Beberapa bulan lalu, saya pernah membuat status di Whatsapp, isinya begini, “Saya rasa Seruni akan lebih baik jika kios-kios menyetel musik dengan kadar yang cukup, tidak melebihi ambang batas pendengaran. Bahkan mungkin sebaiknya memang dilarang saja. Konsep tongkrongan outdoor Seruni sungguh apik, janganlah dirusak dengan musik yang berisik. Sebagian orang nongkrong ingin melakukan percakapan bermakna, sembari menikmati semilir angin dan bisikan malam. Sepertinya itulah yang hilang dari Seruni. Seruni yang sunyi, berubah jadi polutan bunyi.”
Sekadar mengabarkan, Pantai Seruni adalah salah satu tempat nongkrong di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.
Berbulan setelahnya, beberapa waktu yang lalu, ternyata tak ada yang berubah. Saya dan seseorang yang ingin berlama-lama bercakap-cakap, mesti bergeser lebih cepat karena kebisingan musik-musik itu. Ketika membayar minuman, jantung saya berdebar-debar, sempat terpikir saya jatuh cinta pada penjualnya, ternyata bukan, semua akibat suara bas dari speaker yang memekakkan telinga.
Sebagai pencinta musik, mendengar musik sudah menjadi bagian dari upaya saya mereleksasi diri, tapi musik di Seruni selalu terasa berbeda. Musik-musik yang kehilangan sisi relaksasi akibat volume berlebihan.
Bisa dibayangkan, kios yang hanya dibatasi tembok, masing-masing menyetel musik dengan volume maksimal. Jarak antar speaker seringkali hanya beberapa meter. Sungguh mengganggu pendengaran. Satu kios menyetel lagu pop, satunya lagi menyetel lagu dangdut, kios lainnya lagu daerah. Bisa dibayangkan irama macam apa yang lahir dari pertemuan tiga jenis musik itu selain kebisingan? Ini belum ditambah jika orang-orang berkaraoke dengan kualitas suara menengah ke bawah, tapi percaya dirinya melebihi penyanyi di galaksi mana pun.
Maksud saya, sadar dirilah, ini memang ruang publik, tapi status kepublikannya tak menjadikan kita semua bebas melakukan apa saja. Toh, menyanyi dan menyetel musik di rumah sendiri saja, yang notabene ruang privat, mesti juga belajar menghargai tetangga, kan? Kalau pun maksa, silakan setel dengan volume sekeras apa pun, tapi pastikan suaranya tak melewati dinding rumah. Sebab, jika suaranya sudah masuk rumah lainnya, itu sudah melanggar ruang privat orang lain. Begitu kira-kira logika saya bekerja, Om. Toleransi itu bukan hanya soal agama, tapi dalam hal-hal begini toleransi juga mesti disemai.
Sungguh, di Seruni—bahkan di mana pun—tak ada percakapan yang bisa dilakukan dalam kondisi demikian. Tak ada sama sekali. Jika pun memaksa, maka kita mesti berteriak seolah lawan bicara berada 100 meter di kedalaman laut. Ini kan merusak suasana, mengganggu kekhyusukan percakapan. Mereduksi kebeningan pikiran. “Keheningan melahirkan kebeningan. Arkian, kebeningan menuntun keheningan.” Ujar Sulhan Yusuf dalam Maksim Daeng litere.
Sedang Aslan Abidin dalam esainya “Kebisingan Membunuhmu” yang dibukukan dalam Telinga Palsu mendaku bahwa masyarakat sepertinya sudah kehilangan fasilitas mewah bernama keheningan. Kita sudah tidak bisa lagi menikmatinya. Padahal keheningan selalu merupakan “jalan bening” bagi nabi-nabi guna mengoneksikan diri dengan Tuhan, begitulah yang kita baca dalam buku-buku agama dan disampaikan pendakwah.
Egositiskah saya mengharapkan keheningan di ruang publik?
Ketika membikin status di paragraf pertama tulisan ini. Beberapa teman ikut memberikan komentar membenar-benarkan, ternyata banyak yang merasakan keresahan serupa. Bagaimana kita bisa menikmati debur ombak, bintang-bintang di langit, semilir angin pantai, jika terganggu dengan semua kebisingan itu?
Harus diketahui, ibarat udara, kebisingan pun termasuk polusi yang dapat merusak kesehatan manusia. World Health Organisation (WHO) baru saja memperbaharui pedoman kesehatan mengenai kebisingan suara, sebagaimana diberitakan cnnindonesia.com. “Kebisingan adalah salah satu pengaruh lingkungan yang paling berisiko terhadap kesehatan.” Tulis WHO dalam laporan terbarunya.
Dalam pedoman itu, WHO menunjukkan bukti pengaruh kebisingan terhadap kesehatan. Jika rokok dapat menyebabkan serangan jantung, maka kebisingan dapat mengakibatkan perubahan tekanan darah, hipertensi, dan penyakit jantung yang dapat menyebabkan serangan jantung dan kematian akibat penyakit kardiovaskular. Pada anak-anak, kebisingan bakal memengaruhi kognisi atau proses berpikir.
Seorang professor di Barts and Queen Mary University of London dan juga konsultan untuk WHO, Stephen Stansfeld, mengatakan bahwa dampak yang paling sering dialami akibat kebisingan adalah terganggu dan gangguan tidur. Jadi, bukan hanya utang dan kerjaan yang belum selesai yang mengganggu tidur, kebisingan pun punya andil dalam mengganggu hidup kita yang tidak bahagia ini.
Pencemaran itu bukan hanya di udara dan air, tapi juga bunyi. Ketika suara-suara bervolume tinggi, yang menyebabkan ketidaktentraman makhluk hidup dan membuat daerah menjadi bising dan tidak menyenangkan, itulah polusi bunyi.
Lalu bagaimana baiknya? Para penjual di kios-kios Seruni mestilah berbenah. Saya ingin memastikan bahwa keheningan yang saya maksud bukanlah kehampaan suara sama sekali. Bukan itu. Agaknya itu terlalu utopis, di tengah masyarakat kita yang memang mendamba hal-hal bising. Sederhananya, silakan setel musik, tapi tolonglah dengan kadar yang pas, saling berkomunikasi pulalah dengan kios-kios lain, jika perlu bikin jadwal masing-masing kapan kios A menyetel musik, kapan yang kios B, dan kapan kios C. Dengan begitu, semua orang bisa terakomodir kepentingannya, entah penjual atau pembeli. Muaranya kita bisa menikmati musik dan memaknai percakapan. Kecuali, kalau memang pengunjung sengaja diusir karena sudah nongkrong terlalu lama. Entah.
Saya meyakini, wajah Seruni akan lebih baik dengan berkurangnya polusi bunyi.
Ilustrasi: www.pngegg.com
Lahir di Bantaeng, guru PJOK, pustakawan Rumah Baca Panrita Nurung, dan penulis buku kumpulan esai, “Jika Kucing Bisa Bicara” (2021).