Bagi seorang pemula seperti saya, ternyata menulis itu gampang-gampang susah. Sebab, menulis tidak hanya menyusun huruf demi huruf. Merangkai kata demi kata. Menyusun kalimat demi kalimat. Akan tetapi, menulis lebih dari kegiatan semacam itu. Menulis adalah sebuah aktivitas yang menuntut seperangkat kecerdasan. Disebut seperti itu, karena menulis mengharuskan ketepatan logika, kerunutan akal pikir, kesesuaian antara satu paragraf dan paragraf lainnya.
Tentunya, untuk mengatasi kebuntuan-kebuntuan yang dialami saat menulis tidak berhenti hanya dengan mengikuti kelas menulis. Namun, harus disertai dengan latihan secara konsisten dan persisten. Pahitnya, meski menyadari hal itu, saya sepertinya menyepelekan hal urgen di atas. Walhasil, setelah beberapa purnama vakum menulis, saya merasa kesulitan untuk memulai kembali.
Hingga beberapa waktu lalu, saya memberanikan diri memulai kembali aktivitas menulis saya yang sempat libur. Melalui sebuah sawala santai tapi berisi, Kak Sulhan Yusuf memberikan pepatah petitih dan sebentuk motivasi untuk menghidupkan semangat dan kemampuan menulis yang sempat memudar.
Tak hanya itu, saya juga diberikan beberapa judul buku yang diyakini dapat membetot kesadaran dan semangat untuk menulis. Ternyata benar, setelah membaca buku tersebut, tidak bisa tidak, saya seperti menemukan kembali apa yang hilang dari saya: semangat dan motivasi menulis.
Takjub bin ajaib, berkat bunga rampai esai yang diikat menjadi sebuah buku, saya merasa seperti dilahirkan kembali. Penasaran? Ini judul bukunya: “Jika Kucing Bisa Bicara” ditulis oleh seorang guru PJOK sekaligus pustakawan Bantaeng, Ikbal Haming.
Awalnya, ketika pertama kali melihat sampulnya, saya mengira buku tersebut membidik tema perkucingan yang ada di semesta jagad raya ini. Ternyata, tema yang disediakan lebih dari itu. Mulai dari tema Kependidikan, Kedirian, Kemasyarakatan, Keberagamaan dan Keliterasian. Setelah berpacu dengan waktu, saya berhasil mengeja buku ini sampai khatam. Meski, tak seluruh isinya akan saya ingat sampai akhir hayat. Akan tetapi, setidaknya ada beberapa poin yang saya dapatkan dari buku tersebut.
Mari, saya coba uarkan satu per satu. Tema pertama yang disuguhkan kepada pembaca adalah kependidikan. Pada tema ini, IH mencoba mendedah satu, dua, tiga persoalan pelik yang ada di dalam dunia pendidikan kita: kecerdasan, merdeka belajar, hubungan guru-murid, dan bagaimana wajah pendidikan Indonesia kala pagebluk koronan menerungku.
Bagi saya secara pribadi, sepertinya agak sulit untuk menentukan cerdas atau tidaknya seseorang. Sebab, menurut saya, kecerdasan tidak dapat divalidasi secara siginfikan dengan angka statistik dan variabel yang baku. Hal tersebut diakibatkan oleh perbedaan yang terdapat dalam setiap diri anak manusia.
Senada dengan hal di atas, Yasraf Amir Piliang, dalam buku anggitannya, Kecerdasan Semiotika menjabarkan hal yang sama. Serta memaparkan betapa tidak adilnya indikator dan variabel yang digunakan selama ini untuk mengukur kecerdasan seseorang. Umumnya, alat untuk mengukur cerdas atau tidaknya seseorang adalah The Bell Curve.
The Bell Curve pertama kali diperkenalkan oleh Hernstein dan Murray pada tahun 1994. Peranti tersebut mengukur kecerdasan seseorang berdasarkan faktor tunggal serba mencakup (an overall single factor). Hasilnya dinamai dengan IQ, Intelligent Question. Menurut Piliang, rerata yang diwedarkan oleh Kurva Bel atau Kurva Normal membuat orang-orang terbagi menjadi dua bagian. Cerdas dan tidak cerdas. Tentunya, hasil oposisi biner tersebut menganggap orang-orang yang berada di garis tengah sebagai yang normal. Sedangkan, mereka yang tak berada di wilayah tengah atau mean adalah abnormal.
Salah satu penelitian yang dipublikasikan dan menggunakan Kurva Bel atau Kurva Normal menunjukkan bahwa orang-orang berkulit putih lebih cerdas dan lebih dapat bertahan hidup tinimbang orang yang berkulit hitam.
Indikatornya sederhana: dilihat dari kebiasaan sehari-hari subjek penelitian. Selain itu, tak hanya berisi oposisi biner, Kurva Bel atau Kurva Normal juga meyakini sistem hereditas. Bagi anak yang lahir dari keluarga terbelakang, sangat sulit untuk mereka menjadi cerdas dan berkembang.
Nampaknya, seperti itulah kenaifan kita dalam melihat rerata yang ada. Melihat kecerdasan berdasarkan angka di atas kertas yang statis dan baku. Akibatnya, tak heran jika ada berita anak murid yang merenggang nyawa karena tidak lulus Ujian Nasional. Bagi masyarakat, keberhasilan seorang anak murid jika berlaksa kelulusan pada dari sebuah ujian sekolah. Tak lulus berarti bodoh, dan keluar dari kenormalan. Kasadnya, untuk memandang sebuah rerata, tak hanya menyorot dominasi mayoritas, melainkan juga memperhitungkan minoritas, keliyanan.
Kemudian, setangkup dengan Kurva Bel atau Kurva Normal yang hanya menganggap keumuman sebagai kenormalan, berimbas kepada kemerdekaan belajar. Di sekolah, kemampuan matematis-logis menjadi produk unggulan. Bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan matematis-logis, dianggap sebagai murid berkebutuhan khusus. Padahal, hakikatnya, sekolah tak hanya melahirkan kemampuan seragam. Melainkan pusparagam kemampuan.
Berangkat dari alasan di atas, tak heran jika IH, melalui esai yang diberi tajuk “Catatan Seorang Guru” kemudian dilanjutkan dengan “Semua Anak adalah Bintang: Membumikan Paradigma Multiple Intelligences” sebagai pembuka bukunya. Artinya, IH adalah salah seorang guru yang percaya akan setiap kemampuan yang menubuh pada setiap anak manusia.
Selanjutnya, kecerdasan IH dalam menulis juga menyata dalam tema-tema lain yang ditikkan dalam buku kumpulan esainya. Bagi Anda yang sedang merasa cemas, galau, senewen, khawatir terhadap masa mendatang, tulisan-tulisan yang dirangkum menjadi tema kedirian dapat menjadi bacaan menarik. Pada tulisan-tulisan tersebut, Anda akan disuguhkan kisah-kisah bijak yang dapat menstimulus kedirian Anda untuk menjadi bajik.
Tak sampai disitu, tema kemasyarakatan juga tak kalah asyiknya untuk dibaca. Fenomena-fenomena sosial yang tampak sederhana dipotret dengan baik oleh IH. Sehingga, meski penampakannya yang sederhana, kita diajak untuk mencermatinya dengan penuh penghayatan.
Sebut saja contohnya, esai “Desa vs Covid”, membidik wajah desa di tengah tirani korona. “Menjadi Pahlawan Di Kekinian” yang memberikan tips bagi kawula muda untuk menjadi pahlawan sejati. Serta “Jika Kucing Bisa Bicara” yang mengajarkan manusia, makhluk Tuhan, untuk menjadikan kucing sebagai salah satu suluk demi meninggikan makam ruhaniahnya sebagai hamba.
Keempat, tema keberagamaan. Pada tema ini, sikap keleluasaan dan inklusifisme IH sebagai umat beragama sangat dirasakan. Dua sikap tersebut sepertinya menjadi semacam emas pada timbunan limbah beracun.
Berlapikkan “Saleh Ritual, Saleh Sosial”, IH menyorot fenomena keberagamaan yang lahir berdasarkan pemahaman literal yang di banyak tempat menimbulkan perpecahan. Melalui esai tersebut, IH menawarkan banyak “masjid” yang layak ditempati untuk beribadah bagi sehimpun umat beragama.
Walakhir, yang paling pamungkas. Tema keliterasian. Selain memandang penting literasi pada umumnya, IH juga mengajak untuk menilik kemampuan kita dalam menggunakan literasi digital: bermedsos. Problemnya adalah, kita kadang merasa sangat pandai berselancar di dunia maya. Menganggap pintar menggunakan gawai dan teknologi. Padahal, belum tentu kita bijak menggunakannya. Ingin tahu cara bijak bermedsos? Baca esai berjudul “Belajar Bermedsos dari Socrates” dan temukan jawabannya.
Setelah belajar bermedsos dari Socrates, IH juga memaparkan tips-tips menjadi penulis yang beliau sadur dari Puthut EA. Serta alasan-alasan penting untuk apa dan kepada siapa Anda harus menulis. Kesimpulannya, lewat bukunya, IH membuktikan dirinya sebagai penulis cerdas yang cerdas menulis. Semoga, saya bisa mengikuti langkah beliau. Selamat.
Ahmad Nurfajri Syahidallah. Aktif sebagai mahasiswa di Universitas Hasanuddin, Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Sastra Asia Barat. Selain aktif di bidang akademik, juga aktif di beberapa Lembaga kemasiswaan. Siswa di Kelas Literasi Paradigma Institute