Empat Belas Ribu Empat Ratus Detik Lebih

Tas selempang berisi laptop dan sebuah buku ketinggalan di mobil angkutan umum. Untungnya, sopir mobil tersebut saya kenal. Maklum saja, saya sudah berlangganan cukup lama. Lebih dari lima tahun. Ini hanya salah satu mobil langganan. Paling tidak, ada sembilan sopir yang siap saya kontak, tatkala akan melakukan perjalanan dari Makassar ke Bantaeng atau sebaliknya. Bergantung  waktu yang saya akan pilih.

Kali ini, saya berangkat siang dari Bantaeng ke Makassar.  Sopir menjemput saya sekitar pukul 15.14 Wita. Saya kebagian tempat duduk paling belakang. Satu resiko dari telat kontak sopir, sehingga penumpang lain sudah menempati kursi depan dan tengah. Mobil tidak segera berangkat. Ada beberapa penumpang lainnya dijemput.

Posisi tempat duduk paling belakang, pojok kanan pula, ada plus minusnya. Saya pun selalu berusaha menikmatinya. Kondisi semacam ini hanya pengulangan dari ratusan perjalanan saya pergi-pulang, Makassar-Bantaeng. Naiklah penumpang pertama, tapi menunggu agak lama. Entah apa ritus pemberangkatan dari seorang gadis anak kuliahan. Mobil baru saja berangkat, eh ada yang ketinggalan. Mobil balik lagi ke rumahnya. Segera saja ada aura kurang nyaman saya rasakan. Semacam kesal, tapi teratasi dengan adem.

Penumpang berikutnya, pasutri dengan seorang putranya, masih kecil dan berpotensi rewel di perjalanan. Sebelum naik di mobil, kami harus menunggu lebih lama dari penumpang sebelumnya. Pasalnya, ketika sopir mengontak calon penumpang, si istri memberi tahu, suaminya pergi salat Asar  berjemaah di masjid. Saya sudah mempersiapkan diri dalam larutan penantian ini, sebab toa masjid baru saja mulai melantangkan azan.

Setelah pasutri itu berjalan ke mobil, dari mulut lorong, mata saya tertuju pada lelaki paru baya. Suami dari ibu muda dan ayah dari anak kecil itu. Penampilannya menunjukkan, ia seorang pemburu pahala salat berjemaah. Pastilah beda dengan saya dan sopir, dua lelaki tak terlalu perhatian pada janji pahala berlipat dari salat berjemaah. Soalnya, saya menjamak waktu Duhur dan Asar, sebab perkiraan saya, mobil akan berangkat seperti biasa, sekitar pukul empat belas lewat sedikit. Sedang si Sopir, pasti belum tunaikan Asar.

Arkian, kegiatan menjemput calon penumpang masih menyisakan satu. Tampaknya, penumpang tipe ini lebih siap. Kala sopir mengontak, ia sudah berkemas. Betul saja adanya. Tidak butuh waktu lama. Seorang perempuan, usianya mungkin lebih tua dari ibu muda sebelumnya. Tuntas sudah aktivitas jemput-jemput penumpang. Durasi menjemput penumpang, memangsa waktu kurang lebih satu jam. Total penumpang lima orang dewasa dan seorang bocah. Dua lelaki dan tiga perempuan.

Mobil meninggalkan Kota Bantaeng, hampir pukul enam belas lewat lima belas menit. Di perbatasan kota, ada seorang lelaki, lebih muda dari saya berdiri di pinggir jalan. Si sopir meminggirkan mobil. Sepintas terjadi percakapan. Rupanya penumpang tujuan Makassar. Duduklah ia di samping kiri saya. Setiba di Kota Jeneponto, ada lagi tambahan penumpang. Seorang gadis, nyaris seusia dengan penumpang yang duduk di kursi paling depan. Dari gaya bepergiannya, saya menebaknya sebagai seorang mahasiswi. Ia duduk paling kiri di kursi belakang.

Selanjutnya, mobil melaju dengan kecepatan terukur. Tidak lambat, pun tak ugal-ugalan. Kungai nakke jeka sopirka. Saya suka sopir sepeti ini. Tipe sopir seperti begini gue bingits. Pantas dijadikan sopir langganan permanen. Apalagi, ketika perjalanan memasuki Kota Takalar, ia menghentikan mobilnya, meminggirkan tepat di depan salah satu masjid. Saya pikir ia mau kencing. Allamak, dia singgah salat Asar.

Segera saja pikiran takjub saya menyembul. Ada minda buat menabalkan pendapat, sopir ini telah mengedepankan kesalehan sosial lalu menunaikan kesalehan individual. Sesudah menuntaskan sekotah urusan penumpangnya, barulah ia salat. Jujur, saya kagum padanya. Makin kuatlah saya untuk menjadikannya sopir langganan permanen.

Anehnya, ketika si sopir menunaikan kesalehan individualnya, salat Asar, ada dua penumpang ketus padanya. Herannya dua lelaki selain saya. Lelaki paru baya, ayah si bocah dan penumpang samping kiri saya. Si ayah nyelutuk dengan kata-kata tak elok saya dengar, “Kenapa baru salat.” Lain lagi dengan lelaki satunya, ia segera mau turun, bermaksud pindah mobil, sebab ia berburu waktu. Saya mencegahnya, setelah ia bertanya akan singgah lagi makan atau keperluan lainnya. Ia tidak jadi turun.

Usai sopir tunaikan Asar, mobil melaju dengan kecepatan stabil. Tetiba saja si bocah mulai rewel. Ia mau makan somai. Sepanjang jalan merengek, membikin penumpang lain tak nyaman, termasuk kedua orangtuanya. Si ibu bocah lalu meminta kepada sopir agar berhenti jika ada penjual somai, demi memenuhi keinginan bocahnya.  Setelah sekian menit, berhentilah mobil buat beli somai.

Sialnya, mobil berhenti tak jauh dari salah satu toko swalayan. Turunlah dua emak, masuk ke toko swalayan. Anda tahu bila emak-emak bertemu toko swalayan bukan? Tuntas berbelanja, keduanya lanjut beli somai gerobak. Bertusuk-tusuk ia beli. Saya mah berusaha menikmati laku emak-emak itu, tapi penumpang samping kiri saya tak tahan. Sikap berburu waktu kambuh lagi. Setiap ia menengok ke saya, hanya senyum mengulum sebagai balasan. Saya hanya berpikir, lelaki satu yang ketus pada sopir saat berhenti salat, sikapnya sudah dibayar kontan oleh ulah bocahnya.

Pukul dua puluh lewat tujuh menit, mobil tiba di Makassar. Sebelum masuk Terminal Mallengkeri, satu terminal antar kota di bagian selatan Kota Makassar, tiga orang penumpang turun. Tersisa saya, pasutri dan bocahnya, serta penumpang kursi depan yang akan diantar ke tujuan masing-masing. Sebelum mereka turun, saya lebih dulu meminta turun, tidak harus diantar sampai ke mukim. Biar saya berjalan kaki saja. Toh jaraknya tidak seberapa jauh. Masih lebih jauh, manakala saya nyeker keliling Kota Bantaeng.

Kala saya berjalan kaki itulah, aneka simpulan perjalanan menggado-gado menghidu saya. Terutama beragamnya karakter penumpang. Dari yang cerewet hingga yang tak bicara sama sekali selama perjalanan. Pun yang hanya memikirkan diri sendiri, abai pada nasib penumpang lain. Saya lalu teringat dengan percakapan dengan pasangan beberapa waktu lalu, tentang warisan kebijaksanaan kuno, tentang sifat-sifat api, air, angin, dan tanah yang senantiasa menubuh pada seseorang.

Pada laku-laku dari para penumpang, sepertinya memverifikasi percakapan tersebut. Ada yang apinya muncul, dua orang semirip angin, lainnya memilih laiknya air. Adapun saya dan sopir layaknya seperti tanah, menerima apa adanya. Pembelajaran penting akan sifat-sifat  api yang membakar, air mengalir, angin nirtampak tapi adanya terasa, dan tanah melaku seadanya, sekotahnya tuntas dalam waktu empat ribu empat ratus detik lebih, atau dua ratus empat puluh menit lebih. Singkatnya, empat jam lebih. Padahal, durasi perjalanan bila normal, biasanya tuntas paling lama tiga jam saja.

Ketika masih khusyuk dalam renungan perjalanan di saat berjalan kaki, ada kegariban menerungku. Apa yang kurang dari bawaan saya? Ransel sudah di punggung. Ternyata tas selempang, berisi laptop dan sebuah buku berjudul, A Philosophy of Walking, anggitan Frederic Gros, ketinggalan di mobil. Tepatnya, terselip di pojok kanan kursi belakang. Segera saja saya kontak sopir langganan, menguritakan perkara ketertinggalan tas. Ia memberi jawaban kepastian akan amannya barang mewah saya itu. Dan, saya pun menjemputnya di Terminal Mallengkeri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *