Aku mulai menjadi khatib Hari Raya ketika masih duduk di bangku Mts DDI Nurussalam. Waktu itu aku masih kelas 3. Karena sudah biasa isi khutbah jumat, Imam Desa memberikan amanah mengisi mimbar Hari Raya Idul Adha 2009 silam. Sekaligus waktu itu adalah peresmian Masjid baru di dusunku.
Seingatku belum ada yang pernah mengisi khutbah hari raya di desaku selain khatib yang telah berumur dan lebih berpengalaman. Yah, tentunya ini adalah pengalamanku, yang masih puber tapi sudah harus tampil di hadapan ratusan jamaah. Oh iya, di desasku, Bontotangnga, Kec. Bontolempangang, Gowa itu hanya memiliki satu lapangan terletak di salah satu ibu kota desa. Seperti kebanyakan muslim Indonesia umumnya, di desaku menggunakan lapangan sebagai tempat pelaksanaan hari raya, yang dilaksanakan sekian dekade sejak diprokamirkan oleh Persyarikatan Muhammadiyah.
Merupakan beban besar menjadi khatib di desaku karena ada beberapa sara’ (kegiatan-kegiatan tertentu) yang dianggap lebih penting daripada do’a. Sara’ ini sudah mendarahdaging bagi setiap orang di desaku dan mungkin juga di daerah lain. Sara’ ini dilakukan sejak khatib masih di rumah hingga memasuki lapangan/masjid, pada saat akan naik mimbar, sesaat sebelum mengucapkan salam hingga pasca pembacaan khutbah. Khatib dianggap sebagai simbol keberkahan. Olehnya itu di desaku yang bisa menjadi khatib adalah imam rawatib/pegawai sara’, imam dusun, imam desa, dan tokoh agama tertentu yang dianggap mampu mengemban amanah umat. Khatib ini juga sudah harus berkeluarga.
Nah bagaimana dengan Aku? Pengecualian karena mungkin pandangan masyarakat menganggap Aku bisa menjalankan amanah sebagai khatib sekalipun minus karena belum kawin. Eh nikah maksudnya.
Sara’ ini adalah tradisi yang hanya dilakukan oleh pelaksana agama yang dulu disebut Pinati. Pinati setara dengan imam desa untuk ukuran saat ini. Sara’ melebihi do’a. Karena doa hanya sebatas ucapan dan itupun hilang disapu angin. Begitulah kira-kira penjelasan singkat dari zara’. Sedangkan sara’ ini dilakukan dengan penuh khidmat tanpa kata-kata.
Sebelum khatib berangkat dari rumah harus melihat waktu. Sekitar pukul 06:20, khatib harus memastikan bahwa jamaah sudah memasuki lapangan/masjid. Khatib harus ditunggu oleh jamaah. Ini kesan bahwa sang khatib ibarat “juru selamat” yang akan mengucurkan barakka” (berkah ) selama siklus satu tahun ke depan. Pada saat akan berdiri khatib harus menahan nafas sejenak lalu menghembuskannya. Setelah itu keluar rumah dengan mendahulukan kaki kanan. Jarak antara rumahku dengan lapangan sekitar 300 meter. Aku memilih jalan kaki. Dalam perjalanan tidak boleh menengok kiri dan kanan, pandangan hanya fokus ke depan. Ketika sudah berada di atas mimbar hal pertama dilakukan adalah menyentuh paling-paling (pundak) setelah itu menyentuh dada. Makna dari gerakan ini adalah ketika khatib menyentuh paling-paling diharapkan masyarakat bisa saling sipammaling-malingi (saling menghargai satu sama lain ).
Makna gerakan kedua saat menyentuh dada adalah harapan agar sepanjang satu tahun ke depan pepohonan bisa menghasilkan buah-buahan yang baik dan bermanfaat serta subur. Ini adalah makna lain dari buah dada. Jadi kedua hal ini, saling menghargai serta suburnya tanaman dianggap sebagai simbol keberkahan di desa. Oleh sebab itu sang khatib harus melakukannya dengan penuh khidmat 2 sara’ tersebut.
Nah setelah 2 sara’ dilakukan barulah khatib mengucapkan salam sambil melihat seluruh jamaah. Selama pembacaan khutbah sang khatib dilarang menjilat bibirnya. Hal ini biasa lumrah dilakukan dalam keseharian tapi dalam khutbah Ied sangat dilarang. Makna dari pantangan ini adalah diharapkan selama setahun ke depan masyarakat terhindar dari fitnah atau perkara lain yang sumbernya dari mulut.
Jika beberapa sara’ di atas sudah dilakukan sang khatib, maka para tutoa (warga sepuh) memastikan bahwa satu tahun ke depan kehidupan bermasyarakat akan baik. Hal ini sudah terbukti karena sara’ ini dilakukan turun temurun dan itu mempengaruhi siklus kehidupan.
Puncak sara’ ini ketika memasuki khutbah kedua. Sementara khatib memulai khutbah kedua maka sebagian besar masyarakat berbondong-bondong menaiki mimbar sambil menyentuh khatib atau doa yang dibacakan. Setelah itu menyisipkan amplop ke dalam saku khatib sebagai bagian angngalle barakka’ ri katubbayya (mengambil berkah di khutbah kedua Ied).
Ngalle barakka’ pada saat pembacaan khutbah kedua termasuk tradisi yang sudah jarang dilakukan. Hanya beberapa desa di dataran tinggi Gowa yang masih menyuburkan tradisi ini. Secara pribadi Aku belum pernah menanyakan tradisi ini dari mana asal usulnya. Tapi jika melihat kenyataan yang ada ini bisa dipastikan bahwa tradisi ini adalah tabarruk.
Tabarruk sendiri adalah sebuah tindakan mencari keberkahan Tuhan melalui pengaruh orang-orang suci seperti Nabi, wali, orang saleh, kiyai, dan sebagainya yang dengan perantaranya diakui dapat mendatangkan kebaikan.
Objek yang dianggap bisa menjadi perantara kebaikan adalah doa dari khutbah. Kemudian khatib juga dianggap sebagai sumber keberkahan untuk siklus kehidupan selama satu tahun. Jadi seperti yang Aku katakan di bagian sebelumnya bahwa menjadi khatib di hari raya adalah amanah besar dari umat, dan ini beban mental.
Secara subjektif Aku merasakannya. Apalagi waktu itu Aku masih seorang pelajar yang tidak bisa menghindar dari aktivitas-aktivitas yang mungkin menodai citra sebagai khatib. Good looking lah istilahnya.
Setelah pelaksanaan Ied maka hari itu masih ada sara’ yang harus dilakukan, yaitu peci sebagai simbol kebaikan dan keberkahan tidak boleh dilepaskan selama sehari kecuali pada saat tidur, atau di dalam kamar mandi.
Tanpa ada pembelajaran khusus tentang tabarruk ternyata masyarakat sudah banyak yang mempraktekkannya. Mungkin jika ditanya alasannya apa maka jawaban tidak jauh dari ungkapan “ini warisan tu riolota (nenek moyang)” tanpa memperdulikan apakah ini boleh atau tidak mengingat tabarruk adalah persoalan khilafiah.
Tapi pada dasarnya angngalle barakka’ ini adalah kearifan lokal (local wisdom) yang mesti tetap dijaga keberlanjutannya. Apalagi tradisi ini sangat dipercaya masyarakat setempat memberi pengaruh berupa barakka’ (keberkahan) selama satu tahun kedepan.
Sering disapa Irwan Dg. Lengu. Pegiat literasi di Bontolempangan, Gowa, Sulsel.