Saya masih mengingat peristiwa tempo itu, kala usiaku baru menginjak dua dasawarsa. Tepat di tahun 1859 Besse Kajuara—seorang perempuan pemberani yang kukenal sekaligus Mangkau Raja Bone—diungsikan oleh Ade’ Pitue—Dewan Adat Kerajaan Bone—untuk meninggalkan Saoraja—istana kerajaan—dan Kota Watampone, ibu negeri Kerajaan Bone tuk menghindar dari kejaran pasukan De Vierde Bonische Expeditie, ikut pula bersamanya Arajang—benda pusaka—Kerajaan Bone.
Diungsikannya Besse Kajuara kala itu sesungguhnya bukanlah keinginannya sendiri, melainkan pertimbangan Ade’ Pitue. Karena raja tak boleh ditangkap oleh Belanda, demikian pula Arajang tak boleh dirampas oleh si mata putih, karena raja adalah simbol perlawanan kami saat itu, dan karena raja adalah kerajaan itu sendiri. Raja tertangkap maka selesai sudah peperangan.
Dan kini, di usiaku yang ke enam puluh enam tahun, di tahun 1905, dalam Saoraja Arumpone ini, peristiwa itu terulang lagi.
***
HAMPIR semalaman saya tidak bisa tidur nyenyak, kewaspadaan selalu mengintai, suasana perang memang tak mengenakkan. Kabar terakhir yang kudengar serdadu Belanda di bawah pimpinan Kolonel C.H. van Loenen telah membangun bivak di sepanjang garis pantai Bajoe, pun kudengar beberapa pasukan Marsose telah memasuki gerbang Kota Wattampone. Jikalau terus begini tinggal menunggu waktu mereka mendobrak pintu Saoraja ini.
Sesekali saya mengintip dari balik tingkap, memerhatikan suasana sekitaran istana kerajaan yang telah lengang. Belum ada tanda-tanda kedatangan serdadu Belanda, walaupun matahari mulai meninggi. Di dalam istana ini, tinggal saya seorang bangsawan kerajaan, para anggota Ade’ Pitue juga telah mengungsi, membawa Arajang—benda pusaka kerajaan—yang telah menjadi alat legitimasi kekuasaan raja sejak masa Mata Silompoe Mannurungge ri Matajang pada abad ke XIV lalu. Adapun Arumpone—sebutan lain dari mangkau—mungkin telah memasuki wilayah Palakka, Arumpone dikawal oleh pasukan regular kerajaan di bawah pimpinan Petta Ponggawae—panglima kerajaan—Abdul Hamid yang tak lain dan tak bukan putra Arumpone, La Pawawoi Karaeng Sigeri.
Sejenak kuberlalu dari tempatku, kemudian menuju ruang tamu Saoraja—yang terbuat dari kayu bitti’ ini—sungguh rapi nan bersih, dayang-dayang istana merawatnya dengan baik, bahkan saat perang pun mereka masih menunaikan tugasnya. Masih kuingat kemarin sore saat perang berkecamuk mereka masih menyempatkan membersihkan ruangan ini. Di ruang tamu inilah: saya, anggota Ade’ Pitue, dan Petta Ponggawae bersama Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri membahas surat yang dilayangkan pemerintahan Hindia-Belanda melalui salah seorang utusanya. Ada dua surat yang dikirimkan Tomarajae—yang dipertuan—di Makassar. Pertama, surat tertanggal 22 Juni 1905—berisikan pemberitahuan tentang realisasi pembaharuan kontrak yang ditandatangani Arumpone tempo itu. Dan surat kedua pada bulan Juli 1905 yang salah satu isinya meminta pihak Kerajaan Bone menyerahkan hak pengelolaan Pelabuhan Bajoe dan Pelabuhan Pallime ke pihak Hindia-Belanda. Tentu saja permintaan ini kami tolak, kami geram! Selama ini kedua pelabuhan itulah yang menjadi urat nadi perekonomian Kerajaan Bone—yang menjadi sumber penghidupan masyarakat Kerajaan Bone. Jikalau Belanda menginginkannya apa jadinya kerajaan ini? Pun sudah cukup pedih apa yang kami rasakan, status Kerajaan Bone yang mulanya kerajaan sekutu Belanda—bondgenootscap—diubah menjadi kerajaan pinjaman—yang menyebabkan segala tindak-tanduk kerajaan harus diketahui pemerintah Belanda melalui Tomarajae di Fort Rotterdam. Dan lebih menyakitkan lagi, kami hanya diberikan waktu 24 jam untuk menjawab tuntutan itu.
***
SUBUH-SUBUH betul saya selaku tomairilaleng dan juga merangkap sebagai pabicarae—juru bicara kerajaan—memanggil Haji Dulung, syahbandar Pelabuhan Bajoe menghadap ke Saoraja. Meminta perkenaannya sesegera mungkin mengirimkan surat balasan Arumpone kepada Kolonel van Loenen di atas geladak kapalnya—yang sedang membuang sauh di lepas Pantai Bajoe.
“Syahbandar Bajoe,” sahut Arumpone yang duduk di ruang tengah Saoraja.
“Iya Puang! Sembah patik Haji Dulung syahbandar pelabuhan.”
“Sampaikan segera surat ini ke panglima perang Belanda yang membuang sauh di depan Perairan Bajoe. Surat ini harus ada sebelum jam delapan pagi. Pacu kudamu secepat mungkin, cari jalan pintas, dan berhati-hatilah jangan sampai surat ini jatuh.”
“Siap laksanakan Puang,” sahut Haji Dulung yang menerima surat itu, kemudian ia berlalu meninggalkan Saoraja, sesaat kemudian kudengar suara kuda meringkik disusul langkah pacu kuda yang berlari kencang. Di saat bersamaan seribu satu pikiran berkelebat, membayangkan reaksi Kolonel van Loenen atas balasan surat itu—yang tentunya tak mengenakan hati dan mungkin akan memulai kembali perang yang pernah terjadi. Cepat atau lambat pihak Belanda pasti akan meletupkan bedil.
***
DI dekat tingkap Saoraja saya tersadar dari lamunan, seorang dayang-dayang istana menghampiriku sembari memberikan nasi dan lauk seadanya untuk sarapan pagi. Ah, saking kalutnya saya lupa bahwa rupanya saya tak sendirian, ada dua orang dayang-dayang istana menemaniku, keduanya adalah perempuan Bone yang telah uzur, sudah cukup lama mereka menjadi abdi yang mengurusi urusan rumah tangga istana.
“Tabe’, permisi Puang, sudah waktunya Puang Tomairilaleng Kerajaan Bone untuk sarapan,” sahut salah seorang dari mereka lalu menyerahkan nasi dan lauk seadanya serta cerek dan gelas. Mereka kemudian berlalu kemudian memberikan takzim.
Sejenak kutatapi sarapan pagi itu, lalu kutaruh begitu saja, saya tak menyentuhnya sama sekali. Sungguh saya tak merasa kelaparan, walaupun kemarin sore dan malamnya perut ini belum diisi makanan. Pikiranku kalut nan gelisah, memikirkan nasib Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri dalam pelariannya. Semalam kami mengadakan pertemuan, memikirkan langkah taktis dalam perang ini, setelah berunding kami memutuskan untuk mengungsikan Arumpone ke daerah Palakka, sebelah utara Kerajaan Bone. Pilihan ini memang sulit, mengingat usia Arumpone telah uzur dan di sisi lain jarak antara Wattampone dan Palakka cukup jauh. Tidak hanya itu, skenario terburuk jika serdadu Belanda mengejar Arumpone, maka beliau akan diungsikan lagi menuju Tana Toraja dan itu bukanlah perjalanan yang mudah.
“Puang, kami telah bersepakat untuk mengungsikan Puang Arumpone ke luar dari Kota Wattampone, keadaan perang ini begitu genting, apatah lagi musuh telah berhasil mendarat dan menyerang kubu-kubu pertahanan di sepanjang Perairan Bajoe. Hanya menunggu waktu Wattampone jatuh ke tangan serdadu Belanda pimpinan Kolonel van Loenen. Puang tak bisa lagi berlama-lama di sini, kami khawatir Puang akan ditangkap Belanda, dengan tertangkapnya Raja Bone maka perlawanan telah tiada, raja adalah simbol dan marwah kerajaan, raja adalah kerajaan itu sendiri. Kami telah mempersiapkan segalanya Puang. Petta Ponggawae akan mengawal rombongan Arumpone. Hanya inilah pilihan kita untuk melawan Belanda, perang gereliya. Selama Arumpone hidup, selama itu pula perang akan berkobar.” Itulah yang saya sampaikan ke Arumpone mewakili para bangsawan kerajaan yang menyempatkan hadir. Pilihan paling taktis memang bergerilya, kondisi telah memaksa kami untuk mengambil pilihan yang sulit, pun persenjataan Kerajaan Bone terlampau jauh tertinggal tinimbang persenjataan milik Belanda.
***
MATAHARI semakin meninggi, kekalutan yang menghinggapi perlahan-lahan mulai menguap, ada ketegaran yang mulai menyelubungi hati. Masih jelas malam itu terbayang wajah Arumpone yang membiaskan keengganan meninggalkan istana, langkahnya terasa berat ketika menuruni anak tangga istana, tapi bagi kami itulah pilihan terbaik. Lamat-lamat kurapalkan doa untuk keselamatan Arumpone dan Kerajaan Bone.
Kini dari balik tingkap kumengintip kedatangan para serdadu Belanda dan Marsose, mereka mengendap-ngendap dengan siaga, memasuki kawasan istana. Wattampone nampaknya telah jatuh. Tetapi marwah kerajaan belum redup karena mereka belum berhasil menangkap Arumpone. Mereka pasti kecele ketika memasuki Saoraja Arumpone karena tak menemukan junjunganku—La Pawawoi Karaeng Sigeri.
Sejenak ku menghela nafas yang panjang dan sesegera mungkin menuju ruang tengah sembari memanggil dayang-dayang istana, memintanya meninggalkan Saoraja melalui pintu belakang istana, tetapi mereka menggelengkan kepala seraya berkukuh untuk menemaniku di Saoraja Arumpone ini.Kudengar pintu Saoraja didobrak, saya hanya berdiri menatap pintu itu seraya merapalkan beribu doa keselamatan untuk Arumpone. Hanya ketegaran dan keikhlasan yang menemaniku menghadapi segala kemungkinan. Ya Dewata Sewae, Ya Karaeng Allah Ta’Ala. Apa yang mesti hamba lakukan ketika mereka telah memasuki Saoraja ini? Tanyaku pada diri sendiri. Belum sempat kutemukan jawaban dari pertanyaanku, pintu Saoraja telah terbuka oleh serdadu Belanda dan kulihat di ujung sana moncong bedil mengarah tepat ke jantungku