Sekolah, Guru Ann, dan Perkara Cita-Cita

Dengan perahu, Guru Ann menemui Chon, ia memintanya ke sekolah, mengikuti ujian semester, supaya bisa lulus. Tapi Guru Ann kembali dengan kecewa, muridnya itu ingin tetap di rumah, membantu ayahnya memancing. Beberapa waktu lalu, di sekolah kapal itu, si Chon memang pernah mengutaran keinginannya.

“Saya tidak suka matematika, tidak apa-apa kan saya tidak mempelajarinya?” Kata Chon.

Tidak mempelajarinya? Balas Guru Ann heran, “Jadi bagaimana kau bisa jadi dokter atau insinyur?”

“Saya tidak ingin menjadi seperti mereka. Saya ingin menjadi nelayan,” jawab Chon yakin.

“Serius?” Guru Ann seolah tak percaya.

“Ya, Ayahku nelayan. Kakekku juga nelayan.”

“Chon, ada banyak hal yang bisa kau lakukan. Kau masih kecil, jadi kau punya banyak waktu untuk memikirkannya… Chon, apa pun yang terjadi, jangan berhenti sekolah.” Pesan Guru Ann.

Adegan di atas memang tidak terjadi di Indonesia, juga tak ada di dunia nyata, melainkan hadir dalam kepala Nithiwat Tharathorn, sutradara film drama Thailand Teacher’s Diary. Meski begitu, perdebatan Guru Ann dan Chon di depan papan tulis kapur pada suatu hari itu, terasa begitu dekat dengan realitas pendidikan kita.

Saya memahami perasaan Guru Ann. Lima tahun lalu, saya pernah mengalami hal serupa. “Mau jadi petani, Pak,” jawab seorang murid, kala saya tanya terkait cita-citanya. Meski awalnya ia sulit berkata-kata, barulah setelah diksi “cita-cita” diganti dengan “mau jadi apa”, ia lekas menjawab.

Saya tentu berharap ia menyebut pekerjaan lain yang mentereng, paling tidak yang lebih menghasilkan, seperti teman-temannya yang lain. Namun, barangkali, cita-cita itu sendiri asing baginya. Agak sulit menerka masa depan, jika bapak ibu jadi TKA di Malaysia, jika sekolah adalah opsi kedua setelah rumput kambing.

Atau, barangkali cita-cita bagi sebagian anak adalah sebuah utopia, atau kata abstak, atau kumpulan pekerjaan-pekerjaan yang acapkali mereka saksikan di lingkungannya—dan gawainya. Laiknya seorang anak, yang bermimpi menjadi guru, karena melihat gurunya memperoleh banyak hadiah makanan saat pembagian rapor tiba. Bukan karena ingin mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Motifnya memang jauh dari kata heroik,  mungkin itulah sebabnya, orang dewasa menertawakannya.

Tapi, apakah Chon tidak pantas belajar matematika hanya karena ia hendak menjadi nelayan? Apakah murid saya yang mau jadi petani itu akan sia-sia saja sekolah? Apakah sekolah hanya milik para calon sarjana, dokter, dan insinyur? Tentu tidak.

Kekhilafan paradigmatik ini bermula, sebab masyarakat kita masih memandang sekolah, seperti pabrik yang menyulap anak-anak mereka yang manis menjadi pekerja-pekerja materialis. Mereka berpikir sarjana, dokter, dan insinyur lebih menjanjikan secara ekonomis, karenanya, ia akan lebih membahagiakan. Orang seperti Chon selamanya tidak akan bahagia, karena ia hanya seorang nelayan.

Guru Ann—sebagaimana guru-guru yang lain—ingin melihat muridnya tumbuh lebih baik. Jika mungkin, menariknya keluar dari kubangan lumpur kemiskinan. “Anda ingin anak Anda memancing ikan seumur hidupnya?” Gugat Guru Ann pada ayah Chon. Tapi bagi ayah Chon, sehari tidak memancing, adalah satu hari tanpa makan. Pilihannya terkadang hanya antara mengisi kepala atau perut. Serumit itu.

Banyak anak-anak seperti Chon di Indonesia, mereka yang bersekolah sembari bekerja membantu orang tua, yang kemudian membentuk “cita-cita” di kepalanya. Sekolah tak boleh memberikan pilihan mati antara sekolah atau bekerja. Sebab, bagi keluarga anak, pilihan-pilihan itu melukai. Ada anak yang hanya tinggal berdua dengan neneknya yang sepuh, hingga ia mesti pandai membagi waktu bersekolah dan membantu bekerja.

Irham Ali Saifuddin, dari International Labour Organization (ILO) mengatakan bahwa harus dibedakan antara pekerja anak dan anak yang bekerja. Kalau yang dilarang itu pekerja anak. Sehingga, apabila orang tua sekadar meminta bantuan anak, tidak harus masuk dalam kategori mempekerjakan anak. Selama anak masih mendapatkan hak dan bisa menjalani kewajibannya.

Meminta Chon dan murid saya membanting setir cita-citanya sungguh tak patut. Menjadi nelayan dan petani yang berpendidikan bukanlah sebuah anomali, justru kita butuh orang-orang macam mereka. Dan, sekolah sudah semestinya membekali mereka dengan ilmu pengetahuan yang dibutuhkan untuk bisa menjalani kehidupan.

Olehnya, sudah saatnya tujuan-tujuan belajar disederhanakan, mendekatkannya pada problematika keseharian. Murid belajar matematika, supaya ia kelak jadi dokter atau insinyur itu tak salah, tapi tujuan belajar bisa amat personal. Sebab, jika tujuan belajar itu disodorkan pada Chon dan murid saya, tentu ia akan nirgairah, sebab dokter dan insinyur bukan kehendak mereka.

Maka tepatlah ketika Guru Song—guru baru yang menggantikan Guru Ann yang pindah ke sekolah lain—meminta Chon kembali ke sekolah. Ikutlah denganku ke sekolah, kata Guru Song, kau bisa menolong ayahmu nanti, “Kalau kau sekolah, tidak ada yang bisa menipumu.” Di sinilah tujuan belajar menjadi amat personal bagi Chon, mengingat ia seorang nelayan. Jika bisa bersekolah dengan baik, belajar matematika dengan tekun,  maka ia bisa menjual hasil lautnya tanpa khawatir salah hitung dan ditipu orang lain. Dengan begitu, Chon juga bisa hidup bahagia, tinimbang ia jadi dokter atau insinyur—pekerjaan yang tak dikehendakinya.

Dalam pengantarnya pada Finnish Lesson karangan Pasi Sahlberg, Haidar Bagir mengingatkan bahwa segala macam keterampilan dan kemampuan akademik, merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu kebahagian lahir batin. Sebab, banyak negara yang makmur, hanya melihat tujuan pendidikan sebagai jalan mencapai kemakmuran material setinggi mungkin. Maka, kadang ditemui adanya negara yang penguasaan sains-teknologinya tinggi, tapi terpuruk dalam urutan indeks kebahagiaan.

Kepada Chon dan murid saya itu, entah nelayan, petani, polisi, tentara, dokter, apa pun mimpimu di masa datang, saya ingin mengulang pesan Guru Ann, “Berjanjilah padaku, apa pun yang terjadi, jangan berhenti sekolah.” Sebab, pendidikan, kata Du Bois seorang pengarang Amerika, bukan hanya mengajarkan kerja, tapi juga kehidupan.

Kredit gambar: shutterstock.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *