Petani: Diagungkan dalam Ucapan, Didustakan dalam Tindakan

“Selisihnya banyak dibanding tahun lalu,” kata seorang petani dengan senyum getir, kala uang hasil penjualan jagung ia terima. Panen lalu, harga jagung masih lumayan, sekarang tak ada angin, tak ada hujan langsung turun drastis. Ini menjadi pukulan telak lagi-lagi bagi para petani, di saat harga bibit, pupuk, dan operasional pertanian lagi tinggi-tingginya, harga jual komoditas justru terjun bebas sebebas-bebasnya. Ironis memang.

Ini tak hanya dikeluhkan petani di desa saya, tapi juga petani di seluruh penjuru negeri. Di Jakarta puluhan petani muda melakukan unjuk rasa di depan Kantor Kementerian Pertanian RI Agustus lalu. Mereka memperkarakan kesejahteraan petani. “Kami meminta keadilan untuk petani, karena bapak-ibu yang duduk harus melihat sendiri keadaan di bawah. Harga-harga (komoditas pertanian) yang dijual petani turun, tapi di pasar harganya melambung. Ini aneh tapi nyata.” Kata seorang orator di lokasi unjuk rasa, sebagaimana dikutip Tempo.

Hal ini seolah menegaskan kegagalan pemerintah memberikan kepastian bagi petani. Di saat pemerintah mendorong regenerasi dengan mengajak milenial untuk bertani, pemerintah melupakan hal yang paling dibutuhkan anak muda: kepastian. Milenial mungkin akan lebih memilih merantau ke kota mencari pekerjaan, meninggalkan tanahnya yang subur di desa, tinimbang banting tulang tanpa kepastian.

Bayangkan saja, kala bertani sekian bulan, mereka mesti was-was terkait harga jual komoditas nantinya. Ketika merantau dan memperoleh kerja, mereka digaji perbulan. Milenial yang butuh kepastian hidup tentu akan memilih yang kedua. Apatah lagi anak petani yang sudah menyaksikan orang tuanya babak belur bekerja, tapi hasilnya tak seberapa.

Ini dibuktikan pula oleh data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Survei Pertanian Antar-Sensus 2018, mengatakan bahwa jumlah kepala rumah tangga petani di bawah umur 35 tahun hanya 2,91 juta atau 10% tinimbang kelompok umur di sektor lainnya. Ancaman regenerasi ini tentu tak hadir dari ruang hampa, melainkan dipengaruhi oleh pelbagai faktor, salah satunya karena tidak menjanjikannya pekerjaan sebagai petani dibanding sektor lainnya.

Padahal, pertanian merupakan salah satu penopang perekonomian saat pandemi. Menurut data BPS, saat perekonomian nasional negatif 3,49%, sektor pertanian justru tumbuh positif 2,15% pada tahun 2020. Namun, kenapa stabilnya sektor pertanian, tak dibarengi pula dengan peningkatan kesejahteraan petani? Pertanian seolah dikelola pemerintah setengah hati, makin membikin petani setengah mati.

Jadi, target 2,5 juta petani dalam lima tahun yang dipersiapkan menteri pertanian, Syahrul Yasin Limpo, sepertinya tak lebih dari omong kosong belaka, jika melihat fakta yang berceceran di lapangan.

Supaya milenial tidak denial, pertama-tama pemerintah harus bisa menyelesaikan problem lama dan berlarut-larut sektor pertanian, seperti ketersediaan pupuk bersubsidi untuk petani, karena dari tahun ke tahun, pupuk bersubsidi menjadi langka, akibatnya biaya produksi membengkak. Lucunya, biaya produksi meningkat, tapi harga jualnya fluktuatif. Kedua, pemerintah dan seluruh komponennya, harus menjamin harga panen agar stabil, khususnya saat panen terjadi.

Dua masalah klasik ini mesti diselesaikan segera, sebab makin berlarut, maka hilang pula semangat rakyat untuk bertani. Jangankan milenial, petani generasi baby boomer pun akan menyerah. Akhirnya, cangkul ditanggalkan, lahan ditinggalkan, tanah dijual untuk ditanami perumahan. Muaranya, makin banyak orang tua yang berpesan pada anaknya, “Sekolah yang benar, Nak. Supaya tak siksa jadi petani.”

Lalu, harus memulai dari mana? Saya kira sorotan aksi massa Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Partai Buruh dalam Peringatan Hari Tani Nasional September 2022, patut dipertimbangkan.

“Kita menjadikan Hari Tani Nasional 2022 sebagai upaya refleksi situasi agraria, nasib dan kesejahteraan petani dan orang-orang yang bekerja di pedesaan di Indonesia. Kita meyakini bahwa perombakan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, dengan redistribusi melalui reforma agraria, merupakan jalan untuk mewujudkan negara sejatera—di mana kemakmuran rakyat dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Tegas Saragih, ketua SPI.

Massa aksi menyoroti sepuluh pandangan terhadap pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. Pertama, ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah. Berdasarkan data BPS, ketimpangan kepemilikan tanah pada 2013 mencapai 0,68, berarti 68% sumber daya tanah yang ada dikuasai oleh hanya 1% kelompok penduduk Indonesia. Ketimpangan ini yang menyebabkan konflik agraria.

Kedua, kemiskinan masih didominasi wilayah pedesaan. Jumlah pendidik miskin di desa mancapai 14,34 juta orang, sedang di kota 11,82 juta orang.

Ketiga, penyelesaian konflik agrarian masih lambat. SPI mencatat terjadi 104 kasus konflik agraria selama tahun 2021. Keempat, progress redistribusi tanah bagi petani melambat. Reforma agrarian cenderung difokuskan hanya pada sertifikasi dan legalisasi, bukan upaya merombak ketimpangan penguasaan tanah dan menyelesaikan konflik agraria.

Kelima, lahirnya UU Cipta Kerja yang berseberangan dengan semangat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 dan reforma agraria sejati. Keenam dan ketujuh adalah tidak dijalankannya UU No. 18 tahun 2012 tentang pangan dan UU No. 19 tahun 2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani (UU Perlintan).

Kedelapan, amburadulnya pendistribusian pupuk subsidi yang berakibat pada kelangkaan, sehingga banyak petani tidak mendapatkan pupuk subsidi. Sedang, untuk pupuk non subsidi mengalami kenaikan harga yang cukup pesat.

Kesembilan, tidak adanya jaminan harga yang layak bagi petani. Seringkali, harga komoditas melonjak saat musim tanam, tapi akhirnya itu hanya harapan palsu semata, karena ketika musim panen tiba, harga kembali anjlok. Kesepuluh, tingkat kesejahteraan petani yang belum terwujud, ini bisa dilihat dari fluktuatifnya Nilai Tukar Petani (NTP).

Sekotah sorotan ini, jika dievaluasi dan diperbaiki sungguh-sungguh, akan membawa transformasi dunia pertanian. Pemerintah harus selalu berpihak pada para petani, mencintainya dengan tulus, sebab merekalah yang tiang penyangga perut rakyat, yang memastikan negara tetap kuat. Jangan sekali-kali petani diingat hanya saat menjelang pemilu dan kala pendataan warga miskin.

Demikianlah petani kini. Profesi yang sering diagungkan dalam ucapan, tapi didustakan dalam tindakan. Disebut pahlawan pangan, tapi tak diperhatikan. Pemerintah mungkin lupa bahwa di tiap perjamuan makan di istana, petani hadir menyajikan berpiring-piring nasi, meski piring di rumahnya hanya berisi harapan semu dan doa perbaikan hidup.

Patutlah Brenda Schoepp, seorang penulis pertanian mengingatkan, “Kakek saya pernah berkata bahwa sekali dalam hidup Anda, Anda membutuhkan seorang dokter, seorang pengacara, seorang polisi, dan seorang pengkhotbah, tetapi setiap hari, tiga kali sehari Anda membutuhkan seorang petani.”

Kredit foto: mediaindonesia.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *