L’Etat C’es Moi (Negara adalah saya). Kalimat ini pernah diungkapkan oleh Raja Lois XIV di hadapan Parlemen Perancis. Konstitusi yang berlaku adalah pengejawantahan dari titah dan perintah Sang Raja. Ucapan Sang Raja akan menjadi undang-undang. Kehendak Sang Raja wajib dilaksanakan untuk mengisyaratkan kepatuhan dan ketaatan. Rakyat dinilai taat dan patuh kepada konstitusi jika melaksanakan titah raja. Tidak melaksanakan titah raja konsekuensinya adalah hukuman yang dapat berupa denda sampai hukuman mati. Raja menjadi sangat ditakuti. Ketertiban terwujud di atas bayang-bayang ketakutan rakyat.
Jika ingin Negara kuat, maka rakyat harus lemah. Manakala rakyat kuat, maka Negara akan menjadi lemah. Kalimat ini diungkapkan oleh Lord Shang Yang seorang negarawan, ilmuan sekaligus tokoh reformis dari Tiongkok Kuno. Shang Yang menempatkan negara dan rakyat pada oposisi biner. Negara dipandang sebagai subyek dan rakyat ditempatkan sebagi obyek. Untuk menjadi Negara kuat maka rakyat harus dijerumuskan pada level yang serendah-rendahnya. Rakyat perlu dijauhkan dari dunia pendidikan untuk mengebiri kecerdasannya. Jangan biarkan rakyat mengatur perniagaannya karena ia akan mapan secara ekonomi. Bebankan pajak yang tinggi sampai rakyat tercekik agar pemenuhan kebutuhan sehari-harinya sulit untuk tercukupi. Putuskan hukum seperti pisau agar dengannya rakyat gampang terjerat. Dengan begitu, rakyat lambat laun akan lemah secara fisik, lemah ekonomi dan juga lemah pengetahuan. Sementara grafik kekuatan negara akan beranjak menuju titik kulminasi. Negara akan bebas dari riak dan gelombang protes sehingga negara akan dengan mudah melanjutkan pekerjaan-pekerjaannya.
Niccolo Macciavelli menegaskan gagasannya bahwa penguasa harus memelihara kekuasaan dengan menjadi seperti “kancil” sekaligus seperti “singa”. Ia mengajarkan bahwa seorang raja harus memiliki kepandaian, kecerdikan dan kelincahan sebagaimana si kancil. Selain itu pula, ia tetap memelihara sifat-sifat yang kejam dan bertangan besi layaknya seperti singa.
Memang sangat ekstrim jika kita mengatakan bahwa lahirnya kekuasaan-kekuasaan absolut di dunia tidak lepas dari pengaruh gagasan dan pernyataan-pernyataan lisan dari tokoh tersebut. Namun gagasan ini sering menjadi rujukan bagi siapa saja yang berniat untuk mempertahankan kekauasaannya demi mereduksi dan mendekonstruksi tatanan alam semesta.
Kita dapat memahami bahwa lisan memiliki pengaruh yang luar biasa dalam mengontruksi kebaikan atau bahkan keburukan. Lisan adalah potensi kodrati manusia yang diberikan Tuhan di mana manusia diberikan kebebasan untuk mengembangkannya. Sangat tergantung bagaimana kita punya itikad untuk memanfaatkan potensi itu.
Tak ada salahnya kami utarakan pula bagaimana Subcomadante Marcos memberikan nutrisi bagi pengikutnya melalui kata-kata. Menurutnya, kata-kata dapat melampaui batas demarkasi sosial. Pengaruh kata-kata terbilang lebih efektif mempengaruhi kawan maupun lawan ketimbang tajamnya peluru dan bombandirnya dinamik. Statmen-statmen Marcos mampu mengontruksi semangat perjuangan kelompok Zapatista sekaligus menciutkan nyali lawan.
Kegigihan milisi Indonesia dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya melawan militer Britania Raya dan India Britania, juga merupakan simbol perlawanan yang diawali dari pidato menggelagar Bung Tomo. Tidak bisa dibanyangkan bagaimana milisi Indonesia mampu membuat tentara AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) dan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) itu kewalahan. Padahal dari segi kecanggihan dan kelengkapan senjata maupun amunisi jelas jauh lebih di atas ketimbang milisi Indonesia.
Jika luka fisik dapat dilihat secara kasat mata sehingga akan mudah untuk diobati. Lain hanya dengan luka hati. Dahsyatnya lisan sebagai senjata karena dapat menembus sampai ke relung hati manusia tanpa memberikan bekas sayatan pada kulit dan daging. Efek psikogisnya dapat membekas secara berkepanjangan membebani para korban sampai tidur saja susah dibuatnya. Efek paling tragis jika sampai para korban mengakhiri hidupnya untuk lepas dari beban batin itu.
Bukan lagi perkara yang awam di telinga kita tentang pepatah, “Kalau pedang melukai tubuh ada harapan akan sembuh, tapi kalau lidah melukai hati kemana obat hendak dicari?” Olehnya itu salah satu nasehat dari Imam Al-Gazali ketika berkumpul dengan murid-muridnya, bagaimana pentingnya menjaga lisan. Lidah adalah organ yang lembek tetapi mampu berubah menjadi senjata tajam yang dapat merusak dan melukai perasaan siapa pun bahkan sahabat sekalipun.
Dalam khutbah haji “perpisahan” Rasulullah saw. di Masjid Al-Khaif, Mina, Rasulullah menyampaikan tiga wasiat kepada para sahabatnya. Tahun dan haji kali ini tidak akan saya temui lagi untuk tahun-tahun berikutnya, di hari yang suci ini, bulan yang suci ini, dan tempat yang suci ini dengarkanlah wasiatku, serontak tangis haru jamaah haji mengetahui bahwa Rasulullah akan pergi selamanya. Dalam kesempatan itu beliau berwasiat yang salah satunya adalah bagaimana seorang muslim tetap menjaga persaudaraan sesama. Manusia yang bermanfaat adalah manusia yang mampu menyelamatkan sesamanya dari gangguan lisan dan tangannya. Bahkan jauh sebelumnya Rasulullah saw. telah mempraktekkannya di tengah-tengah pergaulan sosial kenegaraannya.
Rasulullah saw. pernah dalam suatu majelis kedatangan tamu, seorang wanita Quraisy. Wanita tersebut membawakan beberapa buah jeruk sebagai hadiah buat Rasulullah. Tentu Rasulullah menerimanya dengan gembira disertai dengan senyum penuh keikhlasan. Seluruh jeruk itu dimakan oleh Rasulullah tanpa sebiji pun disisakan untuk para sahabat. Setelah wanita itu pulang, para sahabat menanyakan mengapa tak sebiji pun disisakan buat mereka. Lalu Rasulullah saw. menjawab sesungguhnya buah jeruk itu rasanya sungguh sangat masam. Saya khawatir ada di antara kalian yang mengerutkan dahinya ataupun sampai memarahi wanita itu jika kalian turut memakan hadiahnya. Saya takut hatinya tersinggung dan saya juga khawatir jika setelah peristiwa ini kalian akan menjadi pembenci.
Begitu hati-hatinya Rasulullah saw. dalam mengatur hati dan perasaan baik kepada sahabat maupun di luar sahabatnya. Padahal Rasulullah saw. tahu persis bahwa wanita Quraisy tersebut adalah suruhan para pembencinya dari para lelaki Quraisy. Niat jahat dari para pesuruh itu tak lain adalah untuk mencari sisi keburukan dari Sang Manusia mulia sebagai bahan rujukan olok-olokan. Lagi-lagi usaha untuk mendiskreditkan Rasulullah saw. kembali gagal. Setiap Rasulullah mendapatkan perlakuan yang buruk, selalunya dibalas dengan sikap yang ramah dan menggugah. Pantaslah titel rahmatallil ‘alamin dan penyempurna akhlak selalu melekat dalam eksistensinya.
Memang lahir dan wafatnya Rasulullah saw. bertepatan dengan tanggal 12 bulan Rabiul Awal. Jika lahirnya Rasulullah saw. bertepatan dengan Tahun Gajah, di mana masa itu Raja Abraha dan bala tentara bergajahnya takluk oleh pasukan burung Ababil. Sementara wafatnya Rasulullah saw. bertepatan dengan tahun ke 11 hijriah. Entah ini adalah sebuah kebetulan atau memang tersimpan makna di baliknya. Yang jelas dalam setiap sirah perjalanan Rasulullah saw. tak lepas dari mukjizat dan bimbingan Jibril sang Ruhul Amin.
Ternyata, angka dua belas dalam Numerologi memiliki makna tersendiri sebagai tatanan kosmik. Coba kita perhatikan, dalam kurung waktu setahun ternyata terdiri dari dua belas bulan. Begitu pun dalam pergantian siang dan malam juga pisahkan dengan batas waktu dua belas jam. Jika boleh kita menarik hikmah atas angka dua belas sebagai tatanan kosmik, maka pada kelahiran dan kepergian Rasulullah saw. adalah bukti bagaimana perannya sebagai Rahmatallil ‘alamin. Kehadirannya di alam ini sebagai penyempurna akhlak manusia termasuk di dalamnya bagaimana bertutur dengan baik dan bermoral.
Potensi lisan manusia sepatutnyalah menjadi berkah dan rahmat bagi semesta alam bukan sebaliknya. Seumpama komunikator harus menjadikan khalayaknya sebagai mitra yang setara dan bukan untuk diperlakukan sebagai obyek manipulasi dan eksploitasi. Apa yang disampaikan Lois XIV, Lord Shang Yang, dan Macciavelli sekadar pengingat bagi kita bahwa potensi lisan dapat memengaruhi terbangunnya kerusakan. Jadilah penebar kebaikan sebagaimana wasiat Rasulullah di Mina saat Islam telah disempurnakan.
Wallahu a’lambissawab.