Sahur Bukan Hanya Soal Makan

“Teringat sekali bagaimana di awal-awal saya melakukan kegiatan puasa belasan tahun yang lalu, saya yang biasanya tidak pernah bangun di dini hari memaksakan diri untuk bangun sahur. Dengan kata lain saya termotivasi oleh ketakutan saya yaitu kelaparan di siang hari.”

“Pernah ada masa hampir sebulan penuh di bulan Ramadan saya tidak tidur dan ngobrol sampai sahur, sehingga menjelang matahari terbit, saya tidur pulas karena perut penuh dan bangun hanya beberapa jam menjelang buka.”

Dua paragraf di atas saya kutip dari caption unggahan Instagram Gobind Vashdev, seorang penulis dan heartworker.

Unggahan itu menenggelamkan saya pada lautan ingatan masa silam. Masa di mana Ramadan benar-benar menjadi bulan yang dirindukan, sekaligus menakutkan. Dirindukan sebab di bulan ini makanan dan pahala katanya berlimpah ruah, dan di penghujungnya saya bisa punya baju baru. Menakutkan sebab sedari terbit fajar hingga tenggelamnya, saya dituntut untuk menahan lapar dan haus.

Laiknya Gobind, pernah suatu masa, saya bangun sahur bukan karena tasahharu fainna fissahuri barokah, seperti kata nabi. Tapi karena takut lemas di siang hari. Makanya meski kala sahur indra pengecap terasa berkurang 50%, alias makanan terasa kurang begitu enak, saya tetap makan sahur banyak-banyak, dan minum air bergelas-gelas hingga kembung, bahkan terkadang kencing berkali-kali sebelum azan subuh. Betapa masa itu saya begitu takut mati kelaparan karena puasa.

Meski sahurnya begitu, di siang hari pun ternyata saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan tidur dan bermalas-malasan dengah dalih hemat energi. Ketika haus menggerogoti tenggorokan, saya memilih masuk kamar mandi dan menyiram kepala dengan air. Saya bahkan pernah tidur dengan memakai baju basah guna memperoleh sensasi dingin melegakan. Puasa saya benar-benar hanya menahan lapar dan haus.

Ketika puasa terpaksa jebol, saya makan dengan perasaan was-was. Di masa kecil, saya didoktrin bahwa orang yang makan di siang hari Ramadan sebenarnya memakan ulat. Saya sungguh jijik jika membayangkan itu. Saya makan nasi, tapi imaji di benak bahwa nasi ini sesungguhnya adalah belatung, atau makan mie, tapi yang terlintas di pikiran adalah cacing, dan saat minum yang muncul di kepala saya adalah darah bercampur nanah. Akhirnya ketika tak berpuasa di bulan Ramadan pun, makan saya tak pernah benar-benar nikmat. Takut tiba-tiba makanan di piring itu berubah, seperti yang saya saksikan di film-film azab di TV. Betapa Ramadan benar-benar menjadi momok. Di masa itu, agama sungguh menakutkan, dan Tuhan begitu kejam.

Di kedalaman lautan memori itu, saya membenar-benarkan penyataan Gobind di paragraph lain tulisannya, “Saya sama sekali tidak menyalahkan diri saya atas apa yang telah saya lakukan, saya hanya tersenyum melihat cara diri ini bertumbuh.” Begitulah diri ini bertumbuh, lalu kemudian memaknai sahur dan puasa.

Terkait sahur. Kini, saya kemudian menyadari bahwa sahur hanyalah salah satu sumber energi saat berpuasa. Saya yakin banyak di antara kita yang pernah berpuasa hanya sahur dengan segelas air putih dan roti, lalu menguatkan niat. Tapi puasa dan produktivitasnya jauh melampaui saya yang sahurnya seperti Tanboy Kun. Saya berasumsi, karena puasa orang-orang ini benar-benar dilandasi kesadaran dalam diri, hingga motivasinya benar-benar fi sabilillah, yang kemudian terinternalisasi hingga ke sum-sum tulangnya. Tidak seperti saya yang berpuasa karena takut. Takut dicerita orang, lalu matinya masuk neraka.

Memang, sahur tak bisa dilihat serta merta hanya aktivitas makan tok. Meski sahur memang pada dasarnya adalah makan ringan. Mungkin sesederhana sahur Nabi dulu yang makan secukupnya—menurut Quraish Shihab—mungkin dengan dua tiga biji kurma, paling banyak tujuh biji dan segelas susu. Itulah kini yang sebagian ditiru oleh umatnya, tapi biji kurmanya diganti dengan sendok nasi. Jadi kita menambah paling banyak sampai tujuh kali, akhirnya setelah sahur, bantal menjadi tempat bersandar paling aman, melebihi nyamannya pundak ayang.

Di lain sisi, sahur juga ternyata menyimpan sirat-sirat pesan Nabi dalam mendidik umatnya. Quraish Shihab dalam pemaparannya di episode “Shihab dan Shihab” pada saluran YouTube Najwa Shihab, membeberkan beberapa di antaranya.

Pertama, sahur adalah bentuk ikhtiar Nabi mendidik umatnya membiasakan diri bangun malam. Jika selama ini kita tidur hingga pagi, maka sahur mengajari kita untuk melawan rutinitas yang membelenggu diri. Jika rutinitas ibarat Uchiha Madara, maka sahur adalah Tim Tujuhnya Hatake Kakashi yang menaklukkannya.

Hal yang membahagiakan di kekinian, bahwa umat nabi tidak lagi tidur hingga pagi, melainkan begadang hingga waktu sahur dengan push rank atau ngedrakor. Akhirnya setelah sahur, barulah mereka tidur sepulas-sepulasnya, mengamini ungkapan tidurnya orang berpuasa adalah ibadah. Ironisnya, sekali tidur dua waktu salat terlampaui.

Sungguh sayang, kita lepas dari satu rutinitas, tapi terjebak pada rutinitas nirmakna lainnya. “Nah, dengan sahur dia melawan rutinitas itu untuk mencapai sesuatu yang bermanfaat.” Tutur Quraish Shihab.

Kedua, sahur adalah momentum merenung yang baik. Itulah sebabnya sebaiknya niat itu bukan diikrarkan dalam hati di awal Ramadan atau di penghujung tarawih, sebagaimana jamak dipraktikkan selama ini. Tetapi lebih baik ditancapkan sewaktu sahur. Mengapa demikian?

Bagi Quraish, niat itu berfungsi sebagai medium introspeksi. Bisa diamsalkan begini, “Kemarin saya sudah berpuasa, tapi rasa-rasanya masih ada yang kurang, yang kurang itu saya ingin perbaiki besok deh. Supaya puasa saya menjadi lebih sempurna.” Itulah yang seyogianya kita tafakuri saat berniat puasa kala sahur. Dengan introspeksi, muaranya makin hari, maqam puasa makin meningkat, sebab terjadi pergumulan dalam diri untuk senantiasa bertumbuh dan bertambah, menjadi lebih baik dan lebih baik.

Seturut dengan itu, jeda yang diperoleh antara waktu imsak dan subuh kala sahur, bisa dimanfaatkan dengan aktivitas produktif: menulis, membaca, mengaji, dan salat sebelum fajar. Aktivitas yang mungkin jarang sekali kita lakukan akhir-akhir ini, karena tenggelam dalam kesibukan rutinitas mekanistik duniawi.

Jadi hakikat sahur bukan hanya ajang untuk makan semata, guna mengumpulkan cakra sebanyak mungkin. Tetapi juga ikhtiar menumbuhkan habitus baru yang punya nilai kebermanfaatan.

Akhirnya, bersahur itu penting, meski kita punya kemampuan berpuasa tanpa sahur sekali pun, entah karena punya cadangan lemak banyak atau karena memang kuat. Sebab dalam sahur ada sirat-sirat pesan nabi. It’s about quality, not quantity. Mungkin itulah yang dimaksud dengan tasahharu fainna fissahuri barokah. Bersahurlah, sesungguhnya dalam sahur itu ada berkah. Wallahu alam bissawab.

Sumber gambar: gambarhitamhd.blogspot.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *