Sewindu Undang-Undang Desa

Tepat sewindu undang undang  lahir, sejak lahirnya undang undang desa sudah banyak manfaat yang dirasakan desa, mulai kewenangan dimilikinya, anggaran yang besar, pedampingan, hingga peta jalan (road mapp) pembagunan desa. Ada baiknya saya beberkan saja data kemajuan pembangunan dana desa skala nasional, sebagaimana disampaikan pula Gus Menteri Desa Halim Iskandar dalam perhelantan Sewindu Undang-undang desa di awal tahun 2022. 

Jalan desa sepanjang 308.490 kilometer, jembatan sepanjang 1.583215 meter, pasar desa 12.244 unit, permodalan BUMDesa 42.317 unit kegiatan, embung desa 5.371 unit, irigasi 80.120 unit, penahan tanah 247.686 unit, sarana olahraga 29.210 unit, prasarana air bersih 1.207.423, MCK  443. 884 unit, polindes 14.401 unit, drainase 45.517.578 meter, PAUD 66.430 kegiatan, posyandu 42.007 serta sumur 74.289 unit.

Pada konteks kedaerahan, khususnya Kabupaten Bantaeng, kabupaten yang  letaknya berada di bagian selatan, Sulawesi Selatan,  pun merasa kemanfaatan dana desa yang digelontorkan sejak tahun 2015 . Kabupaten yang memiliki 46 desa, dengan potensi alam yang  melimpah, membuat kabupaten ini, menjadi contoh pengeloaan dana desa. Namun, di balik itu, tentu masih ada hal yang patut dibenahi, misalnya pada persoalan klasik, sekaitan dengan kolaborasi, sinergitas antar lembaga. Persoalan tersebut tersibak, tatkala kami, pedamping desa diundang oleh kepala Inspektorat kabuapten Bantaeng, diawal tahun, di kantornya. 

Sebagai OPD yang diberi tugas oleh negara, mengawasi, mengawal penggunaan dana desa, dianggap penting melakukan komunikasi dengan para pedamping desa, komunikasi ini penting dirawat, sebab, kadang menimbulkan miss persepsi tatkala di antara kami menjalankan tugas dan fungsi masing-masing. Persoalan komunikasi itu terungkap, manakah kepala inspektorat mengundang para pedamping desa di kantornya baru- baru ini. Sebagai pedamping di desa yang lebih banyak bersentuhan dengan hal-hal teknis pelaksanaan, membabarkan pelbagai polemik, mulai sari teknis pembayaran, pajak, kewenangan, hak dan kewajiban, pengelolaan BUMDesa, pengelolaan kegiatan, dst,. Hal itu disampaikan langsung oleh pedamping desa di hadapan kepala Inspektorat Bantaeng.

Saat menanggapi, tampaknya, kepala kepala Inspektorat memahami betul persoalannya berada pada pola komunikasi, sehingga sinergitas dan kolaborasi antar lembaga kurang maksimal. Menurut Rifai, panggilan akrab beliau, mendakukan pendapatnya, bahwa selama ini lembaga yang dipimpinya senantiasa mengendepankan data dan fakta, itulah yang menjadi paradigma normatif jajarannya bertindak selaku badan pengawas internal pemerintahan, selain itu, beliau juga selalu menjaga keseimbangan/keselarasan  dari seluruh hal apapun yang dikerjakan. 

Sekaitan dengan keseimbangan, lantas saya mengingat buku yang pernah saya daras, yakni Filosofi Teras, anggitan Henry Manampiring. Dalam buku tersebut, yang dimaksud filsafat teras tak lain adalah pahan “Stoisime”. Salasatu prinsip utama Stoisisme adalah bahwa kita harus “hidup selaras alam (in accordance with nature). Alam yang dimaksud, bukan saja lingkungan sekitar, namun menjangkau seluruh alam semesta. Dalam konteks nature dari manusia, manusia yang hidup selaras dengan alam adalah manusia yang hidup sesuai dengan desainnya, yaitu mahluk bernalar, inipula yang membedaknnya dengan binatang. 

Kemudian Stoisisme lebih jauh lagi mengajarkan mengapa kita harus mengunakan nalar. Pertama, jika, kita ingin hidup bahagia, bebas dari emosi negatif, kita harus selaras dengan alam. Kedua, alam memberikan manusia nalar sebagai fitur unik yang membedakannya dari binatang. Ketiga, hidup selaras dengan alam, artinya harus meggunaka nalar, saat kita tidak menggunakanya, kita menjadi tidak berbeda dengan binatang. Kempat, ketika kita tidak menggunakan nalar kita, kita akan rentan merasa tidak bahagia, karena kita tidak selaras lagi dengan alam. Inilah yang dimaksud Stoisme, agar hidup kita selaras dengan alam, yaitu, sebisa mungkin, di setiap hidup, kita tidak kehilangan nalar dan berlaku seperti binatang, yang akhirnya berujung kepada ketidakbahagiaan. 

Kembali pada pokok bahasan tulisan ini, sewindu pemberlakuan Undang-Undang Desa, tentulah waktu yang masih relatif baru. Sejumput pujian dan kritikan mengiringi perjalanannyan, namun salasatu hal yang masih menjadi pekerjaan rumah, ialah pada persoalan sinergitas desa dan supra desa. Seyogianya pemerintah daerah membuat sebuah ekosistem yang mengkanalisasi pola komunikasi, koordinasi, dan koloborasi,  sehingga dengan itu, menjadi ruang interaksi antar pemangku kepentingan untuk membagun sinergitas yang baik.

Pada titik inilah yang merjadi benang merah pertemuan kami dengan kepala Inspektorat Bantaeng, dengan upaya tersebut, setidaknya para pemangku kepentingan dapat melakukan dua hal. Pertama, mengintervensi regulasi. Pada dasarnya, sifat dari regulasi adalah memaksa, contoh sederhannya, jika seseorang menerobos traffic light maka, orang tersebut akan diberi sangsi, berupa tilang, begitu pula halnya regulasi , mestinya, sebelum regulasi itu diberlakukan (memaksa), seyogianya, antar pihak, duduk bersama, mendialogkan sesuai dengan kewenangannya masing-masing, jika pada prosesnya sudah menemui kesepakatan antar pihak, maka regulasi tersebut menjadi hukum yang memaksa, sehingga tidak terjadi  ambiugitas dan saling menohok antar pihak, sebagaimana yang sering terjadi. 

Kedua, literasi hukum. pandangan umum yang sering kita temui di tengah masyarakat, kita sering merasa bangga melanggar hukum, bahkan ada sebuah adagium yang dibuat, “hukum dibuat untuk dilanggar” menurut Rifai kepala Inspektorat Bantaeng, hal tersebut adalah penyakit, mestinya hukum menjadi norma yang semua pihak harus patuh dan taat, jika tidak, akan mengganggu keseimbangan hidup dan kehidupan. 

Walakhir, dari persamuan di awal tahun 2022  menjadi pertanda baik, bukankan kebaikan diawali dengan niat baik, jika kebaikan terus disemai, maka semestapun menyambut baik.  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *