Perempuan Iran: Sebelum dan Sesudah Revolusi Islam

Menyusul kemenangan revolusi tahun 1979 dengan mengubah konsep negara kedaulatannya dari monarki menjadi Republik Islam dibawah kepemimpinan para Mullah, Iran telah mengubah konstelasi politik international. Profesor John Esposito, dalam Iranian Revolution: Its Global Impact, menulis, “Kawan dan lawan meyakini bahwa Revolusi Islam Iran sangat mempengaruhi dunia Islam dan Barat”.

Tampil dengan wajah baru, yang sangar terhadap AS dan Zionis, sejak itu pula,  Iran harus menerima sanksi embargo ekonomi dari AS dan sekutunya. Namun meski mendapat sanksi Iran sempat terlibat dalam konflik bersenjata selama 8 tahun dengan Irak.  Selama 43 tahun ini Iran terus menunjukkan kemandiriannya dan tetap bisa eksis diberbagai sektor.

Berbagai cara telah dilakukan AS untuk menghancurkan Republik Islam Iran. Selain dengan proxy-war,  melalui kekuatan media Iran dicitrakan sebagai negara teroris dan sistem Islam yang diterapkannya telah menginjak-injak kebebasan dan HAM, terutama terhadap kaum perempuan. Oleh media-media mainstream, perempuan Iran distigma sebagai perempuan yang mengalami pengekangan, diskriminasi dan ketertindasan dengan aturan-aturan Islam yang tidak ramah terhadap perempuan.

Sementara dari dalam, mereka yang anti terhadap Republik Islam dan berafiliasi dengan mantan rezim Shah, giat di media sosial mengkampanyekan seruan kebebasan perempuan. Mereka menggambarkan selama empat dekade terakhir perempuan Iran terampas kebebasannya. Perempuan tidak lagi mendapat kebebasan sebagaimana yang dulu mereka rasakan di era Pahlavi.  Banyak yang termakan oleh propaganda ini, terutama dari kelompok feminis. Sehingga Iran tidak pernah lepas menjadi contoh buruk, bahwa ketika Islam diterapkan sebagai hukum negara, perempuanlah yang pertama menjadi korbannya.

Dengan klaim negatif tersebut, tulisan ini menengahkan tinjauan secara adil mengenai kondisi perempuan Iran di era Pahlavi dan kondisi perempuan pasca revolusi, untuk memahami posisi, status dan martabat perempuan Iran di kedua periode tersebut.

Perempuan Iran di Era Pahlavi

Isu yang paling penting tentang kondisi perempuan Iran pada masa Reza Shah adalah penerapan kebijakan westernisasi dan modernisasi. Kebijakan ini dianggap sebagai simbol kemajuan dan peradaban, sehingga segala sesuatu yang berbau Barat, itu dianggap sebagai tanda kemajuan dan intelektualisme.

Penampilan perempuan harus kebarat-baratan dalam hal pendidikan, pakaian, kegiatan sosial bahkan sampai dalam hal berpikir. Reza Shah ingin perempuan Iran tampil progresif  yaitu dengan cara menanggalkan hijab, sebagaimana perempuan Barat tidak mengenakannya. Melalui program modernisasi Barat, perempuan Iran dicuci otaknya dengan memberikan gambaran kebebasan perempuan yang dimana perempuan bebas mengenakan jenis pakaian apapun yang mereka mau dan bebas kemana saja mereka suka, termasuk ke bar-bar dan diskotik.

Sepanjang era Pahlavi, jilbab selalu dipermalukan di media dan propaganda pers. Hijab disebut sebagai gaya berpakaian yang kolot dan tidak kekinian. Perempuan berhijab mendapat intimidasi dan perlakuan tidak adil. Penanggalan hijab perempuan dilakukan untuk membuat perempuan menjadi tampil lebih terbuka. Secara bertahap, perempuan mulai menggantikan jilbabnya dengan penutup yang tidak pantas dan bahkan vulgar. Pada puncaknya, perempuan Iran terjebak pada pergaulan bebas, menjadi mangsa buasnya pasar fashion, menjadi sekrup mesin kapitalisme dan yang menyedihkan membuang diri ketempat-tempat prostitusi.

Imam Khomeini menganggap bahwa situasi perempuan pada masa kediktatoran shah tak ubahnya dengan perempuan jahiliyah dan status spiritual perempuan diabaikan dan direduksi menjadi komoditas material.

Di era Pahlavi, masyarakat tidak memiliki hak dalam hidup mereka dan semuanya berada di bawah kontrol Shah. Perempuan tidak memainkan peran dalam berbagai ranah dan kehadirannya di area publik jarang terjadi. Perempuan seolah-olah diberi kebebasan, tetapi dalam pandangan mereka, kebebasan hanya berarti kebebasan dari belenggu agama.

Dalam sistem Taghut,  alih alih perempuan terlibat dalam partisipasi sosial dan politik, laki-laki sendiripun tidak mendapatkan haknya. Hak berpolitik dan bersuara dirampas paksa melalui pemenjaraan dan hukuman mati. Alih-alih memandang tinggi derajat kemanusiaan perempuan, justru mereka melihat gender dan ciri-ciri fisiknya sebagai komoditasi. Perempuan bak produk pabrik yang bisa dijual dan bisa memberikan keuntungan sebanyak-banyaknya.

Lebih dari itu semua, Shah sebagai kaisar, ia bebas melakukan apapun terhadap perempuan. Istananya kerap ramai oleh perempuan simpanan domestik dan pelacur asing. Perlakuan Pahlavi, adalah perilaku yang tidak manusiawi terhadap kepribadian perempuan. Karena rezim ini tidak memandang perempuan sebagai makhluk berfikir, konstruktif, dan kreatif. Perempuan dipandang hanya sebagai tubuh dan bentuk sensual semata. Perempuan yang dihargai dan mendapat tempat di era Rezim Despotik Pahlavi hanyalah yang berpenampilan cantik dan menarik sesuai konstruksi masyarakat barat. Sebuah penghinaan dan pelecehan terhadap martabat perempuan.

Kondisi perempuan setelah Revolusi Islam

Berbanding terbalik di era pasca revolusi Islam, perempuan Iran mendapatkan babak lain kehidupannya dengan berhak mengakses publik secara politik dan sosial dengan keintelektualan dan sumber daya yang dimiliki. Revolusi Islam memulihkan martabat perempuan Iran dan memperkenalkannya pada identitas aslinya. Perempuan tidak lagi dinilai dari fisiknya, tapi dari ruhnya, yang juga bisa berpikir dan memiliki harapan-harapan hidup sebagaimana laki-laki. Dalam empat dekade terakhir, perempuan Iran turut bersimbah peluh bersama laki-laki dalam mencapai tingkat profesional dan ilmiah yang tinggi di lingkungan yang aman dan bermoral.

Imam Khomeini percaya bahwa perempuan harus terlibat dalam menentukan nasib dan masa depan negara. Ia berkata. “Kami tidak bisa dan Islam tidak ingin perempuan berada di tangan kami sebagai objek dan boneka. Islam ingin menjaga kepribadian perempuan dan menjadikannya manusia yang serius dan efisien. Kami tidak akan pernah membiarkan perempuan hanya menjadi objek dan nafsu bagi laki-laki.” (Pidato di depan mahasiswi, 30/9/1979)

Ayatullah Sayid Ali Khamanei sebagai Pemimpin Tertinggi Iran saat ini juga mengatakan, “Di negara kita, tidak ada titik dalam sejarah, baik di masa lalu maupun selama westernisasi, kita tidak memiliki begitu banyak perempuan terpelajar. Kita tidak memiliki begitu banyak perempuan yang aktif dalam kegiatan sosial, kegiatan budaya, kegiatan ilmiah. Kita tidak memiliki begitu banyak perempuan dengan pemahaman politik dan analisis politik, kecuali di era Republik Islam.” (Pidato Sayid Ali Khamanei, pada hari Perempuan Iran, 8/2/2001)

Aturan pengenaan jilbab oleh negara bukan penghalang dan pengekangan kebebasan bagi perempuan untuk bisa aktif diberbagai sektor pembangunan bangsa dan negara. Sebab dengan berjilbab pun perempuan Iran tidak kalah berprestasinya.

Di Republik Islam Iran saat ini, data statistik Iran menyebutkan 97 % perempuan berpendidikan. Lebih dari 60 % Mahasiswa sekarang adalah perempuan dengan 22,7 % perempuan Iran memiliki pendidikan pasca sarjana, jumlah professor perempuan di Iran ada 2100 orang. Majalah Forbes menyebutkan, 70% mahasiswa perempuan Iran di bidang sains dan Tekhnik, karenanya tidak heran, jumlah peneliti dan ilmuan perempuan Iran lebih banyak dari laki-lakinya. 4.000 perusahaan sains dan 30 persen diantaranya dipimpin oleh perempuan.

Ada 2000 LSM perempuan, 712 jurnal  perempuan, 540.000 atlit profesional perempuan dengan 160 medali Iran di kompetisi olahraga internasional dipersembahkan atlit perempuan. Dari total 2423 perusahaan startup Iran, 320 diantaranya co-foundernya perempuan. Seniman Iran 40%nya perempuan, termasuk aktris dan ada 25 sutradara perempuan yang diantaranya telah menyabet berbagai penghargaan nasional dan internasional.  Ada 60 ribu perempuan yang menjadi dokter spesialis, 8000 penulis perempuan dengan karya tulis diberbagai bidang.  Di bidang politik, ada wakil presiden dan menteri perempuan, ada 4 gubernur perempuan, 7 wakil gubernur, 8 walikota, 19 bupati, 3574 anggota parlemen disemua tingkatan dan masih banyak fakta lainnya yang menunjukkan kebebasan perempuan  dalam memberikan kotribusi bagi kemajuan negara.

Perempuan Iran tidak akan pernah melupakan penindasan perempuan atas nama kebebasan dan modernisasi. Pada periode Pahlavi, mereka belajar bahwa kebebasan perempuan hanya akses menuju korupsi dan prostitusi. Penyebaran korupsi dan kerusakan moral inilah menyebabkan perempuan Iran ikut di barisan garda terdepan dalam melawan dan menggulingkan rezim diktator Pahlavi.

Dirgahayu Kemenangan Revolusi Islam Iran ke 43.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *