang tak terpisahkan. Ini soal bagaiamana sikap Anda melihat kerja. Pekerjaan terbaik adalah yang dinikmati karena kesadaran, juga kebahagian melayani orang lain. Dengan begitu, tak ada pekerjaan rendah dan tinggi. Sebab, letak kemuliaannya bukan pada pangkat dan jabatan, tapi bagaimana Anda berbahagia dengan melayani dan membahagiakan orang lain. Sesederhana itu.
Lahir di Bantaeng, guru PJOK, pustakawan Rumah Baca Panrita Nurung, dan penulis buku kumpulan esai, “Jika Kucing Bisa Bicara” (2021).