Santri-santriku Sayang

Kurang lebih sepuluh tahun saya mengajar mengaji anak-anak usia SD di sebuah masjid dekat rumah. Namun baru tahun ini saya dihadapkan pada sejumlah anak-anak yang belum cukup usia untuk mengikuti sebuah model pembelajaran model sekolahan. Di antaranya bahkan ada yang masih berusia lima tahun. Dengan rentang usia lima sampai tujuh tahun ini, mereka dikirim ke sebuah lingkungan belajar yang mengharuskan mereka duduk tenang, menyimak penjelasan guru. Di mana ruangan belajar tersebut tidaklah didesain sebagai tempat bermain. Melainkan diisi dengan deretan bangku dan meja untuk tempat mereka melakukan aktivitas menulisnya.

Dalam kondisi santri yang jumlahnya puluhan, ditambah lagi karakter mereka yang sudah pasti tidak sama, benar-benar membutuhkan energi dan konstentrasi yang amatlah besar. Walaupun mudah saja jika ingin menempuh cara instan, yakni dengan menyuruh anak-anak itu untuk diam, diam, dan diam setiap kali mereka mulai gaduh. Tetapi itu bukanlah iklim belajar yang sesuai dengan usia mereka yang memang masih dalam tahapan bermain. Rasanya tidak manusiawi jika tuntutan itu saya berlakukan.

Olehnya, terkadang saya membolehkan mereka bermain sepanjang tidak terlalu ribut. Karena bisa mengganggu anak-anak di ruangan lain yang juga sementara belajar. Oh iya, aula belajar anak-anak santri ini berada di lantai dua bangunan masjid. Cukup luas areanya. Bisa menampung hingga 70-an murid. Ruangan tersebut dibagi tiga dan masing-masing kelas hanya dipisahkan oleh dua lembar partisi dari bahan tripleks sebagai sekat. Saya bersama anak-anak kecil itu berada di kelas paling ujung. Adapun dua kelas lainnya berisi anak-anak santri yang usianya lebih besar, sekira pertengahan sekolah dasar. 

Pihak pengelola (Taman Pendidikan Quran) bisa saja menerapkan pembatasan usia penerimaan santri yang diperbolehkan mendaftar, tetapi kami punya pertimbangan lain. Bahwa ketika anak-anak kecil ini dikirim untuk belajar mengaji oleh orangtuanya, yang mana sekaligus belajar bersosialisasi dengan anak-anak lainnya, maka kami menganggap hal tersebut sebagai sebuah kesempatan turut andil membentuk karakter mereka sedari awal. Latar belakang keluarga yang berbeda-beda, tentunya menghasilkan ragam karakter dan kepribadian yang berbeda pula. Pemahaman akan hal ini penting dilakukan di awal, agar kelak dalam proses interaksi menghadapi mereka tidak berbuah kekecewaan.

Meskipun proses belajar-mengajar yang berlangsung hanya kurang lebih satu setengah jam saja setiap harinya. Namun besar harapan kami mereka akan menyimpan memori indah dan membahagiakan saat belajar di tempat ini. Semoga upaya memberikan mereka stimulus-stimulus positif dan membangun menjadi fondasi kuat yang akan berdampak  besar pada pembentukan kepribadian mereka. 

Episode tanpa kekerasan

Tahun-tahun awal ketika saya ikut ambil bagian mengajar di sini, pengetahuan saya masih kurang soal pemahaman tentang dunia kanak-kanak. Ketegasan saya menghadapi mereka masih kadang bercampur dengan emosi kekesalan. Terlebih jika menghadapi anak-anak jelang remaja dengan label “tertentu”. Yang mana orangtuanya sendiri pun sudah angkat tangan dengan perilakunya. Saya berpikir, sedikit tekanan dan petuah dapat memberi pengaruh pada perubahan sikap mereka. Hingga kemudian lambat-laun saya memegang sebuah pandangan baru, bahwa kelemah-lembutan jauh lebih memberikan efek positif dibandingkan dengan melontarkan kata-kata bermuatan kemarahan pada mereka. Yang terjadi justru perlawanan dan penentangan yang kian lama akan semakin menguat dalam dirinya.

Tidak mudah untuk tiba pada titik ini. Terlebih lagi jika kita berada dalam sebuah komunitas atau kerja sama tim. Yang mana gagasan-gagasan kita belum tentu bisa diterima oleh teman sejawat lainnya. Disebabkan pemahaman serta pengalaman masing-masing yang berbeda dalam rentang waktu sekian lama berkecimpung dalam dunia ajar-mengajar. Namun saya tetap percaya, keyakinan yang kuat akan mampu mematahkan apa pun rintangan yang muncul di sekitarnya. Dan pada akhirnya kekuatan teladan mampu memengaruhi dan menyihir lingkungan tertentu menjadi seperti apa yang diharapkan oleh orang tersebut.

Beberapa prinsip mendasar perlu diperhatikan sebelum mempraktikkan metode mengajar tanpa kekerasan ini, sebagai sebentuk upaya menyiapkan hati penuh welas asih. Pertama kita perlu meyakini bahwa anak-anak pada dasarnya tidak paham apa-apa sebelum orangtuanya atau siapa pun orang dewasa di sekitarnya mengajarinya tentang suatu hal. Kedua, karena pengetahuan yang masih minim, anak-anak belum banyak tahu soal benar dan salah. Sehingga mereka belum bisa dihukumi sepenuhnya jika melakukan sebuah kesalahan. Maka dari itu, mereka perlu ditanya terlebih dulu. Mengapa mereka melakukannya? Apakah sudah tahu kalau perbuatan tersebut tidak baik dan tidak dibenarkan? Dan seterusnya. Ketiga, anak-anak adalah makhluk sosial yang cinta damai. Sesungguhnya mereka tidak punya niat buruk berbuat sesuatu yang menyakitkan pada orang lain. Mungkin mereka hanya meniru apa yang dilakukan oleh orang-orang terdekatnya. Atau boleh jadi mereka mengalami pembiaran dalam berperilaku tertentu, sehingga mengira hal tersebut sebagai suatu hal yang boleh dilakukan.

Di atas segalanya, sangat penting menanamkan dalam keyakinan, bahwa anak-anak sungguhlah tidak pernah punya niat melakukan perbuatan buruk. Mereka hanya tidak tahu bagaimana cara yang tepat dalam melakukannya. Maka sangatlah perlu menanamkan prasangka baik dalam hati setiap kali menghadapi perilaku buruk mereka. Memandang dalam-dalam ke wajahnya, tatap matanya, sambil tersenyum, beritahu ia bagaimana seharusnya bertingkah baik.

Sebagai balasannya, anak-anak ini akan memandang kita dengan sorot mata yang seolah berkata, “Terima kasih telah menerima dan memahamiku dengan begitu baik dan penuh penghargaan. Percayalah, aku pun akan tumbuh besar dan percaya diri, sebesar keyakinan dan harapanmu kepadaku.” 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *