Suatu pagi, seorang anak perempuan kecil mendadak mogok sekolah. Dalam balutan seragam TK, sepasang kemeja dan rompi mungil, rambut ikal yang setengah basah sudah tersisir rapi, ia berdiri mematung, bergeming, berkali-kali menolak untuk berangkat ke sekolah. Kedua orangtuanya kebingungan setelah mencoba membujuknya dengan berbagai kata rayuan. Bahkan sempat terjadi adegan setengah memaksa, demi membuat si anak mau menurut. Hasilnya nihil. Air matanya bahkan mulai menetes satu demi satu sebagai ekspresi penolakan dalam ketakberdayaan. Kedua orangtuanya luput melakukan satu hal, ialah bertanya sebab mengapa ia enggan menjalani rutinitas paginya seperti biasa lagi.
Orangtua itu adalah kami, Umi dan Abi. Dan anak perempuan kecil itu adalah Engkau nak. Andai waktu dapat berputar mundur kembali, tentu kami akan mengulang banyak peristiwa dan perilaku keliru dengan cara yang tepat. Sungguhpun kami telah belajar sebelumnya, namun pengetahuan yang kami miliki saat itu belum cukup mampu mengantisipasi segala hal yang akan terjadi. Kecepatan menyerap ilmu kepengasuhan semestinya melebihi kecepatan gerak dan laju masalah dalam kehidupanmu.
Seperti yang telah beberapa kali kami ceritakan, Engkau lahir sebagai cucu pertama dalam lingkup keluarga besar Mulkin di kota kecil Sorowako. Tentunya banyak harapan dan cita-cita dititipkan padamu. Bermula dari pemberian namamu yang memuat tiga penggalan kata dari tiga unsur dalam keluarga kami berdua. “Nurul”, merupakan pemberian dari nenek (pihak Umi), yang berarti cahaya. ”Aqilah”, adalah nama utama yang sudah Umi pikirkan dan persiapkan beberapa waktu sebelum hari lahirmu. Nama ini terinspirasi dari nama cucu Rasulullah SAW, putri Fatimah Azzahra, Zainab al-Kubra yang diberi julukan Aqilah Bani Hasyim. Yang berarti cerdas dan berakal, juga fasih dalam berbicara. Sementara penggalan nama “Muslihah”, berasal dari kakek (pihak Abi) yang berarti perempuan pembaharu.
Sebuah nama hakikatnya adalah doa, seperti itulah harapan kami terhadapmu. Walaupun begitu, dalam perjalanan hidup selanjutnya kami semakin memahami, bahwa menuntun dengan teladan sesungguhnya jauh lebih powerful. Mendidik diri kami terlebih dahulu sebagai orangtua jauh lebih penting daripada mendidik kalian, anak-anak yang lahir kemudian.
Bertabur suka dan duka dalam upaya membesarkanmu sebagai putri pertama kami. Dari sudut sukanya, Engkau menjadi pusat perhatian dan cinta semua orang, khususnya dalam keluarga besar Umi. Didandani, dipakaikan jilbab sejak usiamu masih hitungan bulan, dihadiahi banyak mainan, diajak jalan ke mana saja oleh om dan tante. Sedangkan dari sudut dukanya, Engkau menjadi sasaran uji coba kami dalam upaya mempraktikkan teori-teori kepengasuhan yang kami peroleh.
Umi masih ingat pada suatu pagi di rumah Sorowako, usiamu saat itu baru sebulan. Engkau Umi letakkan di atas kursi goyang kakek selepas mandi pagi. Tak lama kemudian Engkau tiba-tiba menangis tanpa sebab (yang terdeteksi). Umi mendekat, mencoba melihat apa yang terjadi. Pada waktu yang bersamaan, kakek pun ada di sana sedang membaca. Saat Umi akan mengangkat dan menggendongmu, kakek mengatakan, “Coba diperiksa, apakah ada sesuatu yang mengganggunya sehingga ia tiba-tiba menangis? Apakah si bayi lapar, ngompol, ataukah kemungkinan digigit serangga? Jika tidak ada penyebabnya, biarkan saja. Ia perlu belajar mengatasi masalahnya sendiri.” Duh, masih orok saja, Engkau sudah diajari mengatasi masalah sendiri. Hehehe… .
Teori tentang perkembangan dan pengasuhan terus mengalami pergerakan dan perubahan, baik dari disiplin ilmu psikologi, ilmu kedokteran, maupun ilmu-ilmu lain yang terkait dengannya. Apa yang dianggap baik dan tepat hari ini belum tentu akan berlaku selamanya. Olehnya itu sangatlah penting mengikuti perkembangan dunia ilmu pengetahuan serta kemajuan sains dan teknologi.
Hari ini Engkau telah bertumbuh dan berkembang semakin memasuki alam kedewasaan. Pahit-manis perjalananmu menjadi catatan pembelajaran bagi kami. Kami belajar dan ditempa menjadi orangtua yang lebih baik dari waktu ke waktu lewat kehadiranmu. Bahkan ada kalanya Engkau yang balik mengajari kami tentang sisi-sisi lain kehidupan manusia yang tidak terjangkau dan tidak terpikirkan sebelumnya. Tentang baik dan buruk, benar dan salah, dan berbagai dikotomi lainnya.
Kini kita telah tiba pada sebuah relasi yang tidak lagi dibingkai oleh norma-norma keharusan dan kewajiban. Melainkan sebuah jalinan perasaan kasih dan sayang yang tidak dibatasi oleh sekat apa pun. Saban hari, manakala rasa letih melanda, masing-masing dari kita memiliki sebuah bahasa isyarat yang tak lagi dibatasi kata-kata. Saling memahami dan memaklumi tanpa aba-aba karena kita telah tiba pada sebuah titik kesepemahaman yang tak perlu penjelasan.
Engkau dan kami adalah cerminan satu wajah yang akan saling menyerupai bukan karena adanya unsur biologis, namun disebabkan oleh kuatnya ikatan batin yang selamanya akan kita asah dan jalinkan kuat. Menerima keberadaanmu dulu, hari ini, dan masa yang akan datang jadi misi besar kami. Karena Engkau adalah putri kami. Titik.
Pegiat literasi dan parenting di Paradigma Institute. Telah menulis buku “Dari Rumah untuk Dunia” (2013) dan “Metamorfosis Ibu” (2018).