Kami mencintai buku-buku melebihi barang-barang lainnya. Seperti pakaian atau perabot rumah, ada yang sudah usang dan berdebu dimakan usia. Tetapi bukan soal tampilan atau penampakannya, melainkan seberapa bermanfaat kandungan isi di dalamnya. Hari ini mendadak muncul keinginan untuk merapikan semua keberantakan yang ditimbulkan oleh situasi banjir beberapa waktu lalu. Setelah berminggu-minggu mereka bertumpukan saling tindih di atas meja panjang di tengah ruangan. Belum lagi yang diletakkan sekenanya dengan terburu-buru saat air bah perlahan mulai mengisi ruang-ruang dalam rumah dan semakin tinggi. Tangan-tangan kami pun bergerak cepat tanpa sadar memindahkan ke mana saja ada celah terlihat.
Hingga kemudian tumpukan buku-buku tersebut rupanya mengundang benda-benda lain untuk turut berkumpul dan melakukan reuni di sana. Awalnya selembar sejadah yang menumpang parkir sejenak setelah seseorang selesai menggunakannya. Tetapi nyatanya ia mendekam berhari-hari di sana. Tidak lama kemudian, menyusul kedatangan kardus kosong, kertas-kertas dan buku tulis bekas, bahkan beberapa lembar pakaian yang akan disumbangkan pun akhirnya berlabuh di meja panjang itu. Jika dibiarkan, longgokan itu akan semakin tinggi dan tidak karuan benda-benda yang berkumpul di atasnya.
Bersyukur saya masih dikaruniai sebuah kesadaran berbenah yang muncul saat-saat diperlukan. Meskipun ia tidak hadir setiap waktu karena beberapa agenda yang perlu diprioritaskan pengerjaannya. Tetapi setidaknya pada usia sedewasa ini saya merasa sudah memiliki sebuah alarm pengingat yang serta-merta memunculkan dorongan untuk melakukan aksi bersih-bersih manakala melihat lingkungan sekitar dalam kondisi acakadut (berantakan, red). Bukan hanya dalam lingkungan rumah dan lingkungan sekitar, tapi area aula masjid, atau sekali waktu pernah pula di teras ruang UGD sebuah rumah sakit. Beberapa orang sempat menatap heran melihat saya mengepel lorong tempat orang lalu-lalang. Saya menebak pikiran mereka, mungkin karena ada petugas yang akan membersihkan area tersebut, sehingga tidak perlu keluarga pasien yang melakukannya. Biarkan sajalah, meringankan pekerjaan orang lain toh adalah kebaikan.
Sesungguhnya, ada sekelumit kisah di balik lahirnya kebiasaan senang merapikan ini. Pertama, ibu kami adalah seorang pembersih. Dugaan saya, semua orangtua terutama ibu-ibu generasi baby boomer umumnya senang berbenah. Karena dari beberapa cerita teman pun seperti itu. Sialnya, dari tujuh bersaudara, saya termasuk salah satu produk gagalnya mereka. Dua di antara kami berhasil meniru jejak ibu dalam urusan yang satu ini. Sisanya standar saja, bahkan ada yang cenderung berkebalikan dari apa yang diharapkan oleh ibu selama ini. Yang terjadi bertahun-tahun kemudian, bahkan hingga pada masa memiliki keluarga sendiri, terkadang kami sering main kucing-kucingan setiap kali mengetahui ibu akan berkunjung ke kediaman kami. Pembaca pun tahu ujung ceritanya, rumah pastinya dalam keadaan bersih, kinclong, dan harum mewangi. Yang jadi persoalan jika kedatangan beliau mendadak tanpa permberitahuan sebelumnya. Nah lho…
Hal lain yang berhasil mendorong saya menyenangi kerapihan, setelah membaca sebuah buku yang berjudul The Life-Changing Magic of Tyding Up Seni Beres-Beres dan Merapikan ala Jepang, yang ditulis oleh Marie Kondo. Di dalamnya menceritakan bukan hanya mengenai cara-cara jitu merapikan rumah, tetapi diajari pula teknik-teknik baru bagaimana mengelompokkan serta melakukan percakapan batin dengan benda-benda tersebut. Menurutnya, setiap benda memiliki rumahnya masing-masing. Menariknya, ia sudah menyenangi kegiatan berbenah ini sejak usianya masih sembilan tahun. Hampir sama dengan usia ibu saya yang sudah pandai melakukan pekerjaan rumah tangga dan bersih-bersih pada saat masih duduk di bangku pertengahan Sekolah Dasar.
Satu hal yang menjadi kekurangan beliau adalah, kebersihan dan kerapihan masih menjadi tujuan utamanya, sehingga kegiatan bersih-bersih ini terkadang masih dilakukan dalam situasi yang kurang rileks. Saya pun mencoba memadukannya dengan sesekali menyetel musik riang saat sedang melakukannya bersama anak-anak. Sehingga mereka mampu mengasosiasikan setiap pekerjaan rumah dengan kegembiraan, walaupun mungkin terasa berat.
Setiap benda memiliki rumah
“Perubahan kecil bisa mengubah hidup kita seluruhnya.” Kutipan dari Marie Kondo ini dapat menginspirasi siapa pun yang menginginkan perubahan dalam hidupnya. Dimulai dari hal-hal kecil sehari-hari. Dengan menerapkan metode KonMori (nama metodenya, red) ini kita jadi terbiasa dan cepat bisa menentukan barang mana yang ingin disimpan atau dibuang dengan joy atau kebahagiaan sebagai penentunya. Sebagaimana slogannya, “Does it sparks joy?”
Tetapi sebelum mulai melakukan kegiatan berbenah ini, kita diajak untuk melakukan refleksi sejenak. Yakni mengajukan pertanyaan pada diri sendiri, seperti, apa tujuanmu membersihkan rumah? Saat pulang ke rumah, apa yang pertama kali kamu lakukan? Dan seperti apa kondisi rumah ideal menurutmu?
Realitanya kita memiliki rumah yang berbeda dengan kondisi rumah orang lain, atau seperti yang diceritakan dalam buku. Mungkin ruang dalam rumah kita hanya dua atau tiga saja, sehingga tidak memungkinkan untuk menata barang dengan leluasa. Nah, di sinilah letak tantangannya. Saya sepakat dengan metode KonMori dalam melakukan kegiatan beberes ini. Yakni, pertama, setiap benda seharusnya punya tempat atau rumahnya masing-masing. Bukannya dipindah kesana kemari tidak jelas penempatannya. Jika kejadian ini bolak-balik terjadi berulang, itu berarti ia sudah harus keluar dari rumah, menemui tuannya yang baru. Dengan kata lain, ia diberikan kepada yang lebih membutuhkan.
Kedua, menyimpan atau menumpuk benda dalam satu kotak atau wadah yang tidak terlihat, sama saja dengan menganggap benda tersebut tidak ada. Kecuali jika kita menuliskan label di luar kotak tersebut yang berisi daftar benda yang ada di dalamnya. Sehingga kita akan dengan cepat dan mudah menemukan barang-barang tersebut saat dibutuhkan.
Salam bersih-bersih.
Pegiat literasi dan parenting di Paradigma Institute. Telah menulis buku “Dari Rumah untuk Dunia” (2013) dan “Metamorfosis Ibu” (2018).