Stoikisme muncul pada abad ke-3 di Yunani dan Romawi kuno, ditemukan oleh filsuf Yunani bernama Zeno. Selanjutnya dikembangkan oleh sederet filsuf Romawi seperti Seneca, Epictetus sang budak, dan Marcus Aurelius seorang kaisar Romawi. Suatu kelangkaan bahwa seorang budak dan seorang kaisar bisa bertemu lalu bersama-sama mengimani satu tradisi pemikiran atau sebuah falsafah hidup, padahal Epictetus maupun Marcus Aurelius memiliki pengalaman hidup yang sangat jauh berbeda.
Secara sederhana stoikisme menganut prinsip bahwa kehidupan ini harus disikapi secara rasional. Stoikisme mengandaikan bahwa secara keseluruhan alam semesta ini adalah kosmos; sebuah tatanan sehingga segala sesuatunya tidak mungkin mengalami kekacauan. Apabila terjadi kekacauan maka itu hanyalah penampakannya saja. Seperti kekacauan seolah-olah yang ketika diteliti lebih mendalam, menyimpan keteraturan, susunan yang simetris, tatanan yang harmonis dan terkelola secara rasional.
Inilah yang menjadi dasar bagi stoikisme dalam ajaran etikanya. Misalnya saat menyikapi penderitaan dengan menggunakan sudut pandang “dari kejauhan” yang oleh Marcus Aurelius diistilahkan “memandang bagaikan burung di angkasa”. Penderitaan dianggap sebagai sesuatu yang jauh, berada di luar diri kita dan tidak semestinya mempengaruhi ketenangan diri kita. Kita adalah yang memandang diri kita dari kejauhan. Demikian juga dalam berelasi, seorang stoik memandang orang lain dan segala sesuatu terhimpun dalam satu logos yang seharusnya hidup berdampingan dengan selaras.
Diantara aliran-aliran filsafat, stoikismelah yang paling lama berjaya yaitu sekitar 500 tahun dan dianut mulai kalangan budak sampai aristokrat. Stoikisme dianggap sangat berguna dalam keseharian karena menuntun manusia untuk senantiasa stabil, damai, terutama ketika menghadapi situasi paling rumit sekalipun dalam hidup. Stoikisme memandang penting penguasaan diri karena dengan menguasai diri, kita menjadi mudah mengelola emosi dan tahan mental. Salah satu prinsip stoikisme adalah kita hanya bisa mengendalikan apa yang berada dalam kendali kita, seperti pikiran dan tindakan kita.
Sedangkan segala yang di luar dari pikiran dan tindakan sendiri adalah di luar kendali. Kita tidak memiliki kesanggupan mengontrol sesuatu yang bukan bagian dari wilayah kerja pikiran kita. Dan karena itu, yang bisa dilakukan atau yang bisa dikendalikan hanyalah penilaian kita terhadap segala yang ada di luar diri kita. Perihal eksternal atau segala yang ada di luar diri kita di antaranya adalah keseluruhan situasi, peristiwa, perilaku, tindakan, dan persepsi orang lain akan diri kita.
Stoikisme yang menekankan dimensi internal (batin) manusia, sangat berguna dalam kehidupan terutama saat berhadapan dengan penderitaan. Maka suatu kewajaran ketika di zaman modern ini stoikisme menjadi dasar psikoterapi terutama untuk kasus depresi. Di sisi lain, stoikisme menjadi sebuah filosofi praktis atau konsep hidup yang bagi manusia bisa dilatih, digunakan, dan diterapkan dalam keseharian. Yang kita bisa uraikan menjadi beberapa langkah :
Pertama, melatih kemalangan. Pada dasarnya semua manusia takut mengalami penderitaan, apa dan bagaimanapun bentuk penderitaan itu. Maka manusia perlu melakukan latihan-latihan atas apa yang paling ditakutkan lalu kemudian melakukan simulasi. Para stoik menyarankan, untuk melatih ketangguhan menghadapi penderitaan, bisa dengan cara membayangkan atau mempraktekkan secara langsung skenario-skenario terburuk yang bisa menimpa manusia. Hal tersebut untuk melatih manusia, agar bisa dalam kondisi baik-baik saja ketika ditimpa kemalangan.
Filsuf stoik, Seneca memberikan contoh. Dalam setahun sebanyak 2 kali menerapkan perilaku sederhana seperti menanggalkan pakaian bagusnya, lalu memakai baju kumal dan kotor. Menggunakan lantai yang kasar untuk tidur, memakan roti yang sudah keras dan meminum air dari mangkuk hewan peliharaannya. Melalui contoh tersebut, Seneca ingin menempatkan diri dalam situasi dan kondisi yang tidak nyaman untuk membentuk stabilitas dan keseimbangan mentalnya. Demikian juga bagi kita, bisa melatih kemalangan dengan cara hidup yang sangat sederhana atau membayangkan secara detail keadaan paling parah yang bisa menimpa kita. Berupaya mencari solusi, apa saja yang akan dilakukan ketika harus menghadapi kemalangan itu. Dengan latihan kemalangan, bisa menjadikan kita selalu dalam ketenangan meski kemalangan benar-benar datang dalam hidup kita. Seneca mengatakan; “kemalangan yang tidak terduga seringkali yang paling menyakitkan. Karena itu, orang yang bijak sudah memikirkan kemalangan itu lebih dahulu.”
Kedua, dikotomi kendali. Stoikisme menganut prinsip dasar bahwa manusia tidak seharusnya melawan sabda alam. Manusia harus selaras dengan alam dan fokus pada apa yang bisa dikendalikan. Oleh karena itu, dalam memandang realitas kita harus bisa membedakan apa yang mampu kita ubah dan yang tidak mampu diubah; apa yang mampu kita pengaruhi, dan yang tidak mampu dipengaruhi. Misalnya ketika kita menginginkan untuk dihargai orang lain, hal yang bisa dilakukan hanyalah bagaimana membentuk diri kita sebaik mungkin, menjalin relasi yang damai, membangun cinta kasih dan sejenisnya. Tidak perlu meminta terlebih memaksa orang lain menghargai kita karena sekeras apapun itu dilakukan, persepsi orang lain sudah bukan dalam wilayah kendali kita. Kita hanya membuang-buang waktu ketika memaksakan mengubah persepsi orang lain. Akan lebih bermanfaat jika waktu dan tenaga kita difokuskan untuk memikirkan dan mengubah segala yang bisa dikendalikan.
Ketiga, melatih menulis. Salah satu aktivitas wajib para filsuf stoik adalah menulis. Bagi mereka menulis adalah bentuk permenungan diri untuk bisa lebih jauh mengenal diri. Dan dengan mengenal diri bisa lebih mudah mengontrol emosi termasuk apa saja yang harus dilakukan untuk memelihara keseimbangan mental. Tentang apa yang bisa ditulis dalam keseharian, para stoik menyarankan menulis apapun yang dianggap menarik; apakah itu sesuatu yang di dengar atau disaksikan langsung, hal-hal yang harus disyukuri, termasuk kemalangan atau derita yang dijumpai pada hari itu.
Keempat, melatih persepsi. Marcus Aurelius berkata, “memilih untuk tidak tersakiti, maka kita tidak akan tersakiti.” Jika kita menolak tersakiti maka kita tidak akan tersakiti. Ini salah satu mantra yang kerap didendangkan dalam stoikisme, bahwa segala kenyataan di alam raya ini bersifat netral, manusialah yang memberinya rasa. Misalnya ketika menghadapi rekan kerja yang tidak kooperatif, maka kita bisa mengendalikan diri. Jadikan momen ini sebagai motivasi dan kesempatan yang menguntungkan.
Kelima, memandang sesuatu dari kejauhan atau perspektif luas. Ketika menemui kemalangan, cobalah berhenti atau mundur selangkah. Langkah tersebut membuat kita bisa mengamati kemalangan dalam konteks yang lebih luas dan memastikan diri tetap tenang. Ibarat seorang astronot yang mengamati bumi dari kejauhan, menyadarkan betapa kecilnya manusia dengan segala permasalahan-permasalahan hidupnya. Filsuf stoik, Pierre Hadot mengatakan; “memandang dari atas mengubah penilaian kita pada sejumlah hal; kemewahan, kekuasaan, perang dan sejumlah kekhawatiran kita dalam kehidupan sehari-hari jadi terlihat konyol.”
Keenam, tidak ada yang kekal, semuanya fana. Pada dasarnya kita semua telah memahami tentang kefanaan hidup. Tentang semua pencapaian hidup seperti identitas, prestasi, reputasi, kepemilikan barang atau manusia, semuanya tidak ada yang permanen dalam hidup kita. Maka yang perlu difokuskan menurut para stoik adalah kehidupan sekarang. Pikirkan untuk membangun diri menjadi pribadi yang baik, jalin tali kasih dan lakukan segala yang benar untuk mengisi keseharian kita.
Ketujuh, mengingat hari kematian. Marcus Aurelius mengatakan, “kita bisa meninggalkan hidup ini kapan saja, maka jadikanlah ini penentu apa yang kita lakukan, katakan dan pikirkan.” Tidak ada yang tidak gentar di hadapamn kematian. Memikirkan kematian tentu melahirkan kecemasan bahkan depresi bagi manusia. Oleh karena itu, para stoik menyaranakan kematian perlu ditafsir ulang untuk mendapatkan pemahaman yang lebih menenangkan. Para stoik memandang, memikirkan atau memahami kematian seharusnya melahirkan kerendahan hati, dan membangun semangat dalam menjalani kehidupan yang lebih bermakna.
Kedelapan, mencintai takdir. Filsuf stoik, Epictetus yang juga seorang budak mengalami kelumpuhan permanen, dalam hidupnya menghadapi kesulitan berkepanjangan. Ia mengatakan, “jangan berharap sesuatu terjadi seperti yang kau inginkan, sebaliknya berharaplah apa yang terjadi, terjadi sebagaimana mestinya, maka itu kau akan bahagia”. Cobalah menerima apapun yang terjadi dalam hidup kita; seberapa pun menantangnya keadaan itu, bahkan cintailah situasi itu untuk memudahkan mengubahnya menjadi motivasi dan peluang. Raih sebanyak mungkin peluang, fokus pada bagaimana membangun diri yang lebih baik.
Penderitaan, kemalangan, cemas, gelisah dan sebagainya memang mutlak dirasakan oleh semua yang bernyawa terutama manusia. Tetapi saya maupun Anda tentu tidak menginginkan kehidupan di bawah bayang-bayang derita yang berlarut. Dengan akal kita bisa memikirkan cara apa yang dilakukan sehingga hidup bisa lebih berwarna, damai dan produktif. Menjalani terapi atau meditasi telah banyak dilakukan, atau bisa juga memilih menganut filosofi praktis seperti stoikisme ini. Filosofi ini akan menuntun manusia mudah mengendalikan emosi, sehingga segala derita yang ada lebih mudah dicegah atau setidak-tidaknya berkurang. Tentu tidak mudah mengamalkan filosofi ini, tetapi dengan kesabaran dan ketekunan semoga bisa membantu dan stoikisme bisa menjadi langkah bagi Anda merasa lebih tenang dan bahagia. Selamat mencoba..!!
Lahir di Kabupaten Enrekang 5 Juli 1991. Sekarang menetap di Pondok Nugraha, Tidung, Makassar. Pendidikan terakhir, S2 Pascasarjana UIN Alauddin Makassar. Pengurus Masika ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) Makassar dan Pengasuh Rumah Kajian Filsafat Makassar.