Pagi yang indah. Asap mengepul di dapur kayu belakang rumah. Suara pekikan itik dan ayam, menagih makan pada tuan rumah. Seakan menjadi alunan musik penyemangat. Selepas tunai semua tugas di pagi hari, beranjaklah aku ke teras rumah. Dengan segelas teh, bersanding pisang goreng yang bersemayam di atas piring. Suasana desa selalu menjanjikan ketenangan.
Hariku selalu sibuk. Begitulah rutinitas seorang petani. Suara langkah kaki di atas papan rumah. Semakin jelas menyapa telinga, ternyata dia adalah tanteku, menyuruhku bergegas bersiap ke sawah milik keluarga. Ternyata aku baru ingat, hari ini adalah masa tanam jagung. Jika pegawai negeri dengan seragam rapinya. Anggota dewan dengan jas mahalnya. Maka petani identiknya dengan pakaian lusuh berlumuran tanah, orangnya pun bau tanah.
Mayapada para petani, terpatri begitu gamblang di persawahan. Aktivitas sibuk berkawan teriknya sang mentari, bersambut keringat yang perlahan menetes jatuh di atas tanah. Tempat bersandarnya harapan petani.
Selepas tanam jagung selesai, aku duduk di atas sebuah pematang berkelok. Jika curahan hati anak muda selalu tersaji di media sosialnya, maka petani pada cangkul dan tanamannya. Sayup-sayup kudengar keluh salah satu petani. Ternyata hari itu, harga pupuk kimia kembali bertahta. Sehingga membuatnya bergumam, mengomel pada maklumat pemerintah, yang seakan selalu tak berpihak pada petani.
Desaku, Desa Arungkeke, Jeneponto, terbagi menjadi beberapa jenis petani. Aku istilahkan 3 penjuru penghasil uang.
Di sebelah timur, tempat matahari memancarkan nur. Adalah tempat bermukim petani mutiara asin. Menggantungkan hidup pada air laut yang ditampung pada petak-petak tanah berpasir, jika angin bertiup menggerakkan air, maka butiran garam sulit terbentuk.
Menjadi petani garam bukan hal mudah. Mengapa? Karena jam kantor bagi petani garam, haruslah pada saat matahari begitu sangat terik. Saat panen, ngilu aku, melihat petani memikul garam yang baru saja dipanen. Luka goresan bersambut air garam, Perihlah rasanya. Kerjanya hingga tak berdaya, harganya tak membuat kaya. Dapat hasil dilipat dan ditabung.
Selanjutnya selatan, tempat bagi segelintir petani rumput laut. Bergantung hidup pada tali dan botol bekas, yang diikatkan bibit rumput laut, lalu dibawa menggunakan perahu kecil. Sang anak duduk tersenyum di atas tumpukan rumput laut, yang akan diapungkan di lautan biru. Harap-harap cemas mendapat hasil yang cukup. Untuk sesuap nasi dan hutang yang harus dilunasi.
Dan yang terakhir adalah sebelah utara, tempat di mana petani yang selalu mengutarakan isi hati pada tanaman rambat. Timunlah namanya. Tanaman yang selalu ingin dimanja, disiram, dan rawat. Jikalau tak terpenuhi, maka pahitlah rasa buahnya. Jika episode panen dimulai, maka terukirlah senyum, terbayarlah lelah dengan upah.
***
Sudah menjadi kebiasaan seorang petani, berangkat pagi buta ke ladang, untuk bertegur sapa dengan tanamannya. Namun, saat waktu berganti senja, menjadi kedukaan yang abadi, terkunci dalam ingatan. Dia yang aku kenal begitu ramah telah berkalang tanah. Yang membuat hati teriris beriring tangis, tubuhnya terjatuh, di dasar saluran irigasi sedalam 6 meter. Butuh 30 menit untuk bisa mengevakuasinya, dari dasar saluran yang penuh dengan air. Istrinya bertutur, bahwa dia memiliki riwayat penyakit asma, banyak orang berspekulasi bahwa, saat dia membersihkan diri bersiap pulang, penyakitnya kambuh.
Dia seorang petani sederhana, dengan sepeda tua selalu menjadi kawan ke ladang. Haruskah aku bahagia atau menangis? Dia pernah bersabda, “Nak! Sebenarnya saya sudah tua, ingin beristirahat. Tapi kalau saya berhenti bertani, mau makan apa nanti.” Terisak aku mengingat sabdanya. Kini, dia telah tenang dalam keheningan, tahlil dan kalam ilahi menjadi penerang jalan. Menuju keabadian yang sebenarnya.
Sekelumit kisah pedih itu tidak akan berakhir! mengapa? Persetubuhan kepentingan politik segelintir anggota dewan. Dengan kesengsaraan petani, melahirkan anak haram, gratifikasilah namanya. Aku pernah duduk di sebuah kursi mewah, di ruang berpendingin. Akan tetapi, tak aku sangka pembahasannya membuat panas dingin. Terlontar tutur keramat, dari mulut pak dewan. “Berapa pun bibit yang bapak inginkan, saya kasih! Asalkan pilih saya! di pemilu yang akan datang. Jangankan itu, traktor dan proposal permohonan akan saya muluskan!”
Obrolan panas! Begitulah kira-kira. Dinamika ini adalah sebuah fakta! Yang terlibat akan sejahtera, yang melenceng akan dibuat sengsara. Petani seakan menjadi kaum yang tertindas. Tak punya mata, tak mendengar, itulah politik. Kejam! Pernah terukir senyum di pipiku, bahagia sukmaku, mendengar kabar burung. Menteri pertanian akan menghadiri panen raya, di sebuah desa di Jeneponto, ternyata benar-benar datang. Dia disambut meriah, oleh para pejabat daerah, dan segelintir petani berpakaian kumal.
Setelah semua selesai. Entah mengapa aku menerka dalam diam, bahwa ini sebuah formalitas kunjungan kerja belaka. Memberikan harapan melangit, janji manis diumbar. Namun, yah! Hanya sebatas manisnya tebu. Tidak abadi, seperti manisnya anak gadis tetangga. Tapi, entahlah, mungkin hanya pikiranku yang picik. Sehingga menganggap setiap akad, seumpama bertapak di atas ramal, datang ombak, buyarlah sudah.
Entah mengapa, aku lebih percaya pada terasi, dari pada birokrasi. Belacan jika beraduk pada masakan, akan tetap istikamah aromanya. Walakin, fungsionaris begitu bancuh dengan politik. Tidak lagi bisa di kenali pada siapa mereka berpihak.
Wahai pemangku, pandanglah para petani! Haruskah mereka ke jalan? melempar serapah kepada yang dianggap sampah parlemen? Ah! aku merasa tidak. Mengapa? Nanti mendapat buah tangan. Borgol dan rumah mewah, berjendela besi. Tak banyak keinginan petani! Mereka hanya ingin keadilan sosial, dari segi ekonomi. stabilisasi harga di semua komoditas, harus menjadi prioritas. Dan stop impor jika tidak diperlukan!