Media Sosial dan Perannya dalam Mewujudkan Pemilu yang Bersih dan Menggembirakan

Setahun lagi kita memasuki pemilihan umum, setiap perangkat dari penyelenggara hingga pengawas tengah sibuk bersiap menghadapi kontestasi besar tersebut. Pesta demokrasi yang lama dinantikan dari jajaran elit hingga akar rumput ini, secara sadar atau tidak sedang berlangsung di sekitar kita, masih dengan gerakan yang senyap namun terstruktur. Salah satunya adalah melakukan soft campaign secara massif di halaman-halaman media sosial.

Pada Januari 2022 tercatat 191 juta penduduk Indonesia menjadi pengguna aktif media sosial. 88,7% di antaranya menggunakan whatsapp. Lalu disusul facebook, instagram, tiktok, dan telegram. Nyaris semua informasi tersampaikan dalam hitungan detik sehingga media sosial dipastikan bisa menjadi ruang tanpa sekat bagi siapa saja untuk melakukan kampanye secara cepat dan murah.

Kita semua mungkin masih ingat bagaimana fenomena pemilu 2014 mencuri perhatian netizen Indonesia. Semua pembicaraan di ruang keluarga hingga tempat umum berawal dari wacana di media sosial. Hal ini disadari oleh kedua pasangan calon Jokowi-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan dengan sigap dimanfaatkan. Terlebih untuk menyentuh segmen pemilih khusus seperti pemula dan muda melalui aplikasi yang mereka gunakan sehari-hari.

Ikatan sosial secara virtual pun terbentuk dengan sendirinya dan terbagi menjadi dua kubu kala itu. Meme saling ejek diunggah setiap hari, perang issue tak terhindarkan, riuh debat kusir di kolom-kolom komentar, informasi dari pusat kota Jakarta sampai ke pelosok dalam beberapa kedipan mata.

Semua segmen masyarakat tiba-tiba lihai berbicara strategi politik tanpa dasar ilmu. Dan sayangnya, keributan di media sosial tak jarang terbawa ke kehidupan bermasyarakat secara nyata, banyak silaturahmi rusak, saling blokir di aplikasi, saling tak sapa ketika berpapasan. Hal ini merupakan dampak tak terhindarkan pada kontestasi-kontestasi sebelumnya dan bisa dijadikan pelajaran untuk pemilu mendatang.

Dampak buruk perbedaan dan pertentangan pilihan politik terhadap tatanan sosial masyarakat Indonesia seyogyanya dapat diminamilisir sejak dini. Tentu dengan sinergi KPU, DKPP, Bawaslu, peran pemerintah dalam hal ini Kemkominfo dan aparat hukum.

Langkah-langkah sosialisasi dan edukasi terkait penyelenggaraan dan pengawasan pemilu sudah harus mulai dilakukan dengan menggandeng para “influencer” dan para kreator konten berpengaruh, masyarakat melalui media sosialnya sudah harus terus dipahamkan kaidah dasar dan tujuan pemilihan umum untuk kebaikan bersama. Bahwa kekuatan bangsa ini bergantung pada sistem demokrasi yang jujur, adil, mandiri, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif, dan efisien. Sehingga mereka juga bisa terlibat dalam desiminasi pemilihan umum secara langsung. Setelah masyarakat paham tentang dinamika politik ruang digital, mereka akan lebih bijak menanggapi informasi yang mereka baca dan tidak mudah tergiring.

Pihak KPU atau Bawaslu juga bisa membentuk satuan khusus untuk menerima dan menanggapi laporan masyarakat atas pelanggaran pemilu yang mereka dapati. Satuan khusus tersebut hadir di antara aplikasi-aplikasi media sosial untuk melakukan pengawasan langsung. Berbaur dengan pengguna media sosial lainnya dan bisa di-tag jika terjadi pelanggaran.

Selanjutnya Kemkominfo dalam hal ini sebagai pemangku kepentingan pelaksanaan pemilu, mengambil langkah diantaranya membuat sistem penapisan dan perampingan data pengguna media sosial. Menyeleksi dan menghapus nomor telepon tidak valid yang didaftarkan di media sosial sehingga tidak dimanfaatkan pihak tak bertanggung jawab untuk membuat akun palsu pemicu keributan dan penyebar hoax. Melakukan sistem pengawasan terpadu terhadap aktifitas media sosial mencurigakan seperti terbentuknya grup-grup facebook, whatsapp maupun telegram dengan misi khusus.

Maraknya konten hoax dan disinformasi sudah terlihat pada masa Pemilu 2014 sehingga Kemkominfo melalui penggunaan drone siber dan patroli siber lebih bersiap menghadapi  Pemilu 2019. Sehingga diharapkan ada langkah lebih jitu lagi menyiapkan tenaga-tenaga IT untuk bersiap di pemilu 2024 mendatang, tentu dengan tetap berasaskan etika dan tanggung jawab serta jaminan keamanan data publik.

Jika semua elemen berkolaborasi secara maksimal, maka pelaksanaan pemilihan umum sebagai sarana kedaulatan rakyat akan berlangsung sesuai cita-cita Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

  • Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat…

  • Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI. Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan menyusut. Barangkali banyak soal…

  • Setiap  keluarga,  mestinya punya  ritus. Ritual yang bakal menjadi tali pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas. Demikian…

  • Scribo Ergu Sum—Aku Menulis, Aku ada (Robert Scholes) Kelas menulis sudah sampai pekan 12.  Sampai di sini kawankawan sudah harus memulai berpikir ulang. Mau menyoal kembali hal yang dirasa juga perlu; keseriusan. Keseriusan, kaitannya dengan kelas menulis, saya kira bukan perkara mudah. Tiap minggu meluangkan waktu bersama orangorang yang nyaris sama kadang tidak gampang. Di sana akan banyak kemungkinan, bakal banyak yang bisa terjadi sebagaimana lapisan es di kutub utara mencair akibat global warming. Di situ ikatan perkawanan bisa jadi rentan musabab suatu soal sepele misalkan perhatian yang minim, perlakuan yang berlebihan, atau katakata yang menjemukan, bisa mengubah raut wajah jadi masam. Makanya di situ butuh asah, asih, dan tentu asuh. Agar semua merasai suatu pola ikatan yang harmonik. Sehingga orangorang akhirnya bisa membangun kesetiaan, tentu bagi keberlangsungan kelas literasi PI. Begitu juga diakhir pekan harus menyetor karya tulis dengan kemungkinan mendapatkan kritikan, merupakan juga aktifitas yang melelahkan. Menulis, bukan hal mudah di saat dunia lebih mengandalkan halhal instan. Menulis butuh kedalaman dan waktu yang panjang. Menulis membutuhkan daya pikiran dan pengalaman yang mumpuni agar suatu karya layak baca. Karena itu kawankawan harus punya persediaan energi yang banyak. Biar bagaimana pun tujuan masih panjang, bahkan tak ada terminal pemberhentiaan. Walaupun tujuan selama ini hanya mau menghadirkan penulispenulis handal. Akibatnya hanya ada satu cara biar punya stamina besar; rajin bangun subuh. Saya kurang yakin apakah memang ada hubungan antara keseriusan dengan bangun di waktu subuh? Tapi, sampai pekan 12, keseriusan itu mesti terwujud di dalam karya kawankawan. Keseriusan yang mau membina diri. Keseriusan memamah berbagai bacaan, mau melibatkan diri di berbagai forum diskusi, dan banyak berlatih menulis. Kalau tiga hal ini disiplin dilakukan, saya harap dari komunitas sederhana kita bisa tumbuh orangorang yang tulisannya bakal ditunggu kedatangannya. Belakangan cara kita membangun komitmen sebagai penulis pemula ditandai dengan menerbitkan blog pribadi. Hal ini satu kemajuan menyenangkan sekaligus menyakitkan. Blog itu semacam buku harian. Akan membahagiakan jika di situ kawankawan rajin mengisinya dengan berbagai tulisan. Melihatnya dibaca banyak orang pasca diterbitkan. Juga melihatnya dapat membuat orang senang membacanya. Menulis begitu menyakitkan karena prosesnya sama dengan kelahiran seorang anak. Di situ ada ide yang dikandung, tersedimentasi sekaligus. Akibatnya, tiap tulisan dirasa punya masa kandungan. Kapan dia lahir tergantung lamanya waktu di dalam kandungan. Tulisan sebagaimana takdir sang anak, tak bisa dipaksakan…

  • Salah seorang putri saya,  yang masih duduk di sekolah menengah pertama, mengenakan seragam porseninya, T-Shirt yang bertuliskan Exiurose. Semula saya menduga itu adalah suatu slang yang belum ramah di pengetahuan saya. Maklum saja, anak-anak muda sekarang cukup kreatif melahirkan istilah-istilah baru. Rupanya, Exiurose adalah kependekan dari Experience of Our Purphose, yang dimaknakan kurang lebih, pengalaman…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221