Kami Bukan Cacat

Kau duduk di kursi belakang dengan gelisah. Suasana terlihat begitu ramai karena musyawarah akan segera dimulai. Tempat itu menjadi cerita, di mana hanya kau dan aku saling bertukar kasih dan harapan.  Kau seorang diri di depan mereka yang enggan duduk berdekatan denganmu. Tak ingin diusik dengan keberadaanmu. Mereka memandang kau hidup pada kekosongan, pada kehampaan, dan tanpa tujuan. Mungkin ada satu atau dua orang terhitung jumlahnya, masih mendengarkan keluh kesahmu.

Suatu waktu, kau tersenyum dan tertawa dengan nyanyian anak-anak. Kau tepat di sampingku. Gilirannya kau untuk menyebutkan namamu. Tak pandai berbicara. Jangan risau, kawan. Kau tidak  sendirian. Menerbitkan senyum dan tawa mampu mengalahkan segala keterbatasanmu.  Kulihat tak ada orang yang mau mengajakmu berbicara. Basa basi adalah hal tabu. Dan kupikir mereka datang ke musyawarah ini untuk menceritakan kebutuhan dan mimpi kepada orang lain.

Aku pun memberi isyarat dengan gestur tanganku bahwa kau baik-baik saja. Kau mencoba untuk memberi tahu namamu kepada mereka. Seorang datang memudahkanku untuk memahami maksud dari bahasamu. Pelan-pelan, kemudian kau memancarkan pelangi indah di wajahmu. Kau memperhatikan orang sekeliling. Sejenak kau ragu, benarkah yang bisa kau lakukan hanya diam dan memandangi orang lain? Perasaanmu teramat gugup. Seharusnya kau merasa gembira dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku mencoba masuk dalam ranahmu dan menanyakan kepada seorang yang lebih tahu akan tentangmu.

Kau merenungkan satu hal. Penyandang disabilitas. Ada apa? Faktanya kau memaksa diri bertahan dari orang orang yang memberikan label cacat di statusmu. Padahal kau sadar kalimat itu terdengar risih. Entah apa yang melatarbelakangi semua itu sehingga dicap sebagat orang cacat. Dan kau ingin mengeluh sedemikian rupa. Ternyata, kau tahu sendiri bagaimana manusia hidup di bumi. Memanusiakan manusia adalah bagian tersulit menjadi manusia.

Aku tidak menyangka. Kau ke sini pun ingin meminta bantuanku.  Bantuan apa? Dicap sebagai orang cacat dan tidak normal kepada kami. Bukankah terdengar kurang tepat? Kami disabilitas bukan cacat. Kami tak pernah berkecil hati dilahirkan sebagai anak disabilitas. Aku pun mendengar semua itu dari penyandang disabilitas yang sama sepertimu. Tampak dalam pandanganmu, menaruh harapan kepadaku untuk mengubah pandangan masyarakat bahwa disabilitas bukan cacat.

Memulai sesuatu itu terasa akan lebih sulit. Apatah lagi jika ingin mengubah pandangan orang lain. Bisa karena terbiasa.

***

Seseorang berkebutuhan khusus kerap disebut dengan istilah disabilitas. Disabilitas, menurut KBBI diartikan sebagai keadaan yang merusak atau membatasi kemampuan mental dan fisik seseorang.  Melirik UU No 8 Tahun 2016 menjelaskan bahwa tidak ada lagi pelabelan diskriminasi tentang penyandang disabilitas.

Setiap manusia merasakan keindahan yang berkesan dalam hidupnya. Seperti juga pada disabilitas. Mereka tidak hidup di masa suram. Ini hanya perspektif orang luar yang menganggap disabilitas tidak punya mimpi. Manusia yang juga punya empati. Punya rasa cinta dan kasih sayang. Namun, apa yang terjadi? Masih banyak orang yang seenaknya menghina, tapi lupa dirinya belum sempurna. Lebih mudah menertawai daripada menadah empati.

Jangan sebut penyandang cacat tapi penyandang disabilitas. Kenapa?

Sebutan “penyandang cacat” dianggap sebagai subjek hukum yang kurang diberdayakan. Penggunaan istilah “cacat” tidak berarti salah dan belum berarti benar. Maksudnya istilah “cacat” sering kali berkonotasi negatif. Sehingga sepertinya kurang tepat, jika memberi label dengan sebutan penyandang cacat. Hal tersebut memberikan predikat negatif kepada seseorang, yaitu cacat secara keseluruhan. Sementara sebutan “penyadang disabilitas” itu memiliki konotasi yang lebih baik.

Mengutip artikel dari TEMPO.CO, bahwa istilah penyandang cacat sudah tak relevan lagi digunakan saat ini. Sejak UU Nomor 8 tahun 2016 tentang  Penyandang Disabilitas disahkan, maka frasa yang tepat adalah penyandang disabilitas. Oleh karena itu perlu dipahami sebaik-baiknya.

Disabilitas sering dianggap penghambat melakukan aktivitas daripada non-disabilitas. Padahal tidak sedikit penyandang disabilitas sukses menginspirasi orang lain. Mereka berhasil menciptakan kehidupannya sendiri dan juga orang lain. Membuat orang lain turut bangkit dari segala keterpurukan. Kata orang, “Pembuktian itu perlu.” Mari kita buktikan!

Siapa tak kenal dengan Stephen Hawking. Tokoh penyandang disabilitas yang berhasil menginspirasi dunia. Seorang fisikawan cerdas yang telah memperoleh banyak penghargaan. Menderita penyakit neuron motorik, di mana dia sulit menggerakkan kaki, lengan, dan wajah. Meski dengan keterbatasan fisik, Stephen Hawking pun tidak menyerah dan melenyapkan mimpinya.

Ada lagi penyandang disabilitas yang sukses menginspirasi. Beliau ini berhasil menjadi nomor satu di Indonesia. Mengalami glaukoma yang membatasi kemampuan penglihatannya. Namun, siapa yang menyangka. Beliau menjadi Presiden keempat Indonesia yang juga mendapat julukan Bapak Pluralisme. Sebagaimana yang kita tahu, beliau akrab disapa Gus Dur. Masih ragukah kalian dengan mereka? Mari kita lanjut.

Kaum perempuan penyandang disabilitas pun juga bangkit untuk berprestasi. Siapa kenal dengan Angkie Yudistia. Seorang perempuan muda penyandang disabilitas yang diangkat sebagai staf khusus Presiden RI. Beliau menderita tuna rungu sejak usia 10 tahun. Namun hal tersebut tidak menghambatnya. Bahkan dia pun berhasil mencapai pendidikan magister. Seorang perempuan muda yang tidak bisa mendengar, tetapi tidak membuat ia patah arang.  

“Paradigma terhadap isu penyandang disabilitas telah berubah, bukan lagi dipandang sebagai objek penerima bantuan, namun sebagai subjek dan bagian dari pembangunan bangsa yang harus dipandang dan dihormati dari kacamata hak asasi manusia,” pungkas Angkie Yudistia.

Siapa bilang penyandang disabilitas tidak punya kemampuan? Malah kualitas mareka melebihi orang yang tidak memiliki keterbatasan fisik atau mental. Sejatinya disabilitas bukanlah menjadi penghalang untuk berprestasi tanpa batas.  Disabilitas punya kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama dengan non-disabilitas. Namun, sering kali perspektif orang luar melirik disabilitas sebuah penghambat dan dipandang sebelah mata.

“Apapun keterbatasannya tidak boleh membatasi mimpi-mimpi kita,” ujar Habibie Afsyah, pengusaha sekaligus motivator yang juga merupakan penyandang disabilitas. Beliau terus mengembangkan dirinya, meski dengan keterbatasan fisik tidak menghambatnya untuk terus berkarya.

Penuh harapan, disabilitas tidak lagi mendapat perlakuan diskriminasi serta diberi kesempatan yang sama dalam masyarakat. Jangan pernah menganggapnya kecil. Karena disabilitas bukanlah aib, hinaan, atau pun sampah. Melainkan disabilitas adalah sebuah kebanggaan milik mereka yang selalu berjuang hidup bukan hanya untuk diri sendiri tapi juga untuk orang lain.


Sumber gambar: Kompas.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *