Memang Kenapa Kalau Adik Lebih Dulu Menikah?

Dari kemarin banyak orang-orang terdekat yang menaruh simpati karena tahu adik laki-laki akan lebih dulu menikah. Ada yang terang-terangan mengatakan “kasihan” sampai yang berusaha menjaga perasaan dengan memberi support. 

Klise mungkin, tapi perasaan saya baik-baik saja. Tidak ada rasa kesal bahkan sesak karena didahului adik naik pelaminan. Jika soal ingin cepat menikah, mungkin sudah saya lakukan beberapa tahun yang lalu. Ketika seseorang meminta kesediaan saya. Namun belum bisa saya iyakan. Ada banyak hal yang membuat saya tidak siap bahkan sampai hari ini. Benar, bahwa tidak ada orang yang akan benar-benar siap. Tapi, minimal dalam mengarungi bahtera yang tidak mudah ada bekal yang telah kita persiapkan ; ilmu dan kemampuan finansial.

Pernah ada salah satu teman yang blak-blakan ngomong ke saya “Makanya tidak usah banyak memilih. Toh juga kamu tidak begitu cantik. Kalau sudah ada yang datang, terima saja niat baiknya laki-laki.” Aduh, sempit sekali cara berpikirnya. Jadi, kalau tidak cantik, boleh memilih dengan serampangan? Hanya karena tidak cantik, kita tidak perlu selektif memilih? Please deh, niat baik laki-laki saja tidak cukup gaes. Bicara kriteria, fisik laki-laki tidak menjadi soal. Saya cukup tahu diri, dari segi fisik saya tidak punya value apa-apa. Karena itu, Ada dua hal yang sulit sekali untuk saya tolerir. Kriteria yang menurut saya mesti ada didiri laki-laki. 

Pertama, saya sulit sekali mentolerir laki-laki yang isi kepalanya B aja. Bayangkan saja, ia yang akan menjadi nahkoda, kepala, dan pemimpin. Kalau tidak punya keluasan ilmu, lantas dengan cara apa ia membimbing? Kalau ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya, ayah harus jadi kepala sekolah yang cakap. No debat! Entah bagaimana hari-hari yang akan saya lalui ketika bertemu dengan laki-laki yang baru diajak diskusi saja sudah tidak nyambung. 

Mau diajak ngobrol soal parenting, dia bilang atur sajalah menurutmu. Asal uang belanja tetap saya berikan. Hasilnya kita susah untuk komitmen ke anak. Misalnya, saya komitmen mau anak menangis sampai tantrum tidak bakal saya turuti semua keinginannya. Biarkan dia belajar kalau tidak semua yg dia mau bisa didapatkan dengan mudah meski ia menangis sambil ngamukan. Tapi karena suami tidak tega, ia tetap memberikan dan mengomeli saya agar tidak keras jadi ibu. Hahaha. 

Bisa sejauh ini saya berpikir? Oh jelas! Saya tidak ingin menikah sekadar menikah, berhubungan biologis, melahirkan, lalu membesarkan generasi dengan ilmu ala kadarnya. Lihat cinta laura dengan kegelimangan hartanya. Mau beli apapun tentu bisa. Tapi uangnya lebih banyak dipakai untuk berbagi dengan sesama. Dari mana ia belajar? Orang tua yang berhasil jadi teladan! Orang tuanya membangun yayasan, menyekolahkan anak-anak di pelosok. Dan dari kecil Cinta sudah diajari banyak hal-hal positif. Ini karena orang tuanya lagi-lagi punya keluasan ilmu dalam mendidik.

Masih banyak sekali contoh-contoh penerapan ilmu parenting yang saya lihat dan amati di sekitar saya. Anak dari senior perempuan saya kak Ikha yang sedari kecil sudah dikenalkan dengan buku, sering diajak dialog, dan masih SD sudah kritis bertanya banyak hal ke ibunya. Terakhir, yang viral di tiktok Shabira Alula yang dari kecil sudah fasih ngomong dengan bahasa baku. Dari kecil ia belajar meminta maaf ketika salah, meminta tolong saat butuh bantuan, dan berterima kasih ketika dibantu atau diberi sesuatu. 

Dari banyak model parenting yang saya ikuti dan amati semuanya berasal dari usaha kedua orang tuanya untuk kompak sama-sama belajar. Ini baru soal parenting. Kita belum bahas tentang pekerjaan domestik yang tak melulu jadi kewajiban istri. Pun suami bisa ikut bantu juga, dan masih banyak soal-soal lainnya.

Jadi kalau sejak awal laki-lakinya minim literasi, baca buku kurang, nonton poadcast yang isinya mengedukasi jarang, bergaul dan gabung di ruang-ruang diskusi hampir tidak pernah. Jangan harap setelah menikah kamu bisa dengan mudah merubahnya jadi orang yang open minded. Kecuali, kalo hal-hal yang saya jelaskan di atas tidak menjadi prioritas. Kamu juga memang tidak menjadikan ilmu sebagai ukuran, ya sudah tak masalah. Menikah karena memang dia gagah, punya banyak uang, dan nanti bagaimana bisa beli mobil, rumah, emas, dsb. Silakan saja. Tapi, saya percaya kita akan dipertemukan dengan orang yang punya kecenderungan yang sama. 

Kriteria kedua, laki-laki harus punya pekerjaan. Laki-laki yang mau bekerja, tidak gengsian, dan bukan laki-laki yang mengharap warisan orang tua. Kenapa penting kemandirian ekonomi dalam membangun rumah tangga? Salah satunya dapat meminimalisir riak-riak pertengkaran. Kamu mau tetap hidup sederhana? Tak masalah.

Tapi, hidup sederhana pun butuh modal gaes. Saya tidak terima konsep mau diajak susah hanya karena laki-lakinya memang pemalas. Yang tepat adalah berjuang bersama. Saya jadi teringat kurir langganan saya. Pasangan suami istri yang kompak ngurir berdua. Kalau misalnya saya bisa pontang panting setiap hari masuk kerja, sebagai kepala keluarga ia mestinya punya harga diri bekerja keras mencari nafkah untuk keluarganya.

Ketika kita sepakat menikah, artinya kita juga sepakat untuk membangun generasi. Kita tidak hanya bertanggung jawab memenuhi kebutuhannya, tapi memastikan anak kita lahir dan besar di keluarga yang tepat. Menjamin pendidikannya juga mendukung setiap hal yang membuatnya bisa bertumbuh dan mengaktualkan potensi yang ia punya. Tentu, keluasan ilmu saja tidak cukup. Perlu dibarengi kemandirian ekonomi. Dari sanalah keluarga yang berkualitas bisa terwujud. Bukan mau mendahului takdir atau takabur. Tapi setiap perempuan punya harapan-harapannya, bukan?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *