Guru Hanyut

Pemandangan yang cukup miris namun sungguh lucu. Entah dari mana sumber video itu sampai viral di media sosial. Di siang bolong, di tengah situasi banjir tetiba muncul springbad hanyut. Di atasnya masih terlelap seorang lelaki. Dinginnya air belum mampu membuatnya sadar. Begitu pula laju arus yang menyibakkan gemercik seperti membuainya untuk semakin lelap. Riuh sekaum massa di sekeliling dianggapnya sebagai pengantar tidur. Benar-benar ia telah hanyut. Hanyut dalam mimpinya dan juga hanyut di alam nyata.

***

Seorang guru baru saja menyampaikan keluhnya sesaat setelah keluar dari kelas yang diajarnya. Kali ini bukan soal tunjangannya yang lambat terbayarkan, bukan pula karena capaian angka kredit Pengembangan Keprofesian Berkelanjutannya (PKB) yang belum sampai target, ataupun bukan pula sebab karakter dan sikap siswa yang hiperaktif di kelasnya dan juga bukan karena menggosipkan rekan kerjanya yang gemar bergosip.

Sudah lazim, guru selalu merefleksi diri sehabis melaksanakan pembelajarannya di kelas. Memang karena merefleksi pembelajaran adalah tuntutan dan wadah untuk memperbaiki kualitas pembelajaran berikutnya. Wadah evaluasi pembelajaran, untuk mengorek kekurangan sekaligus mengumpul dan menghimpun kebaikan yang bisa dipertahankan. Refleksi dengan rekan sejawat akan memperkaya khasanah. Darinya bisa pula lahir inovasi-inovasi pembelajaran.    

Dia sungguh merasakan ada hal lain dari biasanya. Waktu berlalu begitu cepatnya di kelas, padahal alokasi waktu pembelajaran untuk setiap mata pelajaran adalah dua kali empat puluh menit. Muatan dan beban belajar siswa untuk jenjang Tsanawiyah atau SMP memang empat puluh menit setiap satu jam pembelajaran. Tapi kali ini dia merasakan waktu yang tersedia sangat tidak cukup di kelas. Masih sementara asyik jadi pemandu kelas, lonceng pergantian jam sudah berbunyi. Belum sepenuhnya desain pembelajaran dilaksanakan, waktu keburu habis. Sungguh nikmat di kelas dan siswa juga merasakan hal itu. Namun pembelajaran harus ditutup dengan rasa penasaran dan kurang puas.  

Serupa menonton pertandingan sepak bola. Di lapangan hijau, masing-masing tim memperagakan permainan apiknya, memainkan si kulit bundar. Kemenangan tim bukan hanya satu-satunya tujuan permainan. Pertunjukan skill, kerjasama tim, teknik operan tiki-taka cukup menghipnosis kita sebagai penonton. Ini sebentuk penegasan bahwa keindahan itu memang beragam bentuknya. Tidak hanya terbatas pada lukisan, melodi pada musik, suara pada nyanyian, putihnya awan, dan hijaunya pegunungan. Tidak pula keindahan itu pada tumpahan air sungai di dinding tebing. Duduk di balkon penonton ataupun di depan TV selama dua kali empat puluh lima menit, serasa berlalu begitu cepatnya. Saya juga membayangkan bagaimana para pemain tim yang apik itu menikmati permainan. Larut dalam berbagi bola, ngotot menyerang untuk mengejar kemenangan maupun bertahan mati-matian sampai tak terasa peluit panjang dibunyikan.

Guru, pemain bola ataupun penonton sama-sama hanyutnya. Mengajar ataupun saat mengerjakan administrasi pendukung pembelajaran berasa nikmat, guru berkeluh akan alokasi waktu yang dirasa kurang memadai, merasa waktu berlalu dengan cepatnya. Sesungguhnya ia telah mengalami kondisi flow seperti yang telah dipopulerkan oleh  Mihaly Csikszentmihalyi, seorang psikolog dan pakar kebahagiaan Universitas Chicago. Kiranya guru dituntut berada dalam kondisi flow dalam melaksanakan tugas-tugasnya, dimana seorang guru benar-benar konsentrasinya terserap dalam kenikmatan yang luar biasa sampai hanyut dalam keasyikan kerja. Segala energi difokuskan pada satu titik tujuan yang sebelumnya telah ia tetapkan. Dengan begitu, bekerja tidak lagi menjadi beban yang membuat kening berkerut.  

Sebagai guru memang ada kalanya kita terlempar jauh keluar dari kondisi flow ini. Merasakan situasi di mana semangat mengajar bertumbuh sampai berapi-apinya dan kadang pula kita dirundung semangat yang perlahan-lahan menurun ke level yang paling rendah. Tumbuhnya semangat dipantik oleh langkah inovasi yang disertai dengan adanya umpan balik terhadap inovasi tersebut. Pemantik semangat juga karena tantangan tinggi berbanding lurus dengan keterampilan yang sama tingginya. Jika tantangan mampu diselesaikannya dengan baik maka ia akan bereksperimen mencari tantangan lain.  

Lain halnya ketika kita menemukan tantangan besar saat mengajar di kelas. Dibutuhkan model, metode,  keterampilan, dan strategi mengajar yang jitu. Jika tidak, maka yang terjadi adalah kegagalan termasuk di dalamnya gagal menguasai kelas. Suhu dalam ruangan lambat laun akan dirasakan panas begitu menggigit. Satu jam pembelajaran di kelas akan dirasakan seperti masuk dalam bejana penuh dengan air mendidih. Sedikit-sedikit keluar kelas untuk menghindari kegugupan dan kebuntuan. Untung baik jika separuh waktu mengajarnya tidak dihabiskan hanya untuk marah-marah.  

Bukan hanya profesi guru, profesi lain pun pasti pernah merasakan situasi yang menjenuhkan dalam bekerja. Kejenuhan itu tidak muncul begitu saja. Penyebabnya bisa beragam. Perlu berhati-hati jika memiliki kemampuan dan keterampilan yang tinggi tetapi tidak menemukan tantangan yang sebanding. Kita akan cenderung memelihara sikap meremehkan persoalan, muncullah perasaan bosan untuk berbuat. Menyelesaikan pekerjaan saat-saat injury time karena dengan itu ia menemukan tantangan berlomba dengan waktu.Bekerja tidak lagi nikmat dan hikmad. Kejenuhan tentu akan menjauhkan kita dari titik flow.    

Maqam tertinggi dari flow bukan pada tataran paradigma sekadar meyelesaikan pekerjaan – Get the Job Done (GJD) Guru harus bisa mencapai paradigma Konfirmasi Kepuasan Confirm Satisfaction (CS). Sangat terang benderang apa yang dijelaskan oleh Arvan Pradiansyah bahwa seseorang yang berparadigma GJD akan menganggap pekerjaan itu dinilai dari apa yang telah dilakukan. Suatu pekerjaan dianggap selesai ketika telah dilaksanakannya. Melaksanakan tugas dan pekerjaan hanya sebatas untuk menggugurkan kewajiban saja. Setelahnya akan menerima upah atas apa yang telah dikerjakannya. Orientasinya masih sebatas bekerja sebagai cara untuk mendapatkan penghasilan. Sikap penuh hitung-hitungan dalam bekerja sangat dikedepankannya sehingga setiap pekerjaannya harus dinilai dengan rupiah.

Patut juga dicurigai dengan meningkatnya minat pelamar masuk perguruan tinggi yang akan melahirkan sarjana guru. Jangan-jangan memang pelamar ini didominasi oleh orang-orang yang berparadigma GJD. Profesi guru telah dipandang sebagai ladang pekerjaan menjanjikan dengan penghasilan yang menggiurkan. Memang profesi guru belakangan ini tidak lagi seperti di zaman Omar Bakri dengan sepeda ontelnya.

Guru yang berparadigma GJD bisa pula terjerumus dalam flow yang keliru. Sudah terlalu nyaman dengan fasilitas tunjangan sampai lupa untuk meningkatkan empat kemampuan sebagaimana yang dipersyaratkan dalam regulasi yakni kemampuan pedagogik, kemampuan professional, kemampuan sosial dan kemampuan kepribadiannya. Seyogyanya fasilitas tunjangan dimanfaatkan untuk meng-adakan buku-buku referensi atau setidaknya punya perpustakaan pribadi, giat mengikuti pelatihan mandiri, ataupun melengkapi fasilitas teknologi yang menunjang kemudahan dalam tugas.

Zona nyaman kadang menerungku. Membatasi keluasan pengalaman kita. Lihatlah bagaimana burung yang sejak dari dini dipiara dan dipingit sang majikan. Disiapkan sangkar sebagai rumah semunya. Segala kebutuhannya dipenuhi. Dilatih agar kelak dapat menuruti perintah. Paling tidak dapat membanggakan dengan keindahan kicaunya. Rasa nyaman sejak kecil sampai dewasa membuatnya menjatuhkan pilihan pada sikap jinak. Padahal sesungguhnya habitat aslinya cukup kaya. Ia dapat terbang bebas, bertualang, menambah perbendaharaan kecerdasannya serta membangun imajinasinya sendiri.  

Para guru harus mampu melakukan lonjakan flow pada level paradigma CS. Bukan hanyut karena kebanalan sebagaimana hanyutnya pria dengan springbadnya di tengah banjir. Bukan pula hanyut karena terbuai mimpi atau janji manis, melainkan hanyut karena menikmati. Pada level ini, ukuran keberhasilan dari sebuah pekerjaan bukan lagi pada apa yang sudah dikerjakan melainkan apa yang sudah dikerjakan itu dirasakan manfaatnya oleh orang lain, termasuk di antaranya kepuasan dan kebermaknaan. Paradigma CS bukan hanya memperhatikan out put, melainkan bagaimana menghasilkan out come. Bisa jadi salah satu alasan inilah lahir dedengkot guru tanpa tanda jasa.

Ilustrasi: id.pngtree.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *