Lalu teman-teman kita menikah. Satu per satu. Mereka menikah karena merasa sudah berusia matang. Mungkin karena menganggap dirinya buah-buahan. Ada yang menikah karena desakan orang tua. Takut jadi anak durhaka, lalu masuk neraka. Tidak sedikit pula yang menikah untuk balas dendam pada si mantan yang menikah duluan. Khawatir dituduh tak bisa move on. Sisanya, karena memang mau menikah saja, mungkin lelah dicecar pertanyaan, “Kapan nikah?” Mungkin juga karena sudah bosan hidup sendiri. Kesepian pula. Ada banyak kemungkinan. Semuanya sah-sah saja. Itu pilihan.
Sedang, di sisi bumi yang lain, ada yang tidak akan menikah karena alasan-alasan itu. Tipikal manusia langka yang akan menikah karena mau dan siap menikah. Motivasinya bersifat intrinsik dan penuh pertimbangan. Manusia jenis ini tidak menikah karena pengaruh-pengaruh di luar dirinya. Bahkan tidak juga untuk memenuhi harapan orang tua, yang sudah ingin punya mantu dan menimang cucu. Di masa depan, mereka tak ingin mengutuk orang tua karena paksaan yang tidak perlu. Apatah lagi menikah hanya untuk balas dendam. Duh, dramatis sekali. Bukan juga karena merasa usianya sudah matang, toh baginya usia matang tak menjamin apa-apa. Dan dia merasa dirinya bukan buah-buahan, yang akan membusuk jika tak segera menikah.
Pernah, seorang teman perempuan berkisah, dia bertemu dokter karena sakit, dan solusi yang ditawarkan adalah menikah—mungkin dokter menilai usianya sudah matang. Supaya ada yang temani, agar tidak stres, katanya. Alamak, seolah obat semua penyakit dan masalah adalah menikah. Jika itu bisa dibuktikan, maka besok saya akan langsung menikah saja. Saya kan punya banyak masalah. Tapi, bagaimana jika masalah justru lahir dari ketidaksiapan menikah? Bukanlah fenomena ini banyak kita jumpai kiwari ini. Kematangan usia, tidak selalu sebangun dengan kematangan sikap dan mental. Ketahuilah, kehidupan rumah tangga tak seindah drama Korea.
Ya, usia matang memang sering dijadikan legitimasi menikah cepat-cepat. Konstruksi sosial masyarakat kita memang begitu. Mereka yang telat menikah akan distigmatisasi.
Pertama, kalau perempuan, akan dicap terlalu pemilih, karena selalu menolak yang datang ke rumah. Seolah pertimbangan menikah hanya soal rupa. Padahal, mungkin saja si puan memang belum siap menikah, lahir dan batin. Belum lagi jika tak mengenal si calon. Cocok tidak, cekcok iya. Berbeda jenis kelamin bukan satu-satunya alasan cocok menikah, bukan? Banyak variabel lain yang tak kalah penting dan genting. Menunda menikah, bukanlah musibah.
Menunda dewasa—termasuk menikah—memang bukanlah fenomena baru. Waithood adalah istilah yang digunakan oleh Diane Singerman, seorang saintis Amerika pada 2007—sebagaimana dilansir magdalene.co, media yang berfokus perempuan. Frasa Waithood digunakan untuk mendeskripsikan orang yang menunda dewasa. Dewasa dalam arti kontruksi masyarakat tentu saja, salah satunya menikah. Beberapa pertimbangan penundaan yang diutarakan, seperti kemandirian finansial, kesiapan psikologis, dan mengejar karir/pendidikan.
Jadi perempuan yang menunda menikah, sepatutnya didukung. Sebab berani memilih jalan hidup dengan pertimbangannya sendiri—meski mungkin tak dipahami orang lain. Tak ada yang lebih mengenal diri, kecuali diri sendiri. Hidup itu pilihan. Berbahagialah mereka yang hidup dengan pilihannya.
Di sisi lain, konteks perempuan sekarang dan puluhan tahun lalu sudah sangat berbeda. Mengomparasi keduanya tentu tidak apple to apple. Kini, peluang perempuan untuk maju dan mengembangkan diri sudah terbuka lebar. Sangat kontras dengan masa lalu, di mana tak banyak hal yang bisa dilakukan perempuan, kecuali menikah dan ikut suami.
Kedua, jika kamu laki-laki, telat menikah akan dilabeli mati kiri—meski kamu tak kenal Karl Marx sekalipun. Istilah ini digunakan untuk lelaki yang tidak berkutik di hadapan perempuan. Dipertanyakan kejantanannya. Bagi sebagian orang, lelaki itu mesti superior di hadapan lawan jenis. Harus dominan dalam hubungan. Jika tak begitu, maskulinitasnya digugat. Muaranya, kamu akan dicap mengidap disorientasi seksual. Tidak normal. Sungguh tuduhan yang melukai. Orang suuzan macam begitu, mending dikirim ke Konohagakure, biar di-chidori Hatake Kakashi, atau dijadikan tumbal proyek saja. Lebih berguna.
Ya begitulah, sebagian orang memang keras mengomentari hidup orang lain, lebih pedas dari Chef Juna bahkan. Padahal hidup ini bukan dapur Master Chef yang kompetitif, dan hidup memang bukan itu. Kita tidak sedang berlomba. Kita sedang berusaha bahagia, dengan defenisi kebahagiaan dalam kepala masing-masing.
Argumentasi kematangan usia, sering pula dikaitkan dengan kemungkinan-kemungkinan yang tidak mungkin. Orang-orang sering mengalkulasi usia kala menikah dengan peluang punya anak dan kemungkinan usia anak kelak. Bahwasanya nanti ketika kamu telat menikah, peluang punya anak menjadi kecil. Kalau pun punya, anakmu mungkin masih mungil, tapi kamu sudah tua. Dan sudah sangat sepuh saat mereka menikah nantinya. Mungkin saja sudah meninggal sebelum sempat menimang cucu. Sungguh, simplifikasi masa depan yang prematur. Seolah tujuan semua orang menikah hanya untuk berkembang biak, lalu mati. Tak salah. Tapi jangan gunakan standar itu untuk semua orang. Tak elok.
Tidak semua orang berpikir sejauh dan “sevisioner” itu, toh untuk apa juga? Hidup itu di masa kini, bukan di masa depan. Orang jenis ini mungkin menganut pandangan filsuf macam Augustinus, yang melihat waktu hanya masa kini. Tidak ada masa lalu dan masa depan. Bukankah kita menceritakan masa lalu melalui ingatan di masa kini. Sedang masa depan hanya dapat ditemukan di masa kini, karena masa depan belum ada. Masa lalu dan masa depan adalah masa kini saat masa itu terjadi. Jadi mengapa harus repot-repot memikirkan hal yang sebenarnya tidak ada? Biarlah orang macam ini menjalani hidup sebagaimana ia ingin menjalaninya, tanpa didikte orang lain. Egois memang. Tapi beberapa hal dalam hidup, bersikap egoistis itu justru menyelamatkan.
Ya, kita memang hidup bersama orang lain. Sedang sebagian kita kadang terlalu memaksakan standarisasi hidupnya ke semua orang. Seolah pandangannya adalah flashdisk yang bisa dicolok ke semua batok kepala. Lupa kalau pandangannya bisa saja mengandung virus yang bisa mencelakakan. Semua orang punya pengalaman, pandangan, dan tujuan hidupnya masing-masing. Ya, dihargai. Bukan dimaki. Apalagi dihakimi dengan tuduhan yang tidak-tidak. Suudzan itu dosa.
Begitulah, menikah atau belum menikah bukanlah masalah, selama itu adalah pilihan sadar. Seperti yang sering dibilang orang, waktu yang cepat belum tentu tepat. Setiap orang punya masanya sendiri.
Saya percaya sakralitas pernikahan, karenanya ia mesti dipertimbangkan sebaik-sebaiknya. Sebab menikah itu bukan setahun dua tahun, melainkan seumur hidup. Dan seumur hidup itu lama. Lama sekali.
Selamat untuk yang sudah menikah dan bahagia. Semangat untuk yang belum menikah dan bahagia. Rayakan kesendirian. Berbahagialah dalam penantian.
Ilustrasi:law-justice.co
Lahir di Bantaeng, guru PJOK, pustakawan Rumah Baca Panrita Nurung, dan penulis buku kumpulan esai, “Jika Kucing Bisa Bicara” (2021).