Serupa Centurion

Chiron adalah seorang centurion sekaligus tuan guru yang mengajarkan seni berburu bagi para pangeran di zaman Yunani Kuno, dengan maksud untuk membekali para pangerann itu tentang keterampilan berperang, agar kelak mampu menjaga teritorialnya dari intimidasi perompak, penjarahan, maupun gangguan dan ekspansi kerajaan lain. Keahlian berburu yang melekat pada Chiron, merupakan bakat yang sengaja dikaruniakan oleh dewa-dewa kepadanya. Berburu menjadi sangat istimewa karena di dalamnya dituntut multi-talenta, mulai dari kemampuan mengatur siasat, koordinasi, keterampilan jelajah alam, keterampilan survive, ketenangan, keberanian, kedisiplinan, kemampuan mengejar, menangkap sampai bagaimana cara melumpuhkan. Tidak ada salahnya jika kita mengatakan bahwa berburu adalah bakat dasar untuk menjadi seorang centurion.

Osman Gazi sesungguhnya juga adalah seorang centurion suku Kayi dari Oghuz Turks. Keperkasaan Osman Gazi karena masa kanak-kanaknya telah ditempa dalam peliknya keadaan dan intimidasi, serangan serta perlakuan bangsa Mongol. Didikan Ertugrul sebagai Sang Ayah sekaligus ketua suku Kayi, membuatnya matang dalam suaka di wilayah Anatolia. Kehadiran Osman Gazi ibarat tumbuhan yang telah menguncupkan tunas baru bagi eksistensi suku Kayi. Kemampuan militer telah menubuh dalam relung kehidupan Osman Gazi, hingga mengantarkannya pada rentetan kemenangan besar dalam setiap perang yang dilakoninya.

Tidak sedikit keheroikan yang ditunjukkan olehnya, dari itu sahabat dan musuh menjadi segang di medan perang dan juga di meja perundingan. Pada akhirnya Osman Gazi mampu menancapkan lencana dan bendera kekuasaannya yang ditandai dengan berdirinya dinasti kesultanan Ottoman (Kesultanan Ustmaniyyah/Turki Usmani). Eksistensi dinasti yang dibangunnya itu sesuai dengan jargonnya “negara abadi” mampu meruntuhkan monarki Byzantium dan bahkan dapat bertahta hingga berabad-abad dengan tiga puluh enam sultan.          

Tak ada negara yang bisa tegak berdiri tanpa adanya angkatan bersenjata. Aforisme ini merupakan kesimpulan umum dari seorang Niccolo Macciavelli, terkait bagaimana pandangannya tentang militer. Ia memandang bahwa negara tanpa militer tak ubahnya sebuah istana megah, berisikan benda berharga intan permata serta emas, akan tetapi terlihat telanjang karena tak memiliki atap. Dalam kondisi ini akan mengundang siapa pun untuk melakukan penjarahan, mempreteli seluruh isi istana atau bahkan bisa saja mendudukinya dan dijadikan sebagai hunian tetap. Secara tidak langsung, godaan akan gemerlapnya kekayaan istana yang tak terlindungi itu merupakan penanda agitasi bagi timbulnya kejahatan.

Dalam kehidupan masyarakat sipil, kehadiran militer tidak boleh lagi dipandang sebagai antithesis, sebab masyarakat sipil tidak akan terjamin kenyamanannya dalam Negara, jika tidak didukung oleh kekuatan pertahanan dari gangguan agresi negara lain. Urgensi dari eksistensi pertahanan akan mengantarkan negara pada kemapanan ekonomi, terbangunnya aktivitas pendidikan, berjalannya hukum dengan tertib, terlaksana ibadah dengan khusyuk dan tidak akan dipandang sebelah mata oleh negara lain.    

Meski militer menjadi kekuatan utama pertahanan negara, namun ia pun perlu didukung oleh kekuatan tambahan dari masyarakat sipil. Dalam konteks ke-Indonesia-an kita, ruang untuk itu telah dikemas dalam konstitusi Indonesia (UUD NKRI 1945) pasal 30 ayat 1 yang menyatakan, “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahan dan keamanan negara.” Secara historis, kemenangan bangsa Indonesia telah menyata, mampu melewati masa-masa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan tahun 1945, dengan bersatu padunya kekuatan rakyat dan kekuatan militer serta kekuatan polisi Indonesia. Sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta bukan hanya sebatas akronim biasa, akan tetapi istilah ini telah melampaui maknanya itu sendiri. Pertahanan dan keamanan Indonesia tetap melibatkan seluruh rakyat sebagai warga negara, wilayah dan sumber daya nasional secara aktif, terpadu, terarah dan berkelanjutan.

Pertahanan rakyat semesta telah diformulasi sedemikian rupa menyerupai bentuk kerucut. Sebagai kekuatan utama, Tentara Nasional Indonesia (TNI) berada pada posisi puncak sementara Komponen Cadangan berada pada posisi medium dan Komponen Pendukung berada pada posisi dasar. Komponen utama dipersiagakan untuk menghadapi ancaman negara yang sifatnya militer maupun ancaman hybrid dan non militer, sementara Komponen Cadangan dipersiapkan untuk memperbesar dan memperkuat kekuatan serta kemampuan komponen utama. Komponen Cadangan dibekali dengan kemampuan militer yang memadai. Lain halnya Komponen Pendukung, ia dibentuk bukan untuk perlawanan fisik tetapi komponen ini memberikan dukungan melalui keahlian dan profesinya masing-masing.

Tentu muncul pertanyaan, sebenarnya siapa sih yang termasuk dalam Komponen Pendukung ini? Kekuatan pendukung ini cukup banyak sumbernya mulai dari polisi, resimen mahasiswa, Satpol PP, linmas, satgas partai, satpam, organisasi kepemudaan, dan organisasi bela diri, serta tenaga ahli sesuai dengan profesinya. Di samping itu, industri, sumber daya alam buatan/sarana prasarana dan sumber daya manusia yang dapat dibina secara fisik dan psikis bisa pula menjadi kekuatan pendukung.

Dengan lahirnya undang-undang nomor 23 tahun 2019 tentang pengelolaan sumber daya nasional untuk pertahanan negara, kini telah ditetapkan lebih kurang dari tiga ribu anggota komponen cadangan yang selanjutnya akan dilakukan perekrutan secara intens. Secara fungsional Komponen Cadangan ini tidak aktif setiap hari sebagaimana aktifnya militer, akan tetapi ia berfungsi secara incidental, yakni ketika negara dalam keadaan darurat militer. Komponen Cadangan dapat dimobilisasi kapan pun saat negara memerlukannya, walaupun tetap dalam persetujuan DPR, di mana komando dan kendalinya tetap ada ditangan panglima TNI. Intinya, kehadiran Komponen Cadangan hanya boleh dipergunakan untuk kepentingan pertahanan negara, tidak lebih dari itu. 

Namun perlu diingat bahwa Nusantara bukan hanya dikenal sebagai negara yang tanahnya subur, saking suburnya seringkali muncul anekdot bahwa tongkat pun dapat tumbuh dengan rindangnya. Sejak masa mempertahankan kemerdekaan sampai saat ini, negeri kita tak luput dari praktek-praktek pembangkangan. Bukannya terlalu naïf atas kehadiran Komponen Cadangan ini. Kita juga patut mawas diri untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa muncul kapan saja. Semisal intrik untuk menjadi kekuatan politik baru, atau menjadi alat untuk diperhadap-hadapkan dengan rakyatnya sendiri atau bahkan kita ragu akan kemampuannya untuk menjawab isu pertahanan nonkonvensional berupa serangan cyber, spionase dan terorisme. Isu ini penting karena kita tentu masih ingat beberapa waktu lalu, begitu kagetnya kita ketika negara lain mampu menyadap nomor handphone kepala negara yang juga sebagai kepala pemerintahan di negeri ini.    

Pedang yang awalnya tajam bisa saja tumpul jika dalam waktu lama dibiarkan tidak diasah. Bekal kemampuan militer yang hanya tiga bulan tentu akan cepat menguap jika tidak di-follow up. Dalam keadaan damai dan jauh dari perang konvensional, Komponen Cadangan tidak boleh lengah. Ibaratnya para pangeran, tetap berburu untuk mempertajam penguasaan atas lapisan tanah tempatnya berpijak, sekaligus untuk mengasah intuisi mengenali topografi sekitar. Politik praktis bukanlah ruang untuk “berburu” bagi Komponen Cadangan. Tugas komponen cadangan hanya untuk kepentingan pertahanan negara sebagai kekuatan tambahan TNI dan mobilisasi untuk kepentingan darurat.

Komponen Cadangan, mampukah bermetamorfosis serupa centurion di masa Yunani Kuno atau mampu mewarisi semangat dan keberanian dari Osman Gazi? Tentu saat ini adalah masih terlalu dini untuk memberikan penilaian. Kita tunggu saja aksi nyata dari kehadiran kolompok sukarela ini.


Sumber gambar: kompas.com/read/2020/08/21/090132926/mengenal-11-tunjangan-di-luar-gaji-pokok-yang-diterima-anggota-tni?page=all

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *