Beberapa waktu lalu, tersebar melalui pesan WhatsApp berisi tulisan Denny JA. Tulisan pendek itu diberi tajuk “Ulama Hebat Dari Robot dan Pengalaman Haji Dunia Metaverse”. Isinya, kondisi teranyar yang sedang ramai-ramainya diperbincangkan: Arab Saudi membuat tiruan Mekah di Metaverse.
Dilansir oleh NU Online (08/02/2022) program Kerajaan Arab Saudi ini diberi nama “Virtual Black Stone Initiative”. Kakbah Metaverse sudah dapat dikunjungi. Dengan menggunakan VR (Virtual Reality), Imam Besar Masjidil Haram Syeikh Abdul Rahman Al Sudais menjadi pengunjung pertama Kakbah Metaverse itu.
Tentunya, hal ini, tidak bisa tidak, memunculkan wacana ibadah haji di Metaverse. Selain itu, program Kerajaan Arab Saudi ini semakin memperkaya argumentasi dan perbincangan tentang kehidupan di Metaverse.
Jauh sebelum itu, sejak pertama kali diperkenalkan oleh Mark Zukerberg, Metaverse sudah menyita banyak perhatian orang di dunia. Selain dianggap sebagai sebuah kebaruan, Metaverse juga disebut-sebut sebagai kemajuan dan puncak dari fase Revolusi Industri 4.0.
Klaus Scwhab dalam bukunya The Fourth Industrial Revolution menyebutkan setidaknya ada tiga tema besar yang diusung oleh fase revolusi keempat ini: a). desentralisasi sistem kehidupan, b). digitalisasi secara massal, dan c). otomatisasi di banyak bidang kehidupan.
Desentralisasi membuat kehidupan semakin mudah untuk dijalani. Hal ini dimungkinkan oleh teknologi digital yang semakin pesat dan canggih. Serta, beberapa lini dari kehidupan ini yang telah diotomatisasi.
Sebagai seorang anak manusia yang lahir di awal abad 21, saya tak pernah membayangkan betapa sulitnya berdakwah di masa lalu. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Selain cukup menguras tenaga, juga membutuhkan banyak dana. Kiwari, metode dan gaya dakwah seperti itu tampaknya tidak dibutuhkan lagi.
Untuk melakukan dakwah di era sekarang, Anda hanya membutuhkan setidaknya tiga modal ini: gawai atau perangkat digital, kuota internet, dan semangat dakwah. Dengan tiga modal tersebut, ulama ekstrem di belahan bumi nun jauh di sana, bisa menginjeksikan pikiran konservatifnya kepada umat Muslim di Indonesia.
Gambaran sederhananya seperti ini: desentralisasi, digitalisasi, dan otomatisasi membuat kehidupan manusia berada dalam sebuah—meminjam istilah Yasraf Amir Piliang—dunia yang dilipat. Sebuah Global Village. Dunia yang bersulih menjadi sebuah desa!
Pusparagam pertanyaan di atas dibahas secara khusus dalam sebuah buku keren berjudul Aku Klik Maka Aku Ada: Manusia dalam Revolusi Digital. Anggitan seorang pengajar filsafat di STF Driyakarya, F.Budi Hardiman. Semesta di balik punggung sebuah buku itu, mengulas evolusi Homo Sapiens ke Homo Digitalis.
Berangkat dari asumsi dasar filsafat Rene Descartes, Je pense donc je suis (Cogito Ergo Sum): Aku Berpikir Maka Aku Ada. F. Budi Hardiman menegaskan, bahwa keberadaan manusia dalam jagat digital, tidak lagi berangkat dari pernyatan filosofis si Bapak Renaissance. Homo Sapiens sebagai cikal bakal manusia modern, yang mengejawantahkan dirinya sebagai The Thinking Man bertiwikrama menjadi Homo Digitalis.
Istilah digital berasal dari bahasa Latin, Digitus berarti jari. Artinya, kini, keberadaan seorang manusia ditentukan dari kehadirannya di dunia virtual. Melalui jarinya. I Click (I browse) therefore I am: Aku Klik Maka Aku Ada. Selain menekan (to click), berpikir—sebagai ciri dasar manusia modern—digantikan oleh kegiatan menghitung (to count).
Sederhananya, budaya digital adalah budaya “menghitung”. Manusia digital selalu berperilaku menghitung dan menghitung. Nomor, angka dan jumlah seakan-akan menggantikan genius malignus: setan cerdas yang diandaikan oleh Rene Descartes sebagai alat hipotetis untuk sampai pada suatu kepastian.
Manusia digital, di abad ke-21, menandai keberadaannya berdasarkan kehadirannya di dunia virtual. Mulai dari unggahan fotonya di Facebook, kicauannya yang dikomentari orang di Twitter, hingga seberapa banyak followers di Instagram, dan subscribers yang berhasil mereka rekrut di YouTube. Bagi manusia digital, eksistensi si Ego tidak lagi ditentukan oleh kesangsiannya. Justru melalui personal brand-nya di dunia virtual.
Selanjutnya, dunia virtual atau jagat digital merupakan milieu bagi Homo Digitalis. Hampir seluruh tindak-tanduk kehidupannya dilakukan di dalam dunia maya tersebut. Mulai dari bangun tidur, hingga tidur kembali, aktivitasnya lebih banyak diselesaikan secara digital.
Kehadiran Metaverse, sebagai penetrasi puncak virtual sphere bagi Homo Digitalis semakin menguatkan tema besar dari Revolusi Industri 4.0 yang diwedarkan oleh Klaus Schwab. Metaverse, sebagai dunia virtual, menegaskan kondisi dan situasi yang semakin terdesentralisasi, didigitalisasi, dan terotomatisasi.
Seperti program “Virtual Black Stone Initiative” yang dicetuskan oleh Kerajaan Arab Saudi dan dibuat di Metaverse. Siapa pun mereka, apa pun latar belakangnya, dan dimana pun mereka berada. Mereka bisa seolah-olah menyentuh batu suci itu, menciumnya, dan merasakan aromanya.
Maka, hanya masalah waktu saja. Jika Arab Saudi telah membuat Mekah sebagai public sphere di realitas asli, menjadi public virtual sphere di Metaverse. Akan masih banyak lagi ruang publik di reality space yang akan “diimigrasikan” ke cyberspace. Pada akhirnya, dengan Metaverse, kita tak lagi memerlukan WhatsApp, Facebook, Twitter, Instagram, YouTube dan platform media sosial lainnya.
Sebab, dengan kehadiran Metaverse, sebagai ruang virtual, kita hanya menggerakkan tokoh avatar kita. Dan, bum! Sekali klik! Semua aktivitas dapat dilakukan. Meskipun, sejauh ini kita hanya berandai-andai. Bagaimana caranya makan di Metaverse? Bagaimana nikmatnya ngopi di Metaverse? Bisakah saya berkuliah di Metaverse? Atau dapatkah saya menemukan jodoh dan menikah di Metaverse?
Namun, sejauh ini Metaverse masih menempati fase pertama dari empat fase perubahan tanda (visual) menurut Jean Baudrillard. Pertama, tanda (visual) merupakan refleksi (representasi) dari realitas. Kedua, tanda (visual) menutupi/menyembunyikan dan merusak realitas. Ketiga, Tanda (visual) menutupi/menyembunyikan tiadanya (absence) realitas. Terakhir, tanda (visual) tidak lagi memiliki relasi pada realitas apapun—murni menjadi Simulakrum.
Kebudayaan digital, disadari atau tidak, menjerat manusia menjadi manusia refleks tanpa refleksi. Martin Heidegger menyebut yang pertama sebagai Berpikir Kalkulatif. Sedangkan, yang kedua disebut dengan Berpikir Meditatif. Bisakah to click disertai to think?
Arkian, dapatkah Metaverse benar-benar menjadi sebuah rumah bagi Homo Digitalis? Masihkah kita menjadi manusia jika berada-dalam-WWW?