“Kebanyakan manusia tertidur, mereka tersadar saat mereka mati” Rasulullah saw.
Lazim adanya, jika sebagian manusia takut akan kematian. Umumnya kematian dianggap pemutus segala kelezatan duniawi paling mengerikan, padahal hampir setiap hari kita mendengar atau melihat peristiwa kematian. Kematian merupakan proses kehidupan. Kita mengenal betul beragam kematian sepanjang sejarah manusia, mati sakit, bunuh diri, perang, kecelakaan, melahirkan, tenggelam dan masih banyak lainnya. Meski demikian, kita masih takut mati.
Sesungguhnya rasa takut mati tidaklah masuk akal, bukankah setiap yang bernyawa pasti mati, lalu apa yang menyebabkan sebagian orang takut. Menurut Komaruddin Hidayat, penulis buku Psikologi kematian, mengatakan, rasa takut mati itu berakar pada keinginan laten untuk selalu hidup nyaman. Rasa itu kemudian beranak pinak, yaitu takut akan bayang-bayang ketakutan itu sendiri. Sehingga muncul ungkapan, musuh terbesar dan terdekat kita adalah rasa takut itu sendiri yang berakar kuat dalam diri.
Tentu, motif rasa takut bersifat personal, tergantung tingkat kesadaran masing-masing. Semakin tinggi intelektual dan spiritual seseorang, makin mendambakan kematian. Hal itu tergambar menjelang detik detik terakhir kematian Jalaluddin Rumi, manakala seorang temannya menangis sambil berdoa untuk kesembuhannya, tapi Rumi menjawab, “Hai kawan, tinggal sejenak langkahku untuk memasuki kehidupan yang jauh lebih indah dari dunia ini, tetapi mengapa engkau menangis sedih dan menahan-nahan diriku untuk menunda babak kehidupan baru yang sudah aku tunggu-tunggu.”
Hidup dan mati sebuah keniscayaan, setiap makhluk akan mengalaminya. Tanpa disadari, setiap waktu kita mengalami kematian, sebab, kesempurnaan akan digapai melalui jalan kematian, sebagaimana kata Rumi, dulu aku mineral, lalu mati kemudian menjadi tumbuhan, dari tumbuhan aku mati, lalu menjadi hewan, dari hewan aku mati lagi, lalu menjadi manusia. Lalu mengapa mesti takut mati, karena kematian tak membuatku kekurangan apa pun.
Hidup ini senantiasa bergerak. Sadar maupun tak sadar, kita telah berkali-kali mati dan berkali-kali hidup. Esoteris tubuh, pikiran, jiwa, alam sekitar dan lainnya, kesemuanya bergerak. Kemanakah gerak itu berakhir? Pada akhirnya akan bergerak menuju ilahi. Tuhan yang senantiasa bersama kita, bertahta di dalam wujud kita yang paling batin. “Dan sesunguhnya kepada Tuhanmulah kesudahannya.” [53:42]
Kematian yang kita alami dari waktu ke waktu menandakan kita berjalan menuju titik tujuan, yaitu keabadian. Kesadaran akan tujuan hidup akan membuat kita optimis menjalankan kehidupan. Tentu, dengan kesadaran yang rasional. Alangkah absurdnya kehidupan ini jika seorang pahlawan disamakan dengan seorang pecundang, andaikata tak ada mahkamah pengadilan akhirat yang betul-betul adil. Di kehidupan akhirat lah neraca keadilan benar-benar ditegakkan, segala pahala dan dosa dibalas seadil-adilnya. Itulah mengapa manusia takut mati, alasan lainnya, disebabkan seseorang banyak berbuat dosa, lebih banyak kejahatannya ketimbang kebaikannya, sehingga takut akan siksa di akhirat kelak.
Ibnu Sina, dikenal juga Avicenna di dunia barat, seorang filsuf besar, membabarkan tentang kematian. Menurutnya, tiga alasaan seseorang takut kematian, pertama, seorang tidak punya bekal cukup menghadapi kematian. Kedua, dalam benaknya, kematian adalah sesuatu yang menyiksa. Ketiga, tatkala hati seseorang telah terikat dan terpaut kenikmatan-kenikmatan dunia, padahal alam akhirat lebih sempurna dari dunia. Lebih lanjut, Ibnu Sina mengatakan, “jika kamu lari dari kematian, maka, kematian akan menghampirimu.” Bukankah tidur di malam hari adalah contoh kecil dari kematian. terangnya.
