Pesona Sari Diri Sang Maestro

Baskara mulai tenggelam. Namun, turbulensi di alam akal mulai terbit, lantaran demonstrasi si ‘suntuk’ tak bisa kubungkam. Ia nyata beringas mengganggu akalku. Pukul empat lima puluh dua terdengar, “kriiingg…”, bunyi ponselku jua mengusik pergolakan di alam akalku. Aku buka pesan di WhatsApp. Rupanya Bung Andi mengirimkan sebuah pesan berupa pamflet perihal mengikuti kelas menulis di Boetta Ilmoe, Bantaeng.

Lantaran lokasinya di kabupaten Bantaeng yang jaraknya lumayan jauh dari kota Bulukumba. Aku pun diselimuti kebimbangan. Aku berseliweran di wajah cermin memaksa akal bekerja, “apakah aku harus ikut atau tidak”, pikirku. Walhasil, setelah membatin lebih lama kunyatakan bahwa aku siap mengikuti kelas menulis itu.

Minggu, 06 Februari 2022. Aku dan Bung Andi pun bertandang ke Bantaeng. Mencantumkan nama di kertas putih yang tersedia sebagai peserta dalam kelas menulis itu. Di lokasi, hanya ada dua orang yang kutemui tempo hari.

Orang pertama, seorang pria bertubuh semampai, tinggi kira-kira seratus tujuh puluh sentimeter, tampilannya good looking, bisa membuat kaum Hawa histeris manakala mereka menengok ketampanan pria itu yang senyatanya mirip artis Korea. Barangkali memang ia anak negeri Korea berdomisili ke Indonesia.

“Ikbal Haming”, yah, begitulah bibir dan lidahku melafalkan namanya. Dia salah satu cenayang wanita yang jua berperan sebagai mentor buana literasi. Jika Kucing Bisa Bicara, salah satu masterpiecenya yang sampai detik ini, tak jua ia bersedekah kepada diriku.

Pria kedua yang kutemui tempo hari, tampil dengan kaus pendek berwarna putih dikombinasikan sarung bak kiai kampung yang sering kutemui di pelataran masjid. Ia berkepala plontos, berkacamata, ukuran tubuhnya mungil, namun, gagasannya raksasa. Sulhan Yusuf, yah begitulah aku mengenalnya. Itulah kali pertama aku melihatnya. Suaranya terdengar pelan ketika separuh mendengarkan pembicaraan penting perihal esai.

Tanpa berlama-lama, kelas pun dimulai. Aku terkagum-kagum mendengar penjelasan Sulhan Yusuf. Rupanya, di balik kepala plontosnya, ternyata tersimpan ribuan bahkan jutaan diksi-diksi indah yang membuat akalku jua kian bertambah liar mencari tahu siapa dirinya. Mungkin saja ia tak meletakkan songkok di kepala bukan untuk memamerkan kinclongnya. Barangkali, ia menganggap songkok itu menghalangi pengetahuan tembus masuk ke otaknya.

Selepas temu perdana ini, kami pun kembali di kediaman masing-masing. Karena jarak Bantaeng ke Bulukumba agak jauh, jua membuatku jenuh, aku mencoba melihat fenomena sekitar, lalu, menampungnya sebagai bahan dan tema yang akan kugoreskan di kertas menggunakan pena pujangga Bung Andi.

Sampai di rumah, tanpa menghela napas dengan baik, aku pun mencoba merangkum pelbagai ide-ide yang telah terpikirkan sepanjang perjalanan tadi. Ternyata ide-ide, menyapa di momen tertentu, hingga, pikiran pun memerkosa kata-kata, lalu pembaca mencumbui karya dengan serakah. Yah, tak apa, sebab serakah karena pengetahuan itu berfaedah.

Aku pun mulai menggoreskan pena di atas kertas. Mencoba menuliskan tentang laut, beberapa paragraf telah kususun, namun, tak  bisa kutemukan ide-ide dan diksi-diksi indah. Sebab otakku mulai buntu, akhirnya tulisan pun buntung. Aku mencoba lagi menuliskan tentang pesona Pantai Marina. Rupanya, beberapa kalimat telah terurai membuat aku jenuh. Lantaran tak tahu pena ini mau menggoreskan sesuatu apalagi. Walhasil, otak buntu, tulisan pun buntung.

“Laki-laki pantang menyerah dan rapuh”, gumamku. Kucoba menggunakan seluruh kemampuan intelektualku menuliskan apa-apa yang ada di sekitarku. Namun, yang kutemui di balik goresan-goresanku hanya tulisan ilmiah yang kaku. Walhasil, lagi, lagi, dan lagi,  otak buntu, tulisan pun buntung.

“Ya Tuhan, serumit ini menuliskan gagasan dengan bahasa yang sederhana”, keluhku. Rupanya, sesuatu yang tampak sederhana di pelupuk mata, ternyata terselip kata “sulit” di baliknya. Yah, “sederhana tapi sulit”.

Aku pun mulai melahap pelbagai tulisan-tulisan Sulhan Yusuf di Kala Literasi. Aku tak pernah ingin tahu siapa dia sebenarnya, seolah ada dinding menghalangiku untuk masuk dalam pikirannya. Namun, kecewaku pada kata “sederhana”, membuatku ingin tahu si botak jagoan itu.

Perlahan-lahan, tulisan-tulisannya membuat semangatku makin membara setelah menyaksikan pelbagai tulisannya bertebaran di jagat maya. Aku makin liar mencari tahu siapa dirinya. Bahkan di pencarian mesin Google Chrome aku menuliskan namanya. Baru kali ini, aku benar-benar penasaran terhadap seseorang hingga menuliskan namanya di mesin pencarian om Google. Tulisan-tulisannya bak sirkus, diksi-diksinya penuh atraksi, sangat lihai menata kalimat. Aku pun mulai tahu bahwa “waima, baskara, anggitan”, ternyata bukan nama orang.

Setelah teramat rakus membaca karyanya, aku pun berpikir bahwa, “yang mahal dari seorang penulis adalah proses kreatif mewujudkan ide-ide yang masih di alam akal menjadi karya nyata dalam bentuk tulisan”.

Sulhan Yusuf dalam tulisan-tulisannya, berupaya menggambarkan suasana, menemukan sudut pandang, gagasan, pemikiran, dan lainnya dalam bentuk esai. Metode ini tak hanya melibatkan pergulatan fisik, walakin jua pergulatan batin. Demikian adanya, sudah pasti kita butuh kata. Kata dalam esai, kata dalam hidup penulisnya. Pekerjaan memindahkan perasaaan dalam bentuk kata-kata, lalu menyata berupa tulisan, bukan hal yang mudah. Itulah harga yang harus dibayar seorang penulis.

Melalui tulisan-tulisannya, Sulhan Yusuf berhasil mengemas kebahagiaan, kekecewaan, kebimbangan, ketakutan, amarah, dan luka menjadi bait-bait dengan diksi yang menyentuh sekaligus menendang. Esai-esainya sedari awal membuatku terkagum-kagum dengan struktur penulisan esai yang runut dan sistematis. Aku meyakini, Sulhan Yusuf tahu cara menyicil warta lalu meremasnya dalam satu hentakan.

Memang esai kerap kali menjadi pintu masuk bagi “orang-orang baru” dari rumah besar kesusastraan. Esai tak selalu “tentang apa yang diceritakan”, tetapi jua tentang “bagaimana menceritakan”. Tak sedikit dari mereka melirik sastra, bermula dari membaca, lalu menulis pelbagai tulisan di sosial media. Mereka menyukainya, mereka bersulang bir merayakannya, senada dengan perkataan Sulhan Yusuf tempo itu, “seorang penulis berpeluang menjadi pembaca, dan seorang pembaca yang rakus, berpeluang menjadi penulis”.

Orang-orang akan menganggap bahwa pekerjaan menulis segampang menggerakkan jemari, lalu, mengetik status di WhatsApp. Oh tidak bestie. Tetapi, tak ada yang salah dengan anggapan itu. Hal-hal yang sulit, tak apa di kesampingkan terlebih dahulu. Lambat laun, kamu bakal mengerti bahwa di tubuh seorang penulis, terdapat banyak organ yang mesti kamu pelajari habis-habisan.

Inilah Esai, anggitan Muhidin M. Dahlan, memberitahu kepada kita bahwa esai lahir dari suatu pertemuan antara dunia imajinasi dengan dunia nyata yang melebur dalam diri seorang maestro literasi. Esai sejatinya hadir untuk mengubah cara berpikir, cara bertindak, dan cara mengolah rasa. Manakala engkau berani menuangkan lemak di pikiranmu menjadi esai, maka, engkau akan menemukan kesejukan dan harmoni dalam keseimbangan bahasa dan rasa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *