Di era kekinian akan ganjil apabila bercita-cita menjadi petani. Petani dipandang sebagai jalan hidup yang tidak ideal. Dalam sebuah kegiatan pengabdian yang pernah saya lakukan di SDN 82 Barammamase Kec. Galesong Selatan Kab. Takalar, kepada siswa kelas empat dan lima saya pernah menanyakan ihwal apa cita-cita yang mereka inginkan ketika besar nanti. Dokter, guru, polisi, tentara dan pramugari, itulah jawaban yang dituliskannya di dalam secarik kertas yang saya bagikan. Tidak ada yang menuliskan petani atau nelayan, padahal sebagian dari mereka hidup dari orang tua yang bekerja sebagai petani dan nelayan. Apalagi mereka tinggal dikelilingi hamparan sawah yang setiap saat mereka jumpai.
Tidak salah jika jawaban petani tidak muncul dari mulut anak-anak SD ini, toh ini bukan soal menyebutkan butir-butir pancasila, yang jika salah satu poinya tidak disampaikan maka kelirulah jawaban kita. Mungkin saja kata petani ini tidak muncul karena konklusi yang mereka tangkap dari ucapan-ucapan orang tua mereka ihwal mengapa perlu sekolah. “Sekolahki baek-baek nak, semoga kitami yang siksa begini karena tidak sekolah” kata-kata itu sering kudengar di kampung dari mulut tetangga, pun dari mulut orang tuaku. Sepertinya kata-kata itu pun cukup mahsyur di telinga anak-anak SD ini. Nah, jika kita lihat kalimat tersebut, salah satu kesan yang muncul ialah orang tua tidak mendambakan kita seperti mereka yang menurut pendakuannya menjalani hidup dengan berat dan susah, di jalan hidup mereka sebagai petani, nelayan atau pedagang kaki lima.
Dilansir dari detikfinance berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dikutip Jum’at (24/9/2021) jumlah rumah tangga pertanian secara keseluruhan menurun dari 31,2 juta pada 2003 menajdi 27,7 juta pada 2018. Kanal berita yang lain, Tempo.co mewartakan Badan Penyuluh dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP) Kementerian Pertanian mencatat petani muda yang berusia 20-39 tahun di Indonesia hanya berjumlah 2,7 juta orang. Hanya sekitar delapan persen dari total petani kita yang berjumlah 33,4 juta orang. Sisanya lebih dari 90 persen merupakan petani kolonial atau petani yang sudah tua. Kemudian Badan Pusat Statistik (BPS) 2019, menyatakan bahwa jumlah petani muda terjadi penurunan 415.789 orang dari periode 2017-2018. Mengapa sih fenomena ini muncul, sementara yang namanya regenerasi dalam satu sektor itu sangat penting, sebab jika tidak ada regenerasi maka suatu sektor lambat laun akan menjumpai titik nadirnya.
Era sekarang, sektor pertanian dipandang tidak bisa memberikan prospek yang cerah. Dalam buku “Melihat Desa dari Dekat” buah tangan Nurhady Sirimorok terdapat satu esai yang bercerita mengenai diskusinya dengan seorang petani berusia tigapuluhan, perihal bagaimana masa kejayaan kakao yang pernah ia jumpai. Pada saat itu tidak ada kawannya yang ingin melanjutkan pendidikan, hanya ia saja yang kemudian bersekolah hingga menyelesaikan studi SMA.
Masa kejayaan kakao ini dijumpai pada saat harga kakao melambung karena jatuhnya rupiah pada dasawarsa 1990-an. Ia berbicara tentang masa kejaayaan kakao di masa ketika orang melontarkan gurauan bahwa ikan-ikan kecil untuk para pegawai sebab ikan-ikan besar untuk para petani. Dengan kondisi kakao yang sangat menjanjikan ini sekolah seakan bukan hal yang penting. Orang-orang bugis yang bertani kakao pun lantas menyimpulkan dengan sebuah kalimat yang ringkas “Namo de’gaga sikola ko engka mo sikola’ ” artinya “walaupun tak ada sekolah yang penting punya pohon kakao”
Namun keadaan setelahnya berubah. Saat ini orang-orang yang pernah menganggap sekolah tidak penting kini berlomba mengantarkan anak-anak mereka untuk duduk di bangku sekolah. Sektor yang selama ini menghidupi mereka, saat ini telah menjadi lapangan pekerjaan dengan masa depan yang suram sebab telah terjadi penurunan harga dan penurunan produktivitas lahan. Demikian pula kiranya yang dialami petani di sektor lain. Sehingga menjadi petani tidak lagi dirasa cukup untuk memenuhi kebutuhan yang kian hari kian membengkak.
Selain tidak bisa memberikan prospek yang cerah menjadi petani juga akan berhadapan dengan ketidakpastian. Menjadi petani memang akan membuat kita berkecimpung pada banyak hal yang tidak bisa kita kendalikan secara langsung. Hal ini telah terjadi semenjak orang pertama memutuskan untuk mengolah tumbuhan menjadi tanaman, faktor alam tentunya memainkan peran yang sangat besar. Misalnya perihal cuaca, musim, serangan hama, tingkat kesuburan lahan dan lain sebagainya. Apatah lagi berkaitan dengan ketersediaan pupuk serta harga komoditas setelah panen. Ketidakpastian-ketidakpastian di dunia pertanian ini kemudian yang sangat berbeda dengan sektor lain yang didambakan oleh anak-anak muda, semisal menjadi pegawai kantoran, guru, tentara, dan lain sebagainya yang tinggal mengerjakan pekerjaan sesuai instruksi dan tidak perlu lagi bermain dadu bersama kondisi musim, hama, ketersediaan pupuk dan harga yang tidak menentu.
Selain itu, menjadi petani itu susah-susah gampang. Menurut Nurhady Sirimorok menjadi petani itu bak menjadi seorang wirausahawan atau seorang manager. Seorang petani perlu untuk mengatur segala hal atas unit usaha taninya. Menimbang tanaman apa yang cocok untuk kondisi lahannya, berapa biaya dan tenaga kerja yang dibutuhkan, serta kemana akan dijualkan setelah di panen untuk bisa mendapat keuntungan. Menjadi keliru kemudian ketika anggapan sebagian orang yang melihat sektor ini merupakan hal yang mudah dan tak perlu dipelajari hingga membuat kening berkerut. Melihat bertani hanya sebatas membalik tanah dengan cangkul serta membersihkan rumput lahan dengan arit sehingga jadilah sektor ini sebagai opsi pelarian yang teranyar jika tidak mampu merealisasikan cita-cita yang sebelumnya sudah diperjuangkan.
Sebagai efeknya, jadilah mereka petani yang tidak bisa mengatur unit usaha taninya dengan baik, yang berujung pada kurangnya pendapatan yang diperoleh. Ditambah lagi dengan kemampuan bertani yang telah lama tidak mereka asah. Proses belajar di sekolah belasan tahun telah membuat mereka jauh dari tanah. Pengetahuan bertani dari orang tua mereka harus berhenti dan tidak terwariskan, orang tua pun banyak yang berharap tidak mewariskan ilmu itu dengan angan anaknya menjadi pegawai.
Selain karena menjadi petani merupakan profesi yang sungguh tidak instagramable di mana bermandi peluh, berlumurkan tanah dan debu sudah menjadi hal yang pasti, ditambah lagi dengan kulit yang siap-siap jadi lebih gelap sebab berkerja di bawah kolong langit tanpa aling-aling. Semua alasan di atas kiranya juga menjadi penyebab lain dari kurangnya anak muda yang memilih terjun ke dunia pertanian ini.