Bayi

“Membayilah, maka dunia sekitar akan beradaptasi. Bukankah bayi mendikte setiap berurusan dengannya?” (Maksim Daeng Litere, 060320)

Life begin at forty, sederet kata bertuah, ditujukan pada pasangan saya, dari seorang saudarinya, tatkala ia sudah memangsa waktu 40 tahun. Kalimat tersebut, disertai ucapan happy birthday dan beberapa lembar foto, disatukan dalam satu bingkai foto lumayan besar. Satu hadiah ulang tahun yang garib.

Ajaib bin takjub, ada apa dengan angka 40, sehingga dinyatakan sebagai titik tolok memulainya kehidupan? Bukankah sebelumnya kehidupan sudah dimulai?

Begitu bayi lahir, maka sempurnalah perpaduan jasmani dan rohani. Seolah mengulang peristiwa paling purba, Roh Ilahi menemui seonggok tanah liat kering, berasal dari lumpur hitam, jadilah manusia. Ketika sudah berbentuk manusia, artikulasi setiap   penciptaan berikutnya, Ilahi meniupkan rohnya pada segumpal daging. Merahim dalam seorang ibu, setelah bapak merahmannya.

Jagat bayi mengalamatkan bahagia. Dunianya amat simpel. Kebutuhannya cukup sederhana. Inginnya nyaris tiada. Namun, keberadaannya mendikte alam sekitar. Orang dewasa takluk padanya. Siapa pun pengasuhnya, pasti bertindak meladeninya, bertingkah memenuhinya, dan berlaku sayang nan kasih.

Kebutuhan raganya sedikit, tapi jiwanya suci. Kelengkapan jasmaninya terbatas, tetapi rohaninya melangit. Coba bayangkan, kebutuhan makan minumnya hanya air susu ibu (ASI) dan makanan tambahan seadanya, kala sudah mencapai umur tertentu. Jiwa suci dan rohani melangit itu, mengantarkan ia pada status tak punya dosa. Ia serupa makhluk surga. Jika ia tak mampu melanjutkan hidupnya, maka ia bebas tes masuk surga.

Hanya manusia dewasa, entah itu keluarganya atau pengasuhnya, cukup repot menghadapinya. Mengapa? Sebab mereka menitipkan inginnya, semacam citanya pada si bayi. Kelengkapan raga mulai disuguhkan, perkakas jasmani sudah didedahkan. Sandang, pangan, dan papan segera dipersiapkan. Dari mula inilah, seiring dengan bertumbuhnya si bayi menjadi kanak, lalu remaja, matra jiwa dan rohaninya redup. Tidak lagi melangit, melainkan membumi. Melata di bumi dengan segala pernak-pernik raga dan jasmani.

Perjalanan dari masa remaja menuju dewasa, lebih mengedapankan kekuatan raga, mengandalkan jasmani. Jiwa suci samar cahanya dan rohaninya terjun bebas pecah berantakan di bumi. Laiknya biji-biji hujan tertumbuk di tanah. Capaian raga meninggi, prestasi jiwa merendah. Lejang jasmani naik, rejang rohani turun.

Kemelataan gatra raga-jasmani mencapai puncak kejayaannya, ketika tiba di usia 40 tahun. Kekuatan fisik tubuh hanya mampu maksimal di angka ini. Selebihnya, hanya penurunan kekuatan. Sebagai misal, saya ambil contoh olahragawan, pemain sepak bola. Kematangan prestasinya, berkisar di angka 20-40 tahun. Setelah itu, gantung sepatu: pensiun. Paling mungkin menjadi pelatih sesudah pensiun. Tatkala menjadi pelatih, bukan lagi mengandalkan raga-jasmani, melainkan kekuatan berdimensi emosi, berupa sentuhan jiwa-rohani.

Begitu pun bidang kehidupan lain. Jika masih mengandalkan kekatan raga-jasmani, maka ambang batasnya, hanya di angka 40. Akumulasi capaian umur 40 tahun, berkonsekuensi langsung pada bagian-bagian fisik tertentu mulai minta masa persiapan pensiun. Beberapa kegunaan bagian tubuh mulai melemah. Tidak sedikit malah menurun drastis fungsinya. Terkadang banyak anggota tubuh meminta untuk ditunjang dengan alat tiruan. Kacamata, gigi palsu, alat bantu dengar, hingga tongkat. Tubuh pun mulai pilih dan pilah makanan dan minuman. Saat sebelum usia 40 tahun, semuanya boleh dimakan. Bahkan laku serakah mengemuka, bukan sekadar makan apa, tapi makan siapa.

Menurunnya kekuatan raga-jasmani setelah angka 40 tahun, bila tiba di usia 60 tahun ke atas, maka tubuh menjadi tua dan badan mewujud renta. Tak sedikit orang yang berusia 70 tahun ke atas, tubuhnya mirip bayi. Boleh dikatakan, tampaknya kehidupan seakan diputar kembali menjadi bayi. Ketidakberdayaan raga-jasmani menerungku. Seolah menjadi bayi, amat bergantung pada situasi sekitar, baik keluarga ataupun pengasuhnya. Pada situasi seperti ini, orang dewasa telah membayi.

Lalu apa yang mesti dilakukan tatkala usia 40 tahun tiba? Di sinilah kehidupan baru dimulai kembali. Life begin at forty. Jalan memutar kembali diputar, berjalan menuju dunia bayi. Jagat kehidupan yang lebih berorientasi pada penyucian jiwa dan pengaktualan rohani. Mengapa? Ada semacam hukum berlaku, manakala kekuatan raga-jasmani menurun, akan muncul peluang kekuatan jiwa-rohani mengaktualkan kembali sari dirinya, seperti saat masih bayi. Bukankah kebutuhan raga-jasmani bayi amat sedikit tapi capaian jiwa-rohani sangat banyak?

Perjalanan usia 40 tahun ke atas, bagi yang sudah mencapainya, mungkin perlu mengeja wejangan Pir Vilayat Inayat Khan, putra sulung dan pewaris spiritual Pir-o-Mursyid Inayat Khan, kelahiran India, pendiri Tarekat Sufi di Barat, sekitar tahun 1010, khususnya di buku, Awakening: A Sufi Experience, telah diterjemahkan dengan judul, Membangkitkan Kesadaran Spiritual. Ia mengajak pada satu kesadaran untuk menjadi seorang bayi dalam buaian Ilahi. Mengada sebagai anak sang waktu dan bernapas dengan lega.

Sungguh, ajakannya agar membayangkan diri sebagai pendatang dari alam semesta yang jauh, lalu mendarat di bumi. Selama melata di bumi, mengalami kehidupan sebagai manusia, pastilah banyak peristiwa unik sebagai makhluk Ilahi. Sejak diri memutuskan hadir di bumi, mungkin ada motivasi dan misi membuat tanda buat meningkatkan keadaan umat manusia. Namun, untuk dapat menyelesaikan tugas ini, diri perlu memiliki tubuh yang tercipta dari kedua orangtua.

Diri pun melata bak hewan berdimensi Ilahi. Pandai menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik dan sosial—bekerja keras, jatuh cinta, menjalin persahabatan, membangun keluarga, dan berkelana—lambat laun mulai melupakan kenangan pada muasal diri. Sari diri perlahan hilang dari kesadaran, hingga akhirnya lenyap sama sekali. Untuk sesaat kehidupan diri berjalan lancar, memenuhi berlaksa kesenangan.

Namun, secara alami, alarm hidup dan kehidupan mulai bunyi. Memberi isyarat akan hadirnya guncangan hidup. Boleh jadi aneka ragam bentuknya. Paling nyata adalah hadirnya batas-batas maksimal peralatan tubuh, sebagai penunjang kemelataan hidup. Simpai durasi waktu, disetujui atau tidak, alarm akan bordering nyaring di usia 40 tahun, dan akan semakin nyaring setelahnya. Pada momen inilah, seharusnya kerinduan pada muasal, ingatan sebagai pendatang di bumi merasuk ke alam sadar paling dalam.

Jadi, tuntutan membayi bagi diri, serupalah tuntunan untuk kembali pada muasal. Menjadi bayi kembali di pucuk dewasa. Manusia dewasa berkarakter bayi, akan mampu mendikte alam sekitar. Membayilah, supaya cakrawala tenggelam pada diri.  Dan, ini berlaku hingga kesetiaan Roh Ilahi berpisah dari tubuh. Roh yang masuk ke dalam segumpal daging, pulang ke langit menyatu dengan Ilahi dan sebadan daging kembali ke tanah, melebur dalam lumpur hitam.

Ilustrasi: crisisaction01.blogspot.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *