Saya membuat tulisan ini dalam rangka memenuhi permintaan beberapa teman ibu-ibu yang penasaran soal cara atau metode yang sebaiknya digunakan dalam mengajari anak-anak soal ibadah dan berbenah. Dua aktivitas yang setiap hari bahkan setiap waktu kita semua lakukan secara bersama dengan seluruh anggota keluarga, utamanya anak-anak. Sedemikian besar harapan dan keinginan para orangtua pada anak-anaknya, sehingga naluri mengajarnya pun begitu menggebu-gebu. Tanpa sempat lagi memperhatikan medan garapannya, seperti bagaimana kondisi anak, wataknya, tipe kepribadiannya, juga kesiapannya dalam menerima semua ilmu tersebut.
Pertama kali yang perlu dipersiapkan adalah diri kita terlebih dulu sebagai figur penyampai pesan yang akan menjadi model dan siap untuk ditiru nantinya oleh anak-anak. Tanamkan dan jika perlu paksa diri untuk mulai melakukannya di awal misi tersebut akan dijanlankan. Contohnya menyuruh atau mengajari anak salat, usia berapa pun mereka, pastinya mereka akan melihat baru mulai mengikuti. Jika tidak, maka perintah itu hanya akan berlalu begitu saja, bagaikan angin yang berembus kemudian pergi menjauh.
Untuk poin ini, saya yakin banyak yang sepakat dengan prinsip ini. Dengan melihat contoh langsung, kata-kata akan menjadi lebih irit. Orangtua cukup mengajak, “Yuk, Nak, kita salat.” Maka mereka dengan mudah akan mengikuti.
Ada kemungkinan muncul penolakan atau penundaan di awal, namun jika mereka melihat keseharian orang dewasa di sekitarnya melakukannya minimal lima kali dalam sehari, maka lambat laun kesemuanya itu akan membentuk program baru dalam otak mereka. Hal penting lainnya adalah hindari menggunakan cara-cara keras baik secara verbal maupun secara fisik. Dalam teladan perilaku, kita dapat mengambil contoh dari kehidupan Rasulullah saw. Seperti yang saya kutip dari buku “Nak, Yuk Shalat” karangan Sa’diah Lanre Said, “Diriwayatkan oleh Bukhari dalam sebuah hadits dalam Al-adab Al-Mufrad, “Hendaklah engkau bersikap murah hati dan jauhilah kekerasan dan kekejian.” Diriwayatkan pula dari Abu Musa Al-Asy’ari bahwa Rasulullah saw, mengutus Abu Musa dan Mu’adz ke Yaman. Beliau lalu bersabda kepada mereka, “Berilah kemudahan dan janganlah mempersulit dan berilah pengajaran janganlah membuat lari.”
Jika Rasulullah saw melakukan dan mencontohkannya dengan cara yang sangat santun, mengapa kita tidak? Apakah metode kita lebih baik atau lebih efektif dari beliau? Semoga bukan karena ini penyebabnya. Boleh jadi juga karena inilah satu-satunya cara yang kita ketahui sejak kecil. Karena seperti itulah orangtua kita dulu mengajarkannya. Jika ini yang menjadi sebabnya, maka kita semua perlu sesegera mungkin belajar dan mencari tahu metode yang tepat, yang berbeda dengan yang diwariskan oleh orangtua kita sebelumnya.
Dan apabila kita belum mengetahui banyak hal seputar konsep dan metode pengasuhan yang efektif karena disebabkan oleh banyak faktor, maka hal penting dan utama yang perlu kita ketahui, tanamkan dalam pikiran, serta sadari sedalam-dalamnya, yakni berlakulah lemah-lembut dan penuh kasih-sayang dalam berinteraksi dengan anak-anak. Mengapa? Karena jiwa anak-anak masih sangat rapuh dan rentan, namun di sisi lain mampu menyimpan ingatan dengan sangat kuat dan dalam jangka panjang. Disebabkan besarnya dominasi pikiran bawah sadar dalam struktur otak mereka. Olehnya itu sangatlah penting untuk menanamkan hal-hal baik secara benar sejak dini.
Sebagaimana ibadah, dalam berbenah pun sangat penting memperlihatkan teladan terlebih dulu. Menyuruh anak merapikan tempat tidur dan kamarnya di pagi hari, dalam kondisi kamar dan tempat tidur kita sendiri sebagai orangtua masih berantakan, adalah hal yang muskil. Mungkin saja anak akan bergerak melakukannya, namun dalam kondisi keterpaksaan atau ketakutan. Bukan timbul dari kesadaran yang berasal dari dalam. Jika orangtua memahami cara bekerjanya salah satu hukum alam ini, maka kita semua akan jauh lebih mudah dalam menjalankan tugas keayahbundaan masing-masing. Hal yang sama berlaku untuk setiap kegiatan berbenah ataupun mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya.
Mengetahui peta masalah untuk setiap kasus yang muncul menjadi kunci dalam proses penyelesaiannya. Apakah masalah itu ada pada orang yang melakukannya, kondisi medan garapan dan jenis pekerjaannya, ataukah pada cara melakukannya. Dengan terbiasa melakukan evaluasi dan pengamatan seperti ini, kita pun akan terlatih mengenali dengan tepat penyebab munculnya suatu masalah. Sehingga dapat menangani setiap persoalan yang timbul serta mengambil langkah pemecahan yang tepat pula.
Sebuah contoh kasus yang kerap terjadi di tengah-tengah kita. Umumnya kita semua pernah mengalami masa kecil atau masa remaja yang ketika disuruh melakukan pekerjaan tertentu, kita tidak segera bergerak melakukannya. Entah dengan cara menolak terang-terangan dan ekstrem, berkata “tidak mau” ataukah menolak secara halus dengan mengatakan, “nanti dulu, saya lagi main”, dan seterusnya. Lalu yang terjadi, orangtua pun mulai berbicara sendiri alias mengomel melihat kelakuan kita yang seperti itu. Selanjutnya, melihat sikap orangtua seperti itu, tindakan kita adalah berusaha mengambil alih pekerjaan tersebut, ataukah yang lebih fatal, membiarkan orangtua kita melakukannya sampai selesai. Masing-masing kita memiliki kondisi lingkungan internal keluarga yang berbeda-beda.
Nah, jika kita memiliki pilihan pengetahuan terkait metode atau cara menangani kondisi anak seperti itu, maka bersyukurlah. Itu berarti kita terselamatkan. Tetapi jika tidak, maka secara otomatis kondisi dan model penanganan yang orangtua lakukan tersebut pada masa kita kecil, akan kembali kita ulang tanpa sadar pada usia dewasa, saat giliran kita menjadi orangtua.
Tugas kita sekarang, adalah memutus rantai yang tidak memiliki ujung pangkal tersebut. Caranya adalah dengan BELAJAR.