Lalu, bagaimana kita memaknai kematian? Mengetahui dan meyakini kematian tidaklah cukup, hakikatnya, bagaimana kita terus menyadari dalam diri tanpa pernah lalai darinya. Kesadaran akan mati akan membawa pengaruh besar dalam kehidupan. Kesadarann yang dimaksud, paling tidak, menyadari sepenuh hati, bahwa, kehidupan akhirat abadi dan kehidupan dunia sesaat, menimbang antara yang terbatas dan yang tak terbatas. Tentu, jika kita sedikit merenung, tidaklah sudi kita mau menukar sesuatu yang abadi dan tak terbatas dengan yang sementara dan terbatas.
Cara memaknai kematian, tentu, berangkat dari latar belakang seseorang. Faktor lingkungan, pendidikan, usia, status ekonomi, dll, sangat menentukan cara pandang seseorang. Memaknai segala sesuatu, tidak harus berbeda, banyak juga sebagian dari kita, sama cara pandangnya. Misalnya kata Martin Heidegger, hidup manusia adalah suatu kehadiran yang tertuju kearah kematian. Lain pula menurut Immanuel Kant, hidup menjadi tidak bermakna jika tidak dilandasi dengan metafisis. Adapun yang dimaksud metafisis. Pertama, adanya keyakinan setiap orang memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan hidupnya secara otonom. Kedua, adanya keabadian hidup setelah mati. Ketiga, Tuhan sebagai penyelenggara mahkamah akhirat secara tuntas dan adil.
Di kalangan kaum sufi, kematian digambarkan sebagai pintu gerbang menapaki kehidupan baru yang lebih indah. Kematian bukanlah kehancuran atau perjalanan turun, melainkan jenjang naik. Bagaikan sebuah pohon keabadian yang selalu tumbuh. Sebagian dari mereka yang telah mencapai makrifat Allah sedemikian tinggi, tidak ada yang lebih mendambahkahkan kecuali keridaan Allah, mereka menyakini keridaan Allah di atas segalanya.
Memaknai kematian tidak lepas dari kehidupan dunia. Perumpamaan dunia dan kehidupannya digambarkan Imam Ali, karramallahu wajhah, “Penghuni dunia laksana kafilah yang sedang berjalan dengan tujuan tertentu,yaitu hingga mereka bisa sampai pada sebuah tempat yang nyaman, tentram, makmur dan damai, sebuah tempat yang dapat memberikan seluruh keinginan serta dambaan manusia. Sedangkan perumpamaan yang tertipu dengan dunia, laksana orang-orang yang tinggal di sebuah tempat yang subur, lalu pergi menuju tempat tandus, tempat yang baru mereka datangi dan tempati.”
Selain mengharapkan keridaan ilahi, sikap berserah diri pula merupakan jalan keselamatan. Sikap menyerahkan segalanya hanya kepada kehendakNya merupakan puncak kebahagian. Setiap kita berjalan menuju pintu kematian, kita mesti yakin seraya berserah diri, sesungguhnya, segalanya milik ilahi, pada akhirnya kita akan kembali kepada-Nya. Setiap perjalanan pulang selalu saja membahagiakan, entah itu mudik, pulang ke rumah, dll. Kerap kali peristiwa itu kita rayakan bersama keluarga. Begitu pula, manakala kita pulang ke kampung keabadian membawa amal saleh, jika tidak, maka penyesalan dan rasa sedih akan dirasakan selamanya. Seperti disebutkan dalam sebuah ayat Al-Qur.’an, Dia mengatakan, “Alangkah baiknya sekirannya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.”
Irfan Tawakkal, lahir di Kolaka, 16 April 1984. Aktif sebagai pendamping profesional, Kementrian Desa RI di Kabupaten Bantaeng. Salah seorang peserta Kelas Menulis Rumah Baca Panrita Nurung dan Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng.