Secercah sinar mentari terpancar dari ufuk Timur, ceracau burung bersenandung melintas di wajah langit, mereka menunjukkan pesonanya pada segerombolan penduduk di kota metropolis ini.
Di sudut kamar yang mungil, pandanganku tertuju pada sebuah buku istimewa yang terkapar di atas rak buku. Benda itu mulai lapuk selapuk perasaanku yang getir, meski kerap kali kenangan itu menyeruak dalam sendi-sendi ingatanku dan rasa perih itu seperti belati yang mengoyak hatiku. Tapi kini, kamu menjadi sepenggal kisah yang kubaca sebagai pelajaran. Harusnya kita tidak ada dalam rencana.
Kriiingg….lamunanku mulai sadar ketika bunyi nada dering ponsel mengejutkanku.
“Halo, kamu di mana? Ayo berangkat, keburu telat,” ujar Kiki tak sabar ingin bergegas pergi.
“Iya tunggu, tidak lama lagi selesai,” jawabku ketus tak bersemangat sambil memoles make up di wajahku.
Teman-temanku mulai berkumpul di halaman rumah, kulihat raut wajah mereka tak karuan, kadang tertawa cengar-cengir, namun juga kadang sedih, entah apakah penampakan wajah mereka menggambarkan kebahagiaan atau justru ikut larut dalam kesedihanku? Sungguh, aku menyaksikan bahagia versus kesedihan saling mengalahkan.
Janur kuning melengkung, kemilau gaun, dan deru sepatu para kondangan menambah kecerahan cuaca hari ini. Dua jalur telah di sediakan untuk para tamu, tempat laki-laki dan perempuan, dihijab. Resepsi pernikahan ini terkesan syar’i.
Kulihat di sekelilingku, kebahagiaan terpancar di segala penjuru gedung ini, hanya aku yang tidak bahagia. Aku merasa ini adalah titik terekstrim yang harus kuhadapi. Pertama kalinya aku merasakan sesak di dada. rasa perih mulai menyusup. Dadaku bergemuruh kencang, seperti petir yang menyambar hingga nanar di mataku. Tak tertahan saat kulihat wanita anggun dengan gaun putih tampak bahagia dengan status yang mengikatnya sekarang. Lalu, sepasang mataku melirik di balik pembatas yang tingginya sebahu. Kulihat dia. Yah dia! berjas hitam tampak elegan. Si lelaki yang saat ini bersanding dengan wanita lain adalah kekasihku.
Tatapan netraku tertuju kepadanya, lalu senyumnya menyapaku. Namun, senyum itu bagai rajaman luka yang tertancap di dadaku, semakin tersungging senyum di bibirnya semakin sayatan-sayatan itu terasa menggores batinku. Lamunanku mulai liar mengupas kembali rekaman memori yang sempat singgah di sanubariku.
***
Awal kisah sebelum benih- benih cinta itu tumbuh bertahta. Namaku Azzahrah dan lelaki itu Adam. Awal pertemuan yang tak disengaja adalah skenario dari Sang Maha Pemberi cinta. Aku dan dia adalah teman kelas di kampus. Terbayang segala hari dan detik yang bergulir, tak jarang kami selalu berpapasan. Bagaimana tidak, selain sekelas, kami juga selalu satu kelompok untuk presentasi, dan mengerjakan tugas kelompok bersama. Kadang aku heran, apakah ini hanya kebetulan atau Tuhan memang sengaja menitipkan kisah ini kepada kami.
Aku memiliki posisi di kelas sebagai sekretaris, sehingga jabatan ini menjadi alasan dia setiap pagi menyerbuku dengan pertanyaan yang sama. Zahra, Apakah dosen sudah masuk? Kuliah masuk jam berapa? Dosen siapa yang masuk? Kabarin yah, kalau dosennya sudah datang. Dan seterusnya. Pertanyaan itu seakan menjadi sarapanku setiap pagi.
Seiring berjalannya waktu, timbul rasa aneh yang tak kutahu apa artinya dan aku pun tak mau tahu. Perhatiannya kepadaku tak pernah kudefenisikan sebagai cinta, sebab aku belum pernah mengenal cinta, dan aku tak pernah peduli tentang itu. Yang kupahami, segala sikapnya hanya bentuk manifestasi kebaikan seorang teman kepada temannya. Tapi, ada rasa nyaman yang menggerogoti perasaanku. Aku merasa, aku masih anak kecil yang belum paham tentang cinta. Tapi anehnya, ketika aku berpapasan dengannya, jantungku berdebar kencang, pipiku memerah, dan aku selalu salah tingkah.
Teman-teman sekelasku selalu meledekku, mereka seolah seperti kompor yang selalu memanasi kami berdua.
“Zahra, sepertinya Adam menyukaimu, diam-diam dia selalu memperhatikanmu, cieee,” lontaran teman-temanku yang tak pernah kugubris.
Suatu hari, kami sekelas pergi liburan. Teman kelasku selalu mensiasati kami berdua, agar kami bisa berbarengan dan berboncengan motor dengannya. Obrolan santai mengalir di sepanjang perjalanan. Satu lagi, momen yang tak bisa kulupakan, kupikir ini hal lebay yang sering kusaksikan di film-film lokal. Dan, saat ini aku mengalaminya juga.
Saat hujan mengguyur begitu derasnya, dia menyodorkan jas hujan miliknya, bahkan helmnya sekalipun. Awalnya aku menolaknya, tapi dia bersikeras dan jika ditolak katanya aku tidak menghargai pemberiannya. Jadi aku menerimanya. Kuperhatikan, dia lebih mementingkan diriku dibanding dirinya. Di sinilah aku mulai tersentuh dengan sinyal-sinyal cinta yang mulai memahamkanku bahwa cinta itu fenomena alamiah yang tumbuh dengan sendirinya tanpa disengaja.
Semakin hari, perasaan itu semakin menggebu-gebu, aku mulai menyukainya. Hal kecil yang dia lakukan membuatku merasa nyaman. Dia selalu menegur kesalahanku, membantuku, melarangku untuk bebas bergaul dengan laki-laki lain, suka memberiku wejangan, menyuruhku aktif mengikuti kajian kemuslimahan di organisasinya. Dan tak jarang pula, dia selalu mengirimkanku makanan. Selain itu, keberaniannya menemui orang tuaku membuatku semakin terkesima, apalagi dia menyinggung perihal pernikahan. Kuperhatikan, matanya menatap orang tuaku, dengan patahan-patahan kata penuh harap dari matanya. Dan aku tahu, mata adalah bahasa yang paling jujur.
***
Aku semakin yakin, bahwa dia serius denganku. Meski, di antara kami tidak pernah saling mengungkapkan perasaan suka. Tapi, keyakinan kami menyatu bahwa sikapnya dan sikapku menunjukkan kami saling mencintai. Dan sejak itu, aku memutuskan bahwa dia adalah kekasihku.
Beberapa tahun telah berlalu, banyak cerita haru mengundang cerita baru. Di saat kami mulai sibuk bergelut dengan tahap penyelesaian studi strata satu (S1), aku terharu denganya. Dia begitu gesit mengerjakan skripsinya. Hingga akhirnya, dia lebih dahulu menyandang gelar, dan aku masih jauh tertinggal. Selang beberapa minggu, kami tak pernah komunikasi. Aku mulai resah dan mencoba menetralkan perasaanku dengan berbaik sangka padanya. Mungkin dia sibuk.
Malam itu, remang-remang kamar kecilku mulai membisik mataku untuk terlelap dalam keheningan. Tiba-tiba, notifikasi ponsel mengetuk mataku untuk terbangun lagi. aku menerima sebuah pesan dari seseorang yang kunantikan selama ini.
“Maaf atas segala kesalahan Ädam, perkara takdir memang sulit untuk ditebak. Jiwa menginginkan ini, namun Allah memberikan itu. Terkadang yang kita anggap baik, belum tentu baik di mata Allah, dan Allah akan memberi yang terbaik. Semoga dimudahkan segala urusannya, selalu berbuat baik kepada orang tua. Dan ketahuilah, rencana Allah yang terbaik dan Takdir Allah pasti yang terbaik karena sang maha menetapkan adalah hakim yang paling bijaksana.
Butir bening berguguran dari kedua mataku, aku tersendu menangis membaca pesannya. Entah mengapa aku menangis, perasaanku mulai penuh kekhawatiran dan bertanya-tanya tentang apa sebenarnya yang terjadi. Pesanku pun tidak dibalas lagi.
Beberapa hari aku dirundung rasa penasaran. Kudengar ponselku tak hentinya berbunyi. Grup kelas mulai heboh, kulihat temanku menyampaikan kabar gembira di grup WhatsApp. Dia menyampaikan bahwa tertanyata ada salah satu ikhwan di kelas kami diam-diam sudah melangsungkan acara lamaran, tapi objek berita itu masih anonim. Kami dipenuhi rasa penasaran mengenai siapa ikhwan itu. Hingga berita ini menjadi buah bibir di kelas kami.
Beberapa hari kemudian, sebuah undangan digital dibagikan oleh Adam di grup kelas. Aku kaget, tanganku gemetar, seketika energi tubuhku lenyap, dan sesak itu terasa memukul batinku saat kulihat namanya tertulis di undangan itu. Jadwal pernikahannya esok lusa, dia akan melangsungkan pesta pernikahan bersama perempuan yang ternyata murobbiku di rutinitas kajian yang selalu kuikuti. Faktanya, mereka memang satu organisasi.
***
“Kak,” Seketika, pramusaji datang membuyarkan lamunanku dan menawarkan ice cream padaku. Aku kembali terfokus pada pasangan bahagia yang kusaksikan di atas pelaminan megah itu. Kali ini, aku berada di episode drama patah hati, dan aku menunggu episode mengejutkan selanjutnya. Aku kira, yang dekat akan semakin dekat, namun tidak selamanya. Ternyata yang dekat bisa jadi memilih tempat jauh untuk berlabuh. itu adalah nasibku sekarang.
Kukatakan pada hatiku, ikhlaskan, dia bukan jodohmu, kita hanya ditakdirkan untuk saling mengenal, dekat dan setelah itu selesai.
Sumber gambar: www.popbela.com/relationship/single/amalia-azizah/bersyukur-dari-patah-hati
Dila Fadillah. Berdomisili palopo Sulawesi selatan. Mahasiswi IAIN Palopo. Pegiat kelas menulis Rumah Baca Akkitanawa. Akun media sosial Instagram @dila_fadillah98 dan Fb dila Fadillah.