Apakah kalian pernah menonton film Beauty and The Beast? Atau tahukah tokoh legenda fiksi barat Don Quixote karya Miguel de Cervantes? Mungkin juga masih ingatkah akhir kisah cinta dari Henry dan Catherine dari roman Hemingway; A Farewell to Arms?
Bagi para penikmat kisah percintaan pertanyaan tersebut mungkin mampu dijawab dengan mudah. Tetapi bagi para awam mungkin akan membikin pening kepala. Namun ketiga pertanyaan tersebut dapat terjawab sekaligus apabila mau membaca Dawuk Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu karya Novelis Indonesia, Mahfud Ikhwan.
Jawaban tersebut terdapat dari lakon dan alur yang ada dalam novel. Ikutilah kisah cinta yang terjadi antara Mat Dawuk & Inayatun yang terlarang, tragis, menimbulkan tangis, tetapi juga romantis untuk pertanyaan pertama dan ketiga. Dan tentu renungkanlah tokoh Warto Kemplung, si pencerita handal kita untuk jawaban kedua. Di mana ceritanya mampu menyihir orang-orang di warung kopi Bu Siti, seperti Don Quixote menghipnotis Sancho Panza agar mau ikut dalam kelananya.
Berkenalan Dengan Sejarah Lisan
Aku tak melihat sendiri bagaimana pertemuan itu terjadi. Tapi seorang yang sangat tahu peristiwa itu, dan jelas bisa dipercaya, menceritakan padaku. Dan aku akan ceritakan ulang peristiwa itu kepada kalian. Begini… (hlm. 30).
“Mereka tidak membebaskanku. Cuma tak mau repot-repot terkait urusan soal aku,” demikian katanya selepas bebas, langsung kepadaku—percaya syukur, tak percaya ya sudah! (hlm. 135)
Dua kalimat tersebut adalah contoh dari sekian kalimat yang sering diucapkan Warto Kemplung kepada para pendengar kisahnya di warung Bu Siti. Sekaligus upayanya meyakinkan mereka bahwa kisah yang diceritakannya bersifat “istimewa”, tidak dapat ditemukan pada orang lain, bahkan terkesan sungguh-sungguh terjadi dan sebab itu layak mendapatkan secangkir kopi atau rokok gratis.
Kalian pun juga pernah menjumpai hal serupa, ketika sedang mengobrol bersama kawan, dan kawan tersebut bercerita tentang suatu hal yang membuat kalian tertarik hingga mempercayainya, meski cerita kawan kalian tersebut berasal dari kawannya juga.
Tradisi berkomunikasi lewat lisan ke lisan sering kita jumpai pada kehidupan sosial masyarakat kita. Namun apabila digunakan sebagai bukti sejarah, tradisi itu menjadi pengertian dari sejarah lisan. Sejarah lisan dapat digunakan sejarawan untuk membuat kajian tentang suatu hal tentang masa lalu. Menurut Lesley (2018: 46) hal ini dikarenakan sejarah lisan merupakan pelopor semua bukti sejarah yang ada sebelum manusia mengenal percetakan. Sejarah lisan ini semisal dongeng, hikayat, dan lain sebagainya.
Lesley dalam bukunya Afther The Prophet Kisah Lengkap Muasal Perpecahan Sunni Syiah, menuturkan bahwa para sejarawan islam awal, seperti Ibnu Ishaq dan Abu Jafar al-Tabari, dalam membuat kajian sejarahnya bersumber dengan bukti sejarah lisan itu sendiri. Para sejarawan awal itu berkeliling mengunjungi jazirah arab, mendengar kisah turun temurun yang dituturkan penduduk setempat, mengumpulkannya, menurutkan kisahnya, dan terakhir mencatatnya dengan hati-hati (2018: 46).
Hal ini serupa -meski tak sama- dengan apa yang dilakukan oleh Mustofa Abdul Wahab yang seorang wartawan. Ia yang dengan takdzim mendengarkan cerita Warto Kemplung di warung kopi Bu Siti, kemudian merasa tertarik dengan kisah antara Mat dan Inayatun. Mungkin sang wartawan menganggapnya cerita Warto adalah Urban legend dan patut dilestraikan. Ia kemudian menjadikannya sebagai bahan cerita bersambung pada medianya. Dengan gubahan sekadarnya, cerita itu akhirnya laku keras.
Meskipun begitu bukti sejarah lisan, karena sifatnya sangat terbuka, rentan dengan pemalsuan. Setiap orang dapat menambah dan mengurang ceritanya sesuai kehendaknya sendiri. Karena itu sejarah lisan perlu diverifikasi atau setidaknya, demi menjaga kemurniannya, dituangkan dalam bentuk catatan.
Desa Yang Berubah: Dari Rumah Setinggi Jati Hingga Pesona Perempuan Desa.
Mahfud Ikhwan memang menjadikan kehidupan desa sebagai segala unsur intrinsik dalam novel atau cerpennya. Dalam kumpulan memoarnya: Cerita, Bualan, Kebenaran, Mahfud mengakui bahwa dirinya memiliki kecintaan yang lebih terhadap kampung halaman. Meski telah lama menjadi perantauan, ia dapat mengingat dengan jelas pengalaman yang pernah ia rasakan di kampung halaman. Dalam menarasikan desa, Mahfud menghindari kesan kehidupan desa yang tenang dan tentram, yang mana hal ini sering kita lihat dalam sinetron atau novel lainnya. Ia melihat desa secara realistis. Kehidupan desa sama halnya dengan kehidupan kota, selalu bergerak, selalu dinamis. Sehingga desa yang bergerak ini menandakan bahwa desa mengikuti arus kehidupan. Baik itu nantinya makin baik atau makin buruk. (2020: 22-24).
Dalam Dawuk kalian dapat menemukannya. Mahfud memberikan wajah desa pada masa sekarang yang mungkin membuat pembaca tersenyum bangga, atau pandangan geli yang dibersamai dengan hasrat untuk mencela. Ambil contoh bagaimana perihal perubahan rumah penduduk Desa Rumbu Randu dulu dengan saat ini. Dari yang sederhana dan apa adanya menjadi rumit tetapi indah.
Rumah-rumah limas dengan tiyang kayu jati di empat penjuru, dinding dari gedek bambu, dan ruangan dalam yang dengan sangat sederhana biasanya hanya bisa dibagi dua, kini sudah tak tersisa. Bikin masuk angin, kata yang tua-tua. Ketinggalan zaman, kata yang lebih muda. Apa nanti kata tetangga, kata para istri……Hasilnya adalah rumah rumah megah yang lebih tinggi dari pohon jati, lebih luas dari lahan hutan yang mereka garap, dengan tatanan ruangan yang sama rumitnya dengan sulur-sulur gadung, dengan cat dinding made-in japan dalam warna-warna terang, dengan kusen-kusen-kusen yang miring kanan miring kiri (hlm139-140).
Selain itu, Mahfud juga memberikan hal yang mungkin biasa pada sinetron cinta, terkait pesona perempuan desa meski dengan penghayatan yang lebih dalam. Pesona yang mungkin mampu membuat pembaca pria tersenyum malu, serta tidak kalah dengan indah dengan perempuan kota dan aneka perawatannya. Memang ini subjektif, tapi jika pembaca mengiyakannya maka hal itu dapat dikatakan benar. Dari tokoh Inayatun pesona itu dijelaskan, tentu dengan sudut pandang Warto Kemplung pengkisah utama.
Bahwa ia tak sepolek dulu, berpupur sekadarnya saja, malah sering tak pakai liven, itu sama sekali tak mengurangi pesonanya. Bahkan jika ditangannya terjinjing ikatan kacang panjang atau di punggungnya terpanggul gulungan daun pisang atau jati, ia malah dirasa punya pesona yang lebih memabukan. Seperti tuak tua mungkin begitu orang-orang warungan bilang. Malah ada yang lebih jauh bilang, kalau muncul dalam keadaan seperti itu, ia seperti peri penunggu hutan berbusana kehijauan yang kesasar di perkampungan dan tak bisa pulang karena kesiangan (hlm. 50-51).
Membaca Dawuk Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu, novel yang memenangkan Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2017, selain mengajak kita pada kehidupan desa yang sekarang, juga akan membawa kita ke hal lain, mungkin sejarah, agama, ilmu kanuragan, atau budaya. Seperti Warto Kemplung yang bercerita ini dan itu kepada para pendengarnya.
Judul : Dawuk Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu
Penulis : Mahfud Ikhwan
Penerbit : Marjin Kiri
Cetakan : Cetakan ke-4, Februari 2021
Tebal : vi+182 halaman
ISBN : 978-979-1260-69-5
Domisili di Yogyakarta