Dakwah dan Ustaz Simulakra

Ustaz yang membenamkan dirinya dalam tanah namun dengan akar yang kuat, suatu hari nanti muncul dengan pucuk yang indah dan kokoh di permukaan, ketimbang “ustaz yang tampil tidak dengan persiapan agama yang mapan.

Penghujung Juli, tahun 2021. Saya, Daeng Syarif, Daeng Rizal Baji Areng, menyambangi acara yasinan dan zikiran malam Jumat bersama sekumpulan jemaah minoritas berasal dari pelbagai daerah, bermukim di tengah-tengah penduduk asli. Permukiman itu bernama Desa Padangloang, sebuah desa yang agak jauh dari kota, namun ramai bak desa Konoha dalam serial Anime Naruto.

Jemaah tak berani mencicipi mikrofon yang lagi nganggur. Walhasil, Daeng Syarif mempercayakan kepada saya untuk memandu pembacaan surah Yasin dan zikir. Tak lupa pula, Daeng Rizal si pemilik suara indah ketika melantunkan lagu yang berasal dari Negeri Jiran, turut mengada menjadi backing vocal.

Selepas kegiatan, kami pun bercengkerama dengan jamaah sembari menikmati hidangan jalangkote, donat, dumpi baruasa, dan suguhan teh hangat membuat dahaga saya terbayarkan. Walakin, berbeda dengan Daeng Rizal, dahaganya belum lunas, senyatanya ia pecandu kopi dan perokok berat, barangkali tersiksa tempo itu.

Di tengah menikmati hidangan, jemaah menyahut kami berdua dengan sebutan ustaz, “tabe ustaz, kikanrei!”. Sungguh sahutan yang indah nan mulia, namun tidak layak disandang oleh pendosa seperti kami berdua. Apatah lagi Daeng Rizal tampil dengan gaya parlente nya, rambut gondrong hati Hello Kitty, bermodalkan songkok dan serban memandu pembacaan surah Yasin dan zikir sudah ditempelkan kata “ustaz” pada diri kami. Menggelikan bukan? Kami seolah mengustaz: sedikit lagi menjadi ustaz. Padahal itu bukan profesi kami, yang satu seorang mahasiswa, yang satunya pabalu’ terang bulan.

Kiwari, memperhatikan laju sosial media dan besarnya potensi umat Islam di negeri ini, fenomena ngustaz pun turut menghiasi Ibu Pertiwi. Bermula dari proses menobatkan diri sebagai publik figur tersohor di media, lalu bermetamorfosis menjadi pendakwah. Siapa pun bisa menjadi ngustaz di negeri ini. Kendati, adakalanya terlahir dari ajang pencarian bakat, lihai menata kalimat yang menaruh minat umat, bermodalkan retorika atraksi kata-kata dibalut dengan pengetahuan agama yang belum teruji.

Menariknya, sejumlah umat muslim tanah air menaruh kepercayaan dan kekaguman kepada ngustaz dadakan ketimbang ulama yang ahli di bidangnya. Dahulu, untuk bisa tersohor di tengah masyarakat, seseorang mesti bersafar ke kota metropolitan yang serba ada. Walakin, saat ini dari bilik kamar di pelosok desa pun kita bebas berekspresi dan membentuk diri menjadi ngustaz cukup dengan android di genggaman kita. Gampang kan?

Fenomena ngustaz dadakan ini sebetulnya bukan hal baru. Sebelumnya, Gus Dur telah memprediksi munculnya orang-orang bukan lulusan pesantren, tetapi dipanggil masyarakat dengan sebutan ustaz.  Apatah lagi perkembangan media massa menjadikan jemaah mudah mengakses ustaz di luar sana sesuai selera. Namun, cenderung jemaah hanya mengonsumsi kemasan pendakwah ketimbang pesan-pesan moral yang disampaikan. Hingga, posisi sang Kiai sungguhan, lulusan pesantren, bertahun-tahun ngaji kitab kuning kehilangan panggung oleh sekumpulan ngustaz-ngustaz yang lihai mengotak-atik media massa. Umat menjadi rebutan ngustaz-ngustaz yang saling berebut jumlah viewers dan followers di sosial media.

Di sinilah kita menyaksikan simulacra bermain pada dunia dakwah. Namun, kita perlu menyamakan persepsi untuk mengadopsi buah pikiran pakar ilmu semiotika, Ferdinand de Saussure, dan teori simulacra Jean Baudrillard.

Tanda; sesuatu yang membentuk dan mengandung makna. Bisa berupa kata, gerak-gerik seseorang, raut wajah, dan bisa juga berupa benda. Penanda; bentuk atau media tanda, atau yang mewakili tanda. Petanda; makna dan fungsi dari tanda.

Contonhya; Tanda Islam. Bintang dan bulan sabit sebagai Penanda. Petandanya apa? Konon simbol ini pernah dipakai oleh kekaisaran Byzantium sebagai simbol kebesaran mereka. Tetapi, setelah Turki Utsmani merebut Konstantinopel, Sultan Muhammad II mengadopsi simbol itu menjadi bendera Turki Utsmani dengan Petanda (makna) kemuliaan, jadi Islam itu kemuliaan.

Proses Turki mengadopsi Penanda bintang dan bulan sabit sebagai Petanda kemuliaan merupakan bentuk memanipulasi tanda. Kiwari ini, banyak di praktekkan oleh penggelut media massa dan aktor film religi di mana Penanda dikemas dengan sangat canggih hingga isi pesan terkalahkan oleh pengemasan pesan.

Contohnya film ‘Ajari Aku Islam’ bergenre romansa religi yang dirilis pada tahun 2019 sebagai Tanda. Sang aktor Cut Meyriska dan Roger Danuarta serta identitas keislaman yang melekat pada aktor adalah Penanda. Petandanya apa? Film ini punya pesan dakwah tentang menjaga kesucian diri, tolong menolong dalam kebaikan, memuliakan orang yang lebih tua, dan keutamaan cinta kepada Sang Halikuljabbar. Namun, pada sebagian kalangan, termasuk ibu-ibu rempong dan remaja justru terfokus kepada kecantikan dan ketampanan aktornya, terjebak pada busana indah yang dikenakan sang aktor, juga terbuai oleh adegan romantisisme cinta yang tersaji, akhirnya yang dikonsumsi hanya Penandanya, lupa terhadap Petandanya.

Serupa dunia dakwah, implementasi semiotika dan simulacra pun bergelora. Nyata terlihat para ngustaz sebagai Penanda. Konon, Petandanya duduk bermajelis mendapatkan asupan gizi untuk batin kita.

Tapi, masa ini, umat malah terjebak pada ‘kekeliruan’. Umat lagi-lagi tidak mengonsumsi fungsi dan kebutuhan, tetapi mengonsumsi simbol dan gaya. Akibatnya, Kegiatan berdakwah yang dikonsumsi bukan pesan-pesannya, tapi ngustaznya. Seolah tak elok rasanya manakala ustaz yang dihadirkan bukan dari kalangan ngustaz viralisasi, punya debut di media massa. Padahal masih banyak kiai yang tidak terekspos di media. Mungkin saja selera umat tak lagi bertaraf, tak peduli soal uang, sumbangan se triliunan pun tak bermakna senyampang mengonsumsi ustaz yang tak terekspos oleh media. Selama bisa menghadirkan ngustaz viralisasi, maka level musala pun setara masjid kota-kota.

Umat senang mengonsumsi ngustaz viralisasi. Lahirlah apa yang dimaksudkan Jean Baudrillard, drugstore; toko obat. Para ngustaz tak melihat umat sebagai orang yang sehat, tetapi dilihat sebagai orang yang sakit, perlu diobati. Umat berposisi sebagai pasien manutan dan tidak berdaya apa-apa. Anehnya, para ngustaz melancarkan aksinya layaknya pendakwa. Ahh kadang-kadang ngustaz pun berprofesi ganda, pendakwa(h).

Bertebaranlah sampah-sampah visual berjenis pamflet-pamflet di dunia maya dan nyata memperlihatkan poster-poster para ngustaz lagi jualan obat, “hadirilah ceramah agama bersama ngustaz kondang, dengan tema merawat keimanan dengan dakwah yang menyejukkan”. Ini bagian dari marketing dakwah, tujuannya mendapatkan simpati dan cuan dari umat. Hadir dengan busana yang indah, sorban terlilit rapi, sesekali menggunakan mobil untuk menekan psikologi jemaah, “woalah ngustaznya pake mobil gaes. Malu kita kalau amplopnya sedikit”. Miris bukan?

 Ironisnya, ini berpengaruh kepada umat. Mereka selalu mengaitkan diri mereka dengan pamflet-pamflet yang terpampang. Muncullah keinginan membooking ngustaz viralisasi meskipun tak melalui aplikasi MiChat. Yah mungkin saja magnet ngustaz viralisasi teramat menggoda hingga gairah sulit terbendung, dan cuan pun ludes begitu saja.

Dunia simulacra menyetir manusia, dan menganggap dunia maya itu lebih nyata. Pada akhirnya kehidupan sosial akan mati. Dan, hanya menyisakan duka meratapi ruang publik yang binasa. Ke mana para ngustaz menggantungkan harapan?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *