Tidak Ada Hal Baik dan Hal Buruk, Bahagia ala Stoik

“Tidak satu pun milik kita, tidak juga tubuh kita. Kita selalu menyewa, tak pernah memiliki.” Kalimat ini berhasil mencuri perhatian saya, mengambil jeda sesaat untuk menyunggingkan senyum. Benar, Epictetus telah menampar saya dengan gagasannya yang memang masuk akal namun sebenarnya kurang realistis, atau mungkin tepatnya tidak berprikemanusiaan dan prikebinatangan (karena binatang pun tidak ingin kehilangan). Dengan gamblang dia mengatakan bahwa ketika sesuatu hilang, relakan dengan mudah dan segera, bersyukur atas waktu ketika kau bersamanya. 

Kalimat yang begitu ringan diucapkan namun implementasinya begitu berat. Sementara Epictetus terus mengingatkan sembari menyarankan agar mengatasi kehilangan-kehilangan kecil lebih dulu sebelum berpindah kepada bentuk kehilangan yang lebih besar. Apa kau pernah kehilangan topimu? Dalam perspektif Filsafat Stoik, kamu tidak sungguh-sungguh kehilangan topimu, kamu telah mengembalikannya. Sehingga kamu tidak mesti kecewa dan trauma, karena ibaratnya sama saja ketika kamu mengembalikan buku ke perpustakaan. Meskipun kamu telah membeli dengan uangmu, namun dalam Stoik, itu bukanlah milikmu. Marcus Aerelius pun begitu, Sang Kaisar Romawi ini berusaha mengingatkan kita bahwa semua yang kita sayangi suatu saat akan hilang, layaknya dedaunan di pohon. Maka kita harus selalu waspada, jangan sampai rasa senang terhadapnya membuat kita sangat menyayanginya. Sehingga saat ia hilang, kedamaian pikiran akan hancur dan buyar. 

Cara berpikir inilah yang digunakan dalam Filsafat Stoik, yaitu salah satu aliran filsafat Yunani yang paling bertahan lama bahkan relevan dengan kehidupan manusia modern saat ini. Stoikisme menawarkan art of living atau seni menjalani hidup. Menurut Stoikisme, orang yang menerapkan filsafatnya dalam kehidupan sehari-hari lebih patut dihargai daripada  orang yang hanya sekedar pandai bicara tentang macam-macam teori filsafat. Stoikisme sendiri menawarkan kebahagiaan dalam pengertian absence of troubles atau bebas masalah yang berasal dari emosi negatif. Semakin berkurang emosi negatif, semakin dekat pula kita dengan kebahagiaan. Agaknya Stoikisme ingin berkata: ubah apa yang bisa kita ubah, dan terima apa yang tidak bisa kitaubah. Misalnya, masa lalu telah berlalu, untuk apa terlalu menyesalinya. Masa depan belumlah datang, untuk apa terlalu dikhawatirkan. Kita hidup disini, saat ini, mengapa kita tidak syukuri.

Salah satu seni untuk hidup bahagia adalah dengan life in present moment, agar pikiran kita terbebas dari berbagai asumsi negatif yang dapat menimbulkan kegelisahan, ketakutan, dan penderitaan. Pada dasarnya, kesedihan dan penderitaan hadir dengan dua diskursus. Pertama, memutuskan hidup, dan kedua menguatkan hidup. Manusia yang berada pada jenis pertama akan menganggap kematian sebagai penawar dari rasa sakit yang dideritanya, sehingga berpikir bahwa kematian jauh lebih baik dari kehidupan ini, karena akan menghentikan semua derita yang dialaminya. Sementara jenis kedua, menerima dan menyambut datangnya rasa sakit karena menganggapnya sebagai bagian dari kehidupan. Filsafat menawarkan kebahagiaan, apakah ingin hidup bernilai lalu mati terkenang? Ataukah hidup susah, lalu mati konyol? Tak ada larangan bersedih atau menangis, silakan, agar hukum alam tetap berlanjut. Tapi ada satu hukum kebahagiaan: bahwa kesedihan adalah ladang kebijakasanaan. Maka tak ada hidup yang benar-benar menderita, karena derita sekali pun adalah peluang menjadi manusia super. 

“Pilihlah untuk tidak tersakiti, maka kamu tidak akan merasa sakit. Pilihlah untuk tidak pernah merasakan sakit, maka kamu tidak akan tersakiti.” Demikian pesan Kaisar Marcus Aurelius, yang berarti bahwa jika kita tertekan oleh sesuatu yang eksternal, rasa sakit itu bukan karena hal itu sendiri, tetapi karena perkiraan dan pikiran kita sendiri; dan hal ini dapat kita kendalikan kapan saja. Karena jiwa dan pikiran berada di bawah kendali kita. Segala sesuatu yang menggangu kita sebenarnya berasal dari cara penilaian  yang keliru. Cara pandang kita yang keliru dalam menyikapi sesuatu dalam hidup membuat kita stres, gelisah, emosi, dan marah-marah tidak jelas. 

Semua hal yang terjadi dalam kehidupan manusia adalah netral. Tidak ada hal positif dan negatif, tidak ada hal baik dan hal buruk. Yang menjadikan sesuatu itu positif dan negatif, baik dan buruk adalah interpretasi kita terhadapnya. Ada hal penting untuk kita kedepankan yaitu self control (pengendalian diri) dari sikap fatalistik. Sejatinya dunia ini berasal dari satu prinsip rasional, semuanya telah dirancang sebagai hukum alam (sebab-akibat) atau dalam agama Islam disebut sunnatullah. Manusia sisa menjalankan peran masing-masing dan menjaga pola harmoni dengan alam tersebut. Karena manusia terikat oleh alam, tinggal bagaimana menjaga keselarasan harmoni alam semesta, dengan cara berbuat kebajikan. Ketika Tuhan, alam, dan pikiran selaras, maka dapat tercipta hidup yang harmonis untuk mencapai ketenangan jiwa. Tidak satu pun manusia yang hidup tanpa masalah, tapi masalah hadir bukan untuk membuat manusia menderita. Kita diberi kemerdekaan berupa pilihan, apakah memilih untuk bersedih dan meratap, ataukah menerima dan mengontrol diri agar bisa menjalani ujian hidup dengan baik. Manusia memiliki peluang untuk menciptakan kebahagiaannya sendiri melalui rasio yang telah dianugerahkan Tuhan. 

Filsafat Stoik menawarkan sesuatu yang menarik yang disebut dengan dikotomi kendali. Ada hal-hal yang berada di bawah kendali manusia, seperti mengendalikan cara pandangnya, jiwa, emosi, dan tindakannya. Tetapi juga ada hal yang berada di luar kendali, seperti penilaian orang lain, kepergian seseorang, dimarahi atasan,  jalanan macet, dsb. Jika kita menyandarkan kebahagiaan di luar diri, maka kita akan menderita dan sakit hati ketika sesuatu itu tidak seperti yang kita harapkan. Sebaliknya, jika kebahagaiaan itu kita ciptakan dari dalam diri, tidak sesuatu pun di luar sana yang mampu menjadi alasan untuk kita menderita. Manusia memiliki kekuatan dan kemerdekaan untuk mengatur pikirannya.

Kita mungkin memiliki masalah di tempat kerja, baik itu dengan pimpinan, rekan kerja, bahkan dengan tugas-tugas yang menumpuk. Dalam perjalanan pulang, kita dihadapkan dengan kemacetan lalu lintas, dan ketika tiba di rumah kita disambut dengan keributan anak-anak serta pasangan yang bawel. Situasi ini mungkin akan menjadi pemicu emosi dan stres, namun semua kekacauan itu sebenarnya timbul akibat persepsi kita sendiri. Ada dua kemungkinan yang lahir ketika kita dihadapkan dengan problematika hidup. Pertama, apakah masalah itu membuat kita down (jatuh) dan putus asa. Kedua, apakah menjadi challenge dan pemicu semangat untuk menguji kualitas kita. 

Bayangkan, jika dalam dunia kerja kita tidak pernah mendapatkan tantangan, bisa jadi kita tidak berkembang dan hanya berada pada posisi stagnan. Di tengah kemacetan, kita bisa menggunakan waktu itu untuk membuka lembaran buku atau membaca Kitab suci, daripada harus menguras energi dengan marah-marah. Mendengar suara tangis dan keributan anak-anak bukankah dambaan oleh mereka yang belum dianugerahi keturunan? Disambut celoteh pasangan bukankah mengajarkan kita untuk menjadi pendengar yang baik? Juga menjadi manusia yang sabar dan bijak. Teringat perkataan seorang filosof Yunani, Socrates, “Jika kau mendapat istri yang baik kau akan bahagia, dan jika kau mendapat istri yang buruk,  kau akan menjadi filsuf.” Tentunya bukan tanpa alasan Socrates berkata demikian. Dalam artian, ketika dihadapkan dengan seseorang yang berperilaku kurang baik terhadap kita, kita memiliki peluang untuk belajar menjadi manusia yang bijaksana, ketimbang membalasnya dengan emosi negatif. Maka pada kondisi apapun,  sebenarnya kita bisa memilih untuk tetap bersyukur dan bahagia. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *