Sejak pagi hujan turun deras sekali. Walaupun diselingi jeda sesekali, namun kekhawatiran akan datangnya banjir tetap menghinggapi. Apalagi sehari sebelumnya beredar info perihal cuaca ekstrem yang akan menjamah beberapa wilayah di Sulawesi Selatan. Pemukiman kami termasuk di antaranya. Titik-titik banjir bukannya semakin berkurang, justru makin bertambah dari tahun ke tahun. Hunian yang telah kami tempati selama hampir tiga puluh tahun, mulai merasakan dampak buruk tata kota dan drainase dalam sepuluh tahun terakhir. Bangunan-bangunan baru tampak beradu dengan waktu menyebar tak terkendali mengisi tanah-tanah kosong yang menjadi daerah resapan banjir selama ini. Seolah rawa-rawa dan tanah lapang hijau nanti berdaya guna jika dicokoli bangunan di atasnya.
Benar saja, sore ini hujan yang mulai alot berjam-jam lalu, perlahan menghantarkan luapan air masuk ke pemukiman warga yang berposisi rendah. Seberapa kuat manusia mampu membendungnya, hukum alam tetap berlaku. Aliran air akan mencari jalan untuk mengisi tempat yang lebih rendah. Hunian kami jika dibandingkan rumah kanan-kiri sudah tertinggal beberapa jengkal. Bahkan jalan umum yang membentang di depan rumah pun sudah dinaikkan oleh pemerintah setempat tanpa pertimbangan yang masuk akal. Jalan ditinggikan meninggalkan rumah-rumah dalam posisi lebih rendah. Akibatnya, jalanan yang fungsinya hanya sebagai lintasan kendaraan sesaat tidak lagi tergenang setiap kali musim hujan tiba, namun warga yang menghuni rumah-rumah di kedua sisinya, harus menerima akibatnya.
Entah apa yang menjadi dasar ditinggikannya beberapa ruas jalan di area pemukiman warga. Apalagi menyisakan kekhawatiran saban-saban kendaraan roda empat saling berpapasan. Yang mana sebelum dinaikkan, dua kendaraan yang bertemu dapat melenggang dengan leluasa. Tanpa khawatir saling bersenggolan. Tahun-tahun belakangan ini, situasinya seringkali menimbulkan kekhawatiran. Beberapa kali kejadian, ban mobil itu meleset keluar jalan, meninggalkan jalur, karena berusaha menghindari serempetan kendaraan yang datang dari arah depan. Beberapa berhasil melalui situasi mendebarkan tersebut dengan damai, namun tidak sedikit yang bertabur gerundelan, saling memaki bermenit-menit tanpa tanda-tanda ada yang mau mengalah.
Dari selentingan kabar yang tersiar, katanya jalanan yang diperbaiki tersebut belum benar-benar selesai. Masih menunggu pengerjaan lanjutannya. Tetapi berita itu sudah terdengar beberapa tahun lalu. Hingga hari ini belum tampak tindak lanjutnya. Ada pula yang bilang, ia hanyalah proyek yang bertujuan menghabiskan anggaran saja. Mengingat kala itu akhir tahun dan sudah masuk musim penghujan. Permukaan jalan yang sudah dibeton dan tidak lagi tergenang, sesaat tampaknya cukup menggembirakan para penggunanya. Sampai nanti muncul persoalan-persoalan di atas.
Hari ini entah sudah banjir yang ke berapa kalinya, sudah tidak penting lagi angkanya. Peristiwa ini sekadar mengembalikan ingatan beberapa tahun silam, ketika pertama kali air genangan itu perlahan mengusik tidur nyenyak seisi rumah jelang subuh hari. Anak nomor tiga yang usianya masih beberapa tahun, senang tidur melantai beralaskan kasur lipat. Pagi itu tiba-tiba merasakan punggungnya basah tanpa mengetahui penyebabnya. Seisi rumah pun kaget, tidak menduga serangan air bah yang masuk tanpa permisi. Rupanya kenyamanan belasan tahun tanpa sekali pun pernah merasakan situasi banjir, perlahan berganti rasa.
Setiap peristiwa terlebih musibah yang datangnya pertama kali, tanpa persiapan, sudah pasti akan menimbulkan kepanikan. Demikian pula yang menimpa toko kami kala itu. Buku-buku yang banyak tertumpuk di lantai karena rak penyimpanan yang terbatas, kami lemparkan sekenanya ke atas meja, tanpa peduli lagi dengan bentuk dan susunannya. Yang terpenting semua benda-benda berbahan kertas tersebut—musuhnya hanya dua, api dan air—bisa segera berpindah ke tempat lebih tinggi. Alhasil semua buku selamat, hanya ada satu dua yang terpercik air.
Dari sekian tahun setelahnya, pemukiman kami nyaris setiap tahun disambangi air bah. Hanya ada satu tahun di antaranya yang bebas dari kunjungan rutin ini. Saya lupa tepatnya tahun berapa. Rutinitas yang berulang setiap tahun. tersebut perlahan mengajari kami untuk menyesuaikan diri dengannya. Semisal dalam menyimpan buku-buku, benda yang dominan dijumpai di dalam rumah, terutama di area toko buku kami yang bersebelahan ruangannya dengan rumah tinggal. Rak bagian bawah sudah bertahun-tahun dikosongkan. Sehingga fungsinya hanya sebagai tempat menyimpan bangku-bangku plastik dan meja lipat kayu, yang sesekali digunakan sebagai meja mengaji anak-anak santri.
Pernah pula sekali waktu ketika bertepatan hujuan deras yang cukup lama, air laut pun pasang. Air bah yang bertandang pada bulan-bulan tertentu setiap tahunnya, kala itu mencapai tinggi permukaan melebihi kebiasaan sebelumnya. Kali ini kami hampir kecolongan. Pasalnya, buku-buku koleksi pribadi yang letaknya berada di ruang belakang rumah dan berlantai agak tinggi, sempat terabaikan. Karena setiap tiba jadwal kunjungan banjir, ia tidak pernah tersentuh air sedikit pun. Saat itu, di luar dugaan, air dengan mudahnya menggenangi seluruh pojok-pojok lantai rumah. Termasuk buku-buku yang diletakkan di rak bagian bawah ruang perpustakaan keluarga. Sebuah kecerobohan yang kami sesalkan setelahnya. Karena tidak segera mengantisipasi sebelumnya pada saat air mulai menampakkan ketinggian yang tidak wajar.
Berdamai dengan banjir
Dua tahun belakangan ini kami sudah semakin akur dengan si banjir. Tidak ada lagi keluhan, ataupun wajah-wajah merengut menghadapi kedatangannya. Benar kata pepatah alah bisa karena biasa. Rupanya ia tidak hanya berlaku di dunia kerja yang menuntut keahlian, melainkan juga dapat dipraktikkan pada aspek lain kehidupan.
Mengetahui bahwa cara untuk keluar dari kemelut tahunan ini adalah dengan melakukan perbaikan pada bentuk dan fisik rumah, memunculkan kesadaran untuk tidak mengutuk apa pun yang tidak berjalan sesuai keinginan. Karena itu berarti melawan sunnatullah. Berharap rumah tidak dihampiri banjir, sementara posisinya berada di tempat rendah, sungguh sebuah kedunguan. Bersungut-sungut dan mengeluh hanya akan memboroskan energi dan semakin mengundang hadirnya situasi serupa. Energi negatif akan menarik energi negatif pula. Manakala mereka berkumpul dalam satu wadah, bisa dibayangkan akan semakin runyamnya suasana. Setiap orang akan mudah tersulut walaupun hanya oleh percikan api kecil saja.
Lepas magrib hari ini, kumpulan air yang bersekutu mendiami sebagian lantai rumah kami, perlahan-lahan bergerak pergi, menyurut kembali ke perut bumi.
Sebelum air mulai masuk sore tadi, di grup whatsapp keluarga saya sempat berpose dengan foto diri yang sedang duduk memakai sepatu bot di tengah lantai toko. Dibubuhi keterangan, menanti kunjungan banjir, yang ditutup dengan emoji wajah tersenyum. Kali ini kedatangan banjir hanya sesaat, itu pun tidak menyeluruh menyapu seisi rumah. Ia hanya menghampiri pojok-pojok tertentu saja. Rupanya ia hanya ingin menyapa dan menguji kesiapan penghuninya. Mungkin juga karena kami telah siap fisik dan mental sebelumnya. Susunan perabot dan buku-buku pun tetap rapi pada tempatnya. Tidak tampak tumpukan yang mengganggu pandangan. Kami telah menjadi tuan rumah yang baik baginya.
Pegiat literasi dan parenting di Paradigma Institute. Telah menulis buku “Dari Rumah untuk Dunia” (2013) dan “Metamorfosis Ibu” (2018).