“Entah kenapa, dua hari terakhir ini jadi rajin berwudu. Apakah ini tanda kalau aku tidak kuat puasa?” Ngintip status teman di whattsapp, kemarin, menjelang hari kedua puasa Ramadan. Mau komentari, tapi tiba-tiba ngerem “Puasa…puasa…puasa”. Takut panjang kali lebar.
Suasana puasa tahun ini, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Apalagi masih maraknya pandemi yang belum usai. Jaga jarak, cuci tangan, pakai masker, mematuhi protokol kesehatan, bukan lagi yang menghantui masyarakat dengan vaksin booster. Walaupun demikian, nyatanya buka bareng, ngabuburit. Masih.
Buka puasa adalah hal yang dinanti-nanti. Layaknya bait lagu Nikita Willy, “Ku akan menanti, mesti harus penantian panjang, ku akan tetap setia menuggumu, ku tahu kau hanya untukku”. Bagaimana tidak? Dari terbit fajar hingga terbenam matahari, menahan.
Berbagai hidangan yang disediakan untuk pa’buka. Tapi faktanya, ada yang berbuka dengan segelas air, cukup. Sisanya, nanti. Ada juga dia santap semua menu yang tersedia. Balas dendam, sebut saja. Hingga kasoneang. Teringat dengan penggalan sabda Nabi, “Tiada tempat paling buruk yang dipenuhi oleh manusia, daripada perutnya. Cukup bagi anak Adam beberapa suap saja untuk menegakkan tulang belakangnya. Jika tidak, maka sepertiga (dari perutnya) untuk makannya, sepertiga lagi untuk air minumnya, dan sepertiga lagi untuk nafasnya”. Intinya tidak berlebihan.
Sembari menafakurkan sabda Nabi, sambil menunggu buka puasa, saya bergumam menghitung buku yang tersusun di lemari. Ya, sekitar seratus enam puluhan buah. Tatapan saya tertuju pada buku bersampul dasar putih dengan embel kekuning-kekuningan. Anggitan Ali Muhammad Al-‘Imran, judul bukunya, Al-Musyawwiq Ilaa Al-Qiraa’ah Wa Thalab Al-‘Ilm.
Ali Muhammad menceritakan bagaimana kisah gila baca ala ulama. Diantaranya, Ibnu Jauzi berkata menceritakan dirinya, “Saya tidak pernah kenyang membaca buku. Jika menemukan buku yang saya belum pernah saya lihat, maka saya seolah-olah mendapatkan harta karun. Saya pernah melihat katalog buku-buku wakaf di madrasah an-Nidhamiyyah yang terdiri dari 6.000 jilid buku. Saya juga melihat katalog buku Abu Hanifah, Al-Humaidi, Abdul Wahhab bin Nashir dan yang terakhir Abu Muhammad bin Khasysyab. Saya pernah membaca semua buku tersebut serta buku lainnya. Saya pernah membaca 200.000 jilid buku lebih. Sampai sekarang saya masih terus mencari ilmu”. Ya, layaknya tak pernah kenyang.
Sama-sama lahap, hanya orientasi berbeda, otak dan perut. Olah jiwa dan olah raga. Jika membaca merawat jiwa, maka berbuka puasa merawat raga. Puasa menjadikan lapar ragawi untuk mematangkan jiwa. Mengambil tindakan ragawi dengan membaca buku, sama halnya merawat jiwa. Jadi, berpuasa membenahi urusan jiwa dan raga. Sebagaimana pujangga Romawi, Decimus Lunius Juvenalis, menggaungkan “Mens sana in corpore sano”, di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat.
Buka puasa bukan semata memenuhi nafsu makan, kenyang. Sudah. Melainkan buka puasa berimplikasi terbentuknya mental pengendalian hawa nafsu, yang termanifestasi pada rasa syukur. Buka puasa adalah suatu kewajiban. Berbeda dengan sahur yang sifatnya adalah anjuran. Sedang, sebaik-baik sahur adalah yang diperlambat atau dekat dengan waktu menahan (imsak). Supaya apa? Agar bisa ikut jamaah subuh, misalkan. Begitu juga menyegerakan buka puasa, lebih baik. laiknya menikah, harus disegerakan.
Menyegerakan, bukan berarti waktunya balas dendam. Karena sudah kelaparan, maka balasannya harus kenyang. Hingga kekenyangan. Tidak masalah, namun ada batasnya. Karena sesuatu yang baik jika berlebihan, maka tidak baik. Memaknai esensi dari buka puasa adalah tidak makan dan minum berlebihan sebagai bentuk pembalasannya, karena seharian telah menahan lapar dan haus. Layaknya orang tidak mampu, merasakan. Sehingga perilaku-perilaku berlebihan saat berbuka puasa tidak merefleksikan makna puasa yang menggambarkan tentang keprihatinan, dan kelemahan kita sebagai makhluk.
Mendengar cerita salah seorang tetangga kemarin, dia bercerita, “Bangun, makan sahur, kantuk tak bisa kompromi, akhirnya tidur, hingga kebablasan. Tidak salat subuh. Tak ada yang membangunkan. Bangun-bangun sudah magrib. Bentar lagi buka puasa. Senikmat itu puasa. Tanpa merasakan lapar. Hanya jarak tidur dan bangun. Buka. Sambil ketawa ceria. Semoga tidurnya berkualitas, canda teman”. Teringat, psikolog Michael J Breus Ph.D dalam Psychology Today, menjelaskan ketika jam biologis itu diperkuat dan tersinkronisasi, maka akan berpengaruh dominan pada kemudahan dan kualitas tidur seseorang.
Bermacam-macam orang mengekspresikan puasa. Ada juga hanya diniati untuk menggugurkan kewajiban semata. Namun, tak banyak di antaranya juga diselipkan niat agar berat badannya bisa turun. Karena suka makan, ngemil, tidur berlebihan, tidak diimbangi olahraga. Capek menanggung beban hidup (kelebihan lemak), atau karena ingin memiliki tubuh ideal.
Sebagaimana Defrizal Siregar dan Juriani, telah melakukan penelitian terkait dengan kondisi fisik orang yang berpuasa. Disimpulkan, bahwa berpuasa tidak memberikan pengaruh buruk terhadap glukosa darah. Sebaliknya, berpuasa dengan kerja fisik tetap memberikan kestabilan pada kadar glukosa darah normal, menjaga daya tubuh, sehingga tubuh ideal yang diinginkan dapat tercapai. Didukung juga dalam sabdanya “Berpuasalah maka engkau sehat”.
Hemat saya: Menikmati, sederhana, dan tidak berlebihan.
Aktif di Boetta Ilmu Rumah Pengetahuan