Sungguh, Saya Tidak Sedang Mempersoalkan Kebaikan Anda Sekalian

Tulisan ini bisa saja resisten pada banyak orang, karena akan bergerak menyoal niat pada hati manusia. Kita paham betul, bahwa niat ialah suatu yang abstrak, yang berkelindan hanya di antara si hamba dan Tuhannya. Namun, izinkan saya bertanya satu hal. Apakah salah bila saya menyebut, bahwa Ramadan kita, entah anda setuju atau tidak, masih bergerak pada kebaikan-kebaikan subjektif? Kebaikan-kebaikan individual? Semisal, kita sudah paham betul, bahwa Ramadan ialah bulan yang menjanjikan ganjaran pahala yang jauh berlipat untuk semua tindak kebaikan di dalamnya. Maka dari itu, oleh kita, Ramadan dijadikan bulan yang penuh sesak dengan niatan dan tindakan kebaikan. Aksi berbagi dan bersedekah ialah kebaikan yang paling memenuhi ruang-ruang bermasyarakat kita di masa Ramadan seperti ini.

Lalu di mana sisi subjektif dan individualitasnya? Ia terletak pada kealpaan kita seolah kata “lapar”, “miskin” dan “susah” tidak pernah ada di luar bulan Ramadan. Maka patut kita renungi, bahwa bisa saja selama ini, sensitifitas kita pada penderitaan si fakir, selalu hanya dibatasi oleh subjektivitas kita akan ganjaran pahala yang “membludak” di bulan Ramadan. Kita akan melakukan kebaikan, apabila ada implikasinya pada urusan pahala, surga dan neraka kita. Tentu saja ini adalah standar keselamatan yang normatif sesuai koridor agama, namun bukankah sebuah jalan ilahi bila kebaikan-kebaikan kita telah bergerak pada dimensi yang sunyi, yang urusan pahala dan surganya biarlah menjadi hak prerogatif Allah saja.  

Pada soalan yang lain. Gelaran-gelaran kebaikan yang kita lakukan di bulan Ramadan entah mengapa terkesan lebih dipaksakan meriah dibanding berhikmah. Aksi berbagi yang dilakukan hanya sepersekian menit, namun foto-foto dan bentangan spanduk di tengah kemacetan jalan raya  bisa berlangsung jauh lebih lama dan membuat kita para pengguna jalan kadang bingung antara mau terharu atau menggerutu.

Maka, menyoal kebaikan-kebaikan kita yang bisa jadi masih bersifat subjektif, individualis dan “yang penting meriah” itu, maka izinkan saya membincangkan mimpi saya, tentang sesuatu yang saya harapkan hadir di Ramadan kita, di masa depan kelak.

                                                                        ***

Kelak, di suatu Ramadan, kita sudah bisa menyaksikan sore hari yang lengang, tanpa bentangan spanduk “Ramadan Berbagi” dari alumni ini dan itu, komunitas yang di sana dan dan di situ.

Kelak, di suatu Ramadan, timeline media sosial kita tidak perlu lagi dipenuhi foto-foto senyum getir para fakir miskin yang disodorkan sebungkus nasi yang kita bawa. 

Kelak, di suatu Ramadan, kita bisa saja bersepakat untuk reuni dengan para sahabat, berkumpul dengan rekan kerja, komunitas, dan organisasi, namun bukan untuk membahas detail acara berbagi, lokasi jalan raya yang dipilih, format spanduk dan gaya foto yang estetis saat berbagi. Kita membahas aksi berbagi yang kita desain sesunyi mungkin, sesepi mungkin, yang bahkan tangan kiri kita pun tidak mengetahui bahwa tangan kanan kita baru saja memberi.

Kelak, di suatu Ramadan, jalan-jalan di sore hari masih lengang, namun rupanya, di subuh, pagi dan siang hari, semua organisasi dan komunitas itu telah bergerak melancarkan aksi senyapnya untuk bergerilya, menemui tiap rumah dan gubuk yang rapuh, memberi bahan makanan dan sedekah lainnya, berjabat tangan berterima kasih, lalu pulang. Kamera handphone masih mereka simpan di dalam tas, tidak dipergunakan sama sekali dalam kegiatan ini.

Kelak di suatu Ramadan, kita ingin menyaksikan sore yang lengang, dengan para daeng becak, sopir angkutan, petugas kebersihan yang masih tetap bekerja dengan hati yang tenang, karena mereka tahu, bahan makanan di rumah masih senantiasa cukup untuk menambah panjang nafas mereka. Orang-orang baik selalu datang diam-diam, menyodorkan bantuan, lalu pergi begitu saja.

Kelak di suatu Ramadan, para anggota organisasi, ikatan alumni dan komunitas akan bertebaran di mana-mana tanpa dress code tertentu, lalu diam-diam bergerak memasukkan amplop sedekah ke kantong para fakir, lalu berjalan pergi. Hilang ditelan sunyi. Lagi-lagi kamera handphone di mana? Ya, masih di dalam saku dan tas mereka.  

Dan tibalah saatnya, kelak, di suatu Ramadan, setiap instansi, organisasi, komunitas, dan ikatan alumni, akan kembali reuni. Bukan untuk membahas niatan berbagi di bulan Ramadan lagi, namun juga niatan memberi dan berbagi di bulan-bulan lainnya. Mereka sadar, ukuran lambung tidak pernah mengecil di luar bulan Ramadan.

Sungguh, tiada maksud hati ingin menggugat semua kebaikan-kebaikan yang telah kita jalankan selama ini, karena diri ini pun juga kadang masih terjebak dan terlarut pada aksi yang mainstream ini. Namun tiada yang salah, bila ini semua berangkat menjadi sebuah ajakan pada diri pribadi dan kita semua, untuk melangkah pada level kebaikan selanjutnya yang lebih mempertimbangkan esensi, bukan publikasi, lebih mengedepankan niat suci, bukan karena ingin dipuji. Sungguh tiada yang meragukan niat baik para tuan dan puan yang dirahmati Allah sekalian. Ini hanyalah ajakan melangkah pada jalan sunyi, yang mungkin kurang puja-puji, namun sungguh diberkahi ilahi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *