Menurut hadis, di ujung puasa, dua kenikmatan menanti: santap berbuka dan bertemu Tuhan. Ini keren sekali. Dapat dua sekaligus. Sekali rengkuh puasa langsung dapat dua, kenikmatan lahir dan kenikmatan batin. Makan yang enak cita-cita tinggi manusia materi bumi. Bertemu Tuhan cita-cita tertinggi manusia cahaya langit. Melalui puasa dua jenis manusia yang menyatu dalam satu tubuh ini menggapai cita-cita tertingginya. Ya, hadis Rasulullah saw. yang mulia ini mengisyaratkan di ujung puasa ada dua yang menanti: makanan dan Tuhan. Maka berbahagialah orang yang menjumpai keduanya sekaligus.
Tuhan juga berkata:”Puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberinya ganjaran.” Demikian kata Rasulullah. Di ujung puasa ada Tuhan menunggu. Bahkan Tuhan menunggu dengan privacy-Nya: “Aku sendiri yang memberinya ganjaran”. Bukan selain Dia. Betapa mulianya orang yang berpuasa. Dia ditunggu oleh Tuhannya untuk Dia serahkan langsung ganjaran puasanya. Ini searah dengan hadis di atas:”bertemu Tuhannya.” Ini makin keren, bertemu untuk menerima ganjaran puasa dari Tuhan. Para malaikat pun tak tahu sesuatu yang amat mulia seperti apakah ganjaran yang akan diberikan bagi pelaku puasa. Waw, siapa yang tidak mau.
Dinukil dari para pelancong spiritual dijumpai kabar zaman baheula yang sangat menarik soal puasa, “Diriwayatkan pada era awal nabi-nabi terdahulu, ada tiga sekawan yang memasuki sebuah kota, yang di situ mereka menjadi orang asing. Ketika malam tiba, mereka berpencar ke arah yang berbeda untuk mencari makanan masing-masing. Mereka memutuskan untuk bertemu di tempat yang sama pada waktu tertentu keesokan harinya. Salah seorang dari mereka menerima sebuah undangan dan yang lain mendatangi rumah seseorang begitu saja. Teman ketiga, yang tidak punya tujuan mau ke mana, berkata dalam dirinya sendiri, ‘Aku ingin pergi ke mesjid dan menjadi tamu Allah.’ Ia pun pergi ke mesjid tempat ia tinggal malam hari, tetapi tetap lapar hingga keesokan paginya. Keesokan harinya, tiga sekawan bertemu di tempat yang telah ditetapkan dan mulai menceritakan apa yang menimpa mereka. Sebuah wahyu turun dari Allah Swt. turun pada nabi-Nya di zaman itu, yang dengan itu Dia memerintahkan sang nabi untuk menyampaikan, ‘Katakan pada tamu Kami bahwa Kami menerimanya sebagai tamu. Kami ingin memberinya makanan terbaik, lalu Kami mencari di Perbendaharaan Gaib Kami, dan tidak menemukan makanan apa pun baginya yang lebih baik daripada puasa dan rasa lapar.” Demikian penegasan Sayid MH Husaini Tehrani, dalam buku Pelancongan Rohani Sebuah Risalah Spiritual.
Waw mantap sekali. Hikayat di atas mengirim pesan di luar nalar biasa. Jamuan terbaik di sisi Tuhan yang dicari pada Perbendaharaan Gaib-Nya untuk tamu Tuhan adalah: puasa dan rasa lapar! Ini cocok dengan ujar cucu Rasulullah, Imam Shadiq, “Rasa lapar adalah bumbu orang mukmin, asupan bagi rohani dan makanan bagi hati”. Ternyata puasa dan rasa lapar adalah makanan juga. Keren keren. Pantas memang bahwa Ramadan itu bulan-Nya Allah. Yang masuk ke dalam Ramadan adalah tamu-Nya Allah. Dan, ini yang paling keren, para tamu tersebut disuguhi menu keren spesial dari Perbendaharaan Gaib terbaik Allah: puasa dan rasa lapar. Jadi, tidak ada makanan yang lebih baik dalam bulan Ramadhan kecuali puasa dan rasa lapar! Wuih mantap sekali dan di luar nalar biasa. Maka bagi yang berpuasa, berbahagialah, sebagai tamu Tuhan di bulan-Nya, selamat menikmati menu andalan dari langit suci berupa puasa dan rasa lapar.
Puasa dan rasa lapar bukanlah cemeti untuk mencambuk atau menyiksa, akan tetapi ia adalah makanan bergizi yang sangat berharga di perjamuan yang disiapkan Tuhan untuk pelaku puasa. Para filosof bijak berpesan, makanlah dengan cara terbaik agar engkau tidak dimakan oleh makananmu. Ini pesan bagi tubuh materi manusia. Sekaligus signal untuk tubuh nonmateri manusia. Dilema memang, pada saat makan, ada potensi untuk tergelincir dimakan oleh makanan. Namun, jika tidak makan, tubuh material membutuhkannya untuk tetap hidup.
Tubuh materi membutuhkan materi makanan untuk hidup dan kuat. Tubuh nonmateri butuh puasa dan lapar untuk mengeksiskan diri. Dalam urusan makanan, ada sejenis silang keperluan antara tubuh materi dan tubuh nonmateri. Kebutuhan keduanya untuk hidup rada-rada bertentangan. Yang satu butuh makanan material, yang satunya lagi tidak butuh makanan material, malah membutuhkan puasa dan rasa lapar.
Orang yang punya kecenderungan kuat pada kehidupan ruhani begitu menikmati hidangan berupa puasa dan rasa lapar untuk perjalanan panjang nan abadi menuju Tuhan. Para kekasih Allah menghabiskan hari-harinya dengan puasa dan lapar. Nabi Daud begitu terkenal dengan puasa fifty:fifty-nya. Sehari puasa, sehari tidak. Demikianlah selang-seling sepanjang hidupnya. Ada juga yang mencoba menghitung-hitung jumlah puasa Rasulullah: Puasa Ramadan, Senin-Kamis, pertengahan bulan, puasa karena tidak tersedia makanan dan lain-lain. Kesimpulannya: ternyata lebih kurang fifty:fifty juga Rasulullah berpuasa dalam setahunnya. Dalam setahun, lebih kurang, setengahnya beliau habiskan dengan puasa dan setengahnya lagi dengan berbuka. Dengan prinsip: makan saat lapar, stop sebelum kenyang. Rongga perut diisi sepertiga-sepertiga dengan imbang antara makanan, air dan udara. Tampaknya dengan pola semacam ini Rasulullah mengirim pesan kepada kita agar tidak dimakan oleh makanan.
Orang yang punya kecenderungan lebih berat pada kehidupan material juga tentu menikmati puasa. Bagi mereka urusan spiritual terlalu jauh untuk dijangkau. Mereka mencukupkan diri untuk berpuasa apa adanya. Puasa Ramadan itu wajib dan mesti dilaksanakan. Dengan asumsi bahwa di masa puasa terjadi perubahan pola makan dan akan memengaruhi kekuatan tubuh di siang hari. Sehingga, harus disiapkan menu dan pola makan sedemikian rupa sehingga tubuh tetap kuat untuk menunjang aktivitas keseharian. Puasa dan rasa lapar harus disiasati agar tubuh tetap kuat dan segar sehingga kehidupan sehari-hari berjalan normal dalam keadaan berpuasa. Demikianlah tubuh kita –tubuh fisik dan tubuh rohani– masing-masing membutuhkan jenis makanan untuk merealita.
Bagi para pelancong rohani di hamparan lautan Wahdatul Wujud, mereka melintasi diri mereka sendiri dalam dirinya untuk mengarungi Samudera Wujud, demi mencapai puncak wujud Ghaybul Guyub yang merangkul Alam Ahadiyah, Wahidiyah dan segenap eksistensi. Bagi mereka –selama berada dalam tataran fisik– tubuh fisik tetap butuh asupan makanan makanan sebatas menunjang tubuh fisik untuk memaksimalkan safar di tataran fisik menuju Tuhan. Namun, hal yang mereka sangat tekankan adalah jangan sampai makanan fisik berubah fungsi, malah menggangu bahkan mengacaukan safar rohani di tataran fisik untuk memasuki safar ruhani pada wilayah yang lebih tinggi dan lebih agung lagi. Wajar jika Rasulullah berkata bahwa perut kekenyangan itu dibenci oleh Allah. Sebab, perut kenyang itu menghalangi orang untuk ketemu dengan-Nya.
Dalam bulan Allah, Ramadan, kita semua adalah tamu-Nya, dan menghadiri resepsi-Nya dengan menu super khusus: puasa dan rasa lapar. Sepanjang rentang waktu imsak hingga berbuka adalah kesempatan emas paling halal untuk menikmati kedua menu tersebut, demi Dia Yang Menghidangkan. Bukan demi yang lain. Makanya ada saja diantara para pelancong rohani berlama-lama untuk tidak berbuka, karena mereka begitu menikmati dan larut dengan menu yang dihidangkan oleh Allah: puasa dan rasa lapar.
Dalam kopula sebab-akibat, hanya sebab yang berkontribusi pada akibat. Akibat sama sekali tidak memiliki apa-apa, oleh karena itu ia tidak bisa berkontribusi pada sebab. Sehingga, Tuhan sebagai Yang Mahasebab telah mengulurkan Tangan Kasih-Nya berupa puasa dan rasa lapar untuk menyempurnakan perjalanan rohani hamba untuk menggapai-Nya. Puasa dan rasa lapar yang terkurung an sich dalam kedirian hamba, yang bukan uluran Tangan Kasih Tuhan, tidak akan pernah bisa mengangkat hamba menuju ke haribaan-Nya. Sebab, hamba sebagi akibat dari-Nya tidak akan pernah berkontribusi kepada-Nya. Sehingga puasa dan rasa lapar yang terpenjara dalam ke-aku-an, bukan saja tidak bisa menjadi kendaraan menuju Tuhan, bahkan lebih dari itu, yaitu merusak diri yang bersangkutan, berupa gagalnya bertemu dengan Tuhan. Padahal jelas di awal tulisan ini disebut Rasulullah pada lakon puasa ada pertemuan dengan Tuhan. Untuk itu, memandang puasa dan rasa lapar sebagai realitas kiriman Tuhan untuk menarik hamba guna berada di haribaan-Nya adalah kemestian hakiki. Pesafar rohani Ramadan sibuk bercengkrama dengan Tuhannya melalui puasa dan rasa lapar beserta ibadah lain yang demi Tuhan semata, bukan dengan demi diri terikut di dalamnya. Bagi kekasih Allah, start-process-ending berpuasa senantiasa bersama Allah.
Ah, betapa konyolnya diri ini, sepanjang rentang puasa aku hanya menghabis-habiskan waktu bercengkrama dengan diri sendiri. Puasa dan lapar demi kepentingan diri. Ibadah-ibadah lain juga dilakukan demi kepentingan diri. Di ujung puasa kita ditunggu oleh menu-menu yang kita buat khusus untuk diri kita berbasis selera kita. Betapa dalam puasa kita memanjakan diri kita dengan menu kita sendiri. Para arif billah memberi isyarat bahwa berhala terbesar yang tidak ada lagi di atasnya adalah diri kita sendiri. Jihad akbar adalah berperang dengan diri sendiri, sebab keberadaanya adalah hijab tertebal untuk dapat ditarik mendekat syuhud kepada-Nya. Jika sang diri naif menjadi pemenang tempaan Ramadan ini, bisa dipastikan puasa hakiki ku telah ditelikung oleh es pisang ijo dkk. dan hanya mereka ini yang kujumpai disetiap saat berbukaku.
Gambar: surabayaonline.co
Penulis lepas, penyuka tasawuf, filsafat dan sastra, menetap di Makassar